Batam EKOIN.CO – Hashim S. Djojohadikusumo meresmikan pabrik solder milik anak perusahaan PT Solder Tin Andalan Indonesia (STANIA) di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis 10 Juli 2025. Sebelumnya, ia juga baru saja meresmikan pabrik karet di Aceh yang menurutnya membutuhkan waktu 12 tahun untuk dibangun.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam sambutannya, Komisaris Utama Arsari Tambang itu menyebut pabrik solder di Batam merupakan salah satu proyek yang sangat ia syukuri. “Namun saya katakan bahwa yang paling berbahagia adalah proyek ini,” kata Hashim di hadapan para tamu.
Meski skalanya kecil dibanding proyek-proyek sebelumnya, seperti dua pabrik semen di Cibinong dan satu di Cilacap, serta pabrik petrokimia di Tuba, Hashim menilai pabrik solder ini tetap bermakna besar. Ia menegaskan bahwa kehadiran pabrik ini menjawab keraguan banyak pihak terhadap kemampuan industri nasional.
Produksi awal pabrik ini hanya mencakup satu jalur produksi. Namun, menurut Hashim, pihaknya telah merencanakan pengembangan hingga delapan line ke depannya. Ia optimis rencana tersebut dapat direalisasikan dalam beberapa waktu ke depan.
Pabrik Aceh Rampung Setelah 12 Tahun
Hashim kemudian menyinggung peresmian pabrik karet remah miliknya di Aceh yang disebut menelan biaya hingga Rp600 miliar. Proyek tersebut, kata dia, memakan waktu 12 tahun untuk rampung. Hal itu diungkapkan di hadapan Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu.
“Proyek itu memerlukan 12 tahun untuk membangun,” ujar Hashim. Ia pun membandingkan kondisi itu dengan pengusaha lain yang bisa membangun pabrik nikel senilai USD6 miliar di Maluku Utara hanya dalam waktu 4–5 tahun.
Menurut Hashim, lambatnya proses pembangunan pabrik karet di Aceh disebabkan oleh posisi politik yang ia dan kelompoknya tempati saat itu. “Saya bangun pabrik kecil saja butuh 12 tahun, kenapa pak? karena kami waktu itu oposisi pak,” ungkapnya disambut gelak tawa para tamu.
Dalam pidatonya, ia juga menekankan bahwa karena posisinya di pihak oposisi, dirinya tidak memiliki akses terhadap sumber pembiayaan eksternal. “600 miliar itu uang pribadi saya, dan itu juga ada biaya kampanye pileg dan pilpres,” jelasnya.
Hashim berharap ke depannya dapat menjalin kerja sama dengan sektor perbankan agar proyek-proyek industri tidak terhambat hanya karena perbedaan posisi politik.
Industri dan Politik Tak Boleh Bertentangan
Meskipun menghadapi tantangan besar, Hashim mengaku bangga telah berhasil menyelesaikan pembangunan pabrik karet di Aceh. Ia menekankan pentingnya menghapus diskriminasi dalam dunia usaha, terlepas dari afiliasi politik.
“Ini saya mau katakan kami oposisi atau penguasa itu satu bangsa, seharusnya tidak ada pilih kasih,” tegasnya.
Acara peresmian tersebut turut dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional, di antaranya Direktur Utama PT Freeport Indonesia Tony Wenas dan Komisaris Utama Pertamina Mochamad Iriawan atau Iwan Bule.
Putra Hashim, Aryo P. S. Djojohadikusumo, selaku Direktur Utama Arsari Tambang, juga menyampaikan pandangannya terkait makna pembangunan pabrik solder ini. Menurut Aryo, proyek tersebut sekaligus menjadi pembuktian terhadap kapasitas industri dalam negeri.
“Ini proyek memang tidak bernilai besar, tetapi bermakna,” ujar Aryo. Ia menyebut pembangunan pabrik ini menjadi simbol bahwa Indonesia mampu membangun industri strategis, meski sering dikritik.
Aryo juga menyatakan bahwa proyek ini adalah bukti konkret bahwa pihak swasta dapat berperan aktif dalam membangun sektor hilirisasi industri. Ia berharap langkah ini dapat menginspirasi investor lokal untuk tidak ragu mengembangkan industri dalam negeri.
Secara umum, pabrik solder ini diklaim ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan industri nasional yang mendorong praktik industri hijau dan berkelanjutan.
Hashim mengaku optimis dengan masa depan perusahaan. Dengan adanya pengembangan hingga delapan line, ia berharap pabrik tersebut dapat berkontribusi lebih besar bagi industri dalam negeri, terutama dalam pengurangan impor solder.
Ia juga menyampaikan harapannya agar pemerintah dan pelaku industri dapat bersinergi tanpa hambatan politik. “Kalau semua pihak saling bantu, industri kita bisa bersaing secara global,” tutup Hashim.
Langkah Hashim mendirikan pabrik solder dan karet ini mencerminkan tekad kuat untuk mendukung program hilirisasi nasional. Dengan pembiayaan mandiri dan komitmen kuat, ia berharap proyek tersebut bisa membuka lapangan kerja dan menumbuhkan ekonomi daerah.
dari rangkaian peresmian dua pabrik ini menunjukkan bahwa dengan kemauan kuat dan semangat kolaborasi, pembangunan sektor industri di Indonesia bisa lebih cepat dan inklusif. Tantangan birokrasi dan hambatan politik bisa diatasi dengan pendekatan terbuka dan berorientasi solusi.
Selain itu, pengalaman Hashim menjadi pelajaran bahwa posisi politik tidak semestinya menghambat pengusaha dalam membangun negeri. Iklim investasi harus mendukung semua pihak tanpa diskriminasi agar pembangunan bisa merata.
Kerja keras selama 12 tahun untuk pabrik Aceh membuktikan bahwa ketekunan dan keberanian mengambil risiko tetap relevan dalam dunia usaha. Hal ini menjadi contoh penting bagi generasi muda dalam membangun industri secara berkelanjutan.
Penting juga bagi pemerintah memberikan jaminan kestabilan dan kemudahan akses permodalan agar para pelaku usaha tidak terbebani oleh kendala administratif atau politis. Peran perbankan nasional juga sangat krusial untuk mendukung proyek-proyek industri dalam negeri.
Dengan semangat gotong royong antara pelaku usaha dan pemerintah, pengembangan sektor industri di daerah tertinggal seperti Aceh bisa menjadi tonggak penting dalam menciptakan keadilan ekonomi dan kemajuan nasional.(*)