Jakarta, EKOIN.CO – Momen Idul Adha kerap menjadi waktu yang dinantikan umat Muslim untuk berbagi dan menikmati hidangan daging kurban. Namun, di balik tradisi tersebut, tersembunyi potensi risiko kesehatan yang kerap terabaikan. Lonjakan konsumsi daging, terutama dalam bentuk olahan yang tinggi lemak dan kolesterol, menjadi perhatian serius bagi tenaga kesehatan.
Lailatul Muniroh, SKM, MKes, pakar kesehatan masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (UNAIR), mengingatkan pentingnya kontrol dalam konsumsi daging. Ia menyoroti kesalahan umum masyarakat yang mengonsumsi daging secara berlebihan, terutama jeroan, yang diketahui mengandung kolesterol tinggi.
“Masyarakat ketika mengkonsumsi daging tanpa dikontrol, apalagi menyantap jeroan yang tinggi kolesterol, dan memasaknya dengan cara yang tidak sehat seperti digoreng atau dimasak dengan santan,” ungkap Lailatul dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa, 4 Juni 2025.
Ia menjelaskan bahwa metode memasak berperan besar terhadap kesehatan daging yang dikonsumsi. Pengolahan dengan suhu tinggi seperti membakar atau menggoreng hingga gosong dapat menghasilkan senyawa toksik yang membahayakan tubuh, seperti hidrokarbon polisiklik aromatik dan amina heterosiklik.
Sebaliknya, ia menyarankan agar masyarakat mulai membiasakan diri menggunakan metode masak rendah suhu seperti mengukus atau merebus. “Meskipun tidak serta-merta menurunkan kadar lemak, metode memasak rendah suhu seperti mengukus jauh lebih sehat daripada membakar hingga hangus,” jelasnya.
Mitos dan Salah Kaprah Soal Daging
Banyak masyarakat juga masih mempercayai mitos yang belum terbukti secara ilmiah, seperti mencuci daging dengan air panas atau air jeruk nipis untuk menghilangkan kolesterol. Menurut Lailatul, asumsi ini keliru karena kolesterol tidak larut dalam air.
“Kolesterol berada di dalam jaringan otot dan tidak larut dalam air. Jadi, mencuci daging meskipun dengan air panas atau jeruk nipis tidak akan mengurangi kolesterolnya,” katanya.
Ia juga menepis anggapan umum bahwa daging kambing lebih berbahaya dibanding daging sapi. Menurutnya, daging kambing justru cenderung memiliki kadar lemak jenuh dan kalori lebih rendah, asalkan diolah dengan benar dan dikonsumsi dalam jumlah wajar.
“Yang penting adalah jumlah dan cara pengolahannya. Porsi aman konsumsi daging merah matang sekitar 50–70 gram per sajian, maksimal dua hingga tiga kali seminggu,” terang Lailatul.
Ia mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan keseimbangan gizi dalam setiap porsi makanan yang dikonsumsi, terutama saat momen perayaan seperti Idul Adha.
Peran Serat dan Kesadaran Konsumen
Selain memperhatikan metode memasak, Lailatul juga menekankan pentingnya menyandingkan konsumsi daging dengan makanan berserat tinggi. Sayur dan buah dinilai sangat berperan dalam membantu metabolisme dan mencegah gangguan pencernaan.
“Konsumsi serat akan membantu memperlancar pencernaan dan mengurangi risiko gangguan metabolik. Jika ingin manfaatnya optimal, daging harus dikonsumsi bersamaan dengan serat, protein nabati, dan dimasak dengan metode sehat,” paparnya.
Ia menggarisbawahi bahwa masyarakat tidak perlu menghindari daging secara total, tetapi harus memiliki kesadaran dan kontrol terhadap porsinya. Penyakit tidak hanya muncul dari satu jenis makanan, tetapi dari pola konsumsi secara keseluruhan.
“Keseimbangan dan kesadaran adalah kunci. Bukan berarti tidak boleh makan daging, tapi harus tahu kapan cukup dan bagaimana mengolahnya,” tutupnya dalam sesi wawancara di kampus UNAIR Surabaya.
Idul Adha memang menjadi simbol kepedulian dan kebersamaan, namun momentum ini juga bisa menjadi pengingat pentingnya gaya hidup sehat di tengah tradisi yang kaya rasa.
Dalam menjaga kesehatan pasca-perayaan Idul Adha, masyarakat perlu menerapkan kebiasaan memasak dan makan yang lebih sehat. Mengganti metode pengolahan dari membakar atau menggoreng menjadi merebus atau mengukus dapat secara signifikan mengurangi potensi bahaya senyawa toksik yang terkandung dalam makanan.
Selain itu, pola makan yang seimbang perlu menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari. Tidak cukup hanya mengurangi konsumsi daging, tetapi juga penting untuk menambahkan asupan sayur, buah, dan protein nabati dalam setiap sajian. Ini menjadi langkah konkret untuk menghindari peningkatan kolesterol dan penyakit tidak menular.
Kesadaran dan edukasi yang terus menerus sangat dibutuhkan agar tradisi tidak menjadi pintu masuk penyakit kronis. Perayaan seharusnya mendekatkan pada rasa syukur dan kesehatan yang berkelanjutan, bukan justru menjadi awal dari masalah medis.(*)