Jakarta, EKOIN.CO – Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan budi daya lobster laut, terutama karena kelimpahan benih lobster alami yang dimilikinya. Namun, berbagai kendala seperti logistik, teknologi, dan pasar global masih menjadi tantangan besar.
Pakar Akuakultur dari IPB University, Dr Kukuh Nirmala, mengungkapkan bahwa benih lobster di Indonesia masih menghadapi banyak hambatan. Salah satunya adalah keterbatasan musim dan perubahan kondisi lingkungan yang mengganggu kontinuitas pasokan.
Menurutnya, pengembangan teknologi pembenihan lobster di dalam negeri belum berjalan optimal. Masih terdapat kendala dari sisi biaya investasi yang tinggi dan belum meratanya penguasaan teknologi oleh pelaku usaha lokal.
“Kegiatan budi daya pembenihan lobster di Indonesia masih sangat terbatas, biaya investasinya mahal, teknologi belum sepenuhnya dikuasai, dan permintaan benih dari pembudi daya dalam negeri tidak banyak,” ujarnya, Senin (7/7).
Selain itu, penyelundupan benih lobster ke luar negeri menjadi isu yang terus membayangi sektor ini. Masalah ini turut memperlemah ketahanan sumber daya dan keberlangsungan industri budi daya lobster nasional.
Logistik dan Akses Pasar Jadi Penghalang Utama
Dr Kukuh menegaskan bahwa perbandingan antara Indonesia dan Vietnam bukan terletak pada kualitas benih atau kemampuan teknis. Masalah logistik dan posisi geografis menjadi faktor pembeda paling signifikan.
“Lokasi geografis importir di Asia lebih mudah dicapai Vietnam daripada Indonesia. Apalagi jika budi daya kita di Maluku, Kalimantan, NTB, atau Jawa,” jelasnya saat diwawancara di Bogor.
Negara-negara pengimpor disebut lebih menyukai lobster hidup, sehingga Indonesia menghadapi biaya transportasi yang lebih tinggi dibanding Vietnam. Hal ini berdampak langsung pada harga jual lobster nasional.
“Harga jual lobster laut kita lebih mahal Rp60 ribu daripada Vietnam, sehingga kalah bersaing,” ungkapnya, merujuk pada informasi dari pembudi daya lobster di Sumatera Utara.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi pasar ekspor meskipun memiliki ketersediaan benih yang lebih besar.
Solusi dari Akademisi dan Inovasi Teknologi
Untuk menjawab tantangan ini, IPB University disebut telah merancang sejumlah teknologi siap pakai. Inovasi tersebut antara lain sistem kompartemen pencegah kanibalisme dan teknologi RAS (Recirculating Aquaculture System).
“Beberapa teknologi sudah dilakukan, di antaranya kompartemen pencegah kanibalisme, RAS untuk budi daya di bak, dan transportasi hidup lobster,” papar Dr Kukuh.
Namun, ia mengakui fase pembesaran lobster masih menyimpan banyak tantangan. Faktor seperti efisiensi pakan dan percepatan pertumbuhan menjadi perhatian utama yang harus segera ditangani.
“Tantangan di pembesaran adalah menekan kanibalisme, efisiensi pakan, percepatan pertumbuhan, dan transportasi hidup,” tambahnya saat menyampaikan analisisnya secara daring.
Dr Kukuh juga mendorong adanya kerja sama lebih erat antara dunia pendidikan dan pelaku industri, guna mengatasi kesenjangan teknologi dan penerapan lapangan.
Kolaborasi dan Informasi Rutin Jadi Kunci
Menurut Dr Kukuh, riset di kampus perlu terkoneksi dengan kebutuhan di lapangan. Oleh karena itu, ia mengusulkan adanya pertemuan rutin antara akademisi dan pelaku usaha perikanan.
“Perlu dibuat secara rutin dan periodik ajang berbagi informasi masalah lapang, seminar hasil penelitian dengan mengundang pelaku usaha, serta kolaborasi penyediaan demplot,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya membangun sinergi berkelanjutan yang tidak hanya berhenti pada pengembangan riset, namun juga pada aspek diseminasi dan penerapannya di lapangan.
Melalui sinergi tersebut, diharapkan tercipta ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri lobster secara menyeluruh, mulai dari pembenihan hingga pemasaran.
Dr Kukuh berharap kolaborasi ini dapat memperkuat daya saing lobster Indonesia di tingkat internasional serta memberdayakan pembudi daya kecil di berbagai daerah.
Indonesia memiliki keunggulan besar dalam ketersediaan benih lobster laut, namun belum sepenuhnya mampu mengoptimalkannya akibat tantangan struktural seperti logistik, keterbatasan teknologi, dan akses pasar ekspor yang terbatas. Hambatan tersebut membuat harga lobster nasional kalah bersaing dibanding negara lain seperti Vietnam.
Sejumlah solusi berbasis teknologi dan inovasi telah dikembangkan oleh IPB University untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas budi daya, namun masih diperlukan upaya nyata pada tahap pembesaran dan transportasi. Pelibatan pelaku usaha secara aktif dalam setiap proses riset juga menjadi bagian penting dari upaya perbaikan ekosistem industri ini.
Kerja sama berkelanjutan antara perguruan tinggi, pelaku usaha, dan pemerintah akan sangat menentukan keberhasilan pengembangan industri lobster Indonesia. Dengan membangun sistem logistik yang efisien dan teknologi terapan yang kuat, peluang untuk mendominasi pasar global tetap terbuka lebar bagi Indonesia.(*)