Jakarta, Ekoin co – Hendry Lie dituntut 18 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada periode 2015—2022. Tuntutan dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (25/5/2023).
JPU Feraldy Abraham Harahap menyatakan Hendry Lie terbukti secara sah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Terdakwa telah menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, termasuk kerusakan lingkungan masif,” tegas Feraldy dalam sidang.
Selain pidana penjara, Hendry juga dituntut membayar denda Rp1 miliar. Jika tidak lunas, denda akan diganti kurungan satu tahun. JPU juga meminta majelis hakim memerintahkan pembayaran uang pengganti Rp1,06 triliun atau subsider 10 tahun penjara.
Dalam pertimbangannya, JPU menyebut faktor memberatkan, seperti tindakan Hendry yang dinilai merugikan negara dan tidak mendukung program pemerintah bebas korupsi. “Perbuatan terdakwa menikmati hasil kejahatan dan menyebabkan kerugian lingkungan,” tambah Feraldy. Sementara hal meringankan adalah Hendry belum pernah dihukum sebelumnya.
Kasus ini bermula ketika Hendry, sebagai pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa, diduga menerima Rp1,06 triliun dari pembelian bijih timah ilegal. Melalui perusahaan afiliasinya, seperti CV Bukit Persada Raya, ia mengumpulkan timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Kerja sama dengan smelter swasta seperti PT Refined Bangka Tin dan CV Venus Inti Perkasa turut menjadi sorotan. “Format surat penawaran sudah disiapkan PT Timah, padahal smelter tersebut tidak memiliki competent person,” ungkap JPU merujuk dokumen persidangan.