Bekasi, EKOIN.CO — Sejumlah tempat wisata yang pernah viral di media sosial kini menghadapi kenyataan pahit. Dulu ramai dikunjungi, kini terbengkalai dan perlahan dilupakan. Fenomena ini terlihat di berbagai daerah di Indonesia, mencerminkan lemahnya strategi jangka panjang dalam mengelola popularitas wisata digital.
Bukit Teletubbies di Blitar, Jawa Timur, adalah salah satu contoh nyata. Pada 2017 hingga 2019, kawasan ini dipenuhi wisatawan karena keindahan alamnya yang menyerupai latar serial “Teletubbies”. Pengunjung berdatangan untuk berfoto, berkemah, dan menikmati udara segar perbukitan.
Namun, sejak 2022, kondisinya berubah drastis. Jumlah wisatawan menurun tajam. Rumput liar tak terurus, jalanan setapak mulai rusak, dan fasilitas publik dibiarkan tak layak pakai. Kawasan itu kehilangan daya tarik utamanya: visual yang dulu menggoda lensa kamera.
“Kami dulu melayani ribuan pengunjung. Sekarang, satu mobil pun belum tentu datang,” ujar Sulastri (42), pedagang kaki lima yang menggantungkan nafkah dari keramaian wisata tersebut.
Warga sekitar yang dulu membuka warung dan jasa parkir turut terkena imbas. Pendapatan yang sebelumnya stabil kini tak menentu. Harapan untuk pemulihan belum terlihat dalam waktu dekat.
Stone Garden Citatah di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, juga mengalami nasib serupa. Dikenal sebagai lokasi favorit foto prewedding karena keunikan geologi batu purbanya, tempat ini sempat ramai dibicarakan di Instagram dan Facebook.
Namun kini, jalan menuju lokasi rusak parah. Tidak ada petunjuk arah yang jelas. Fasilitas seperti toilet dan tempat berteduh minim. Wisatawan mulai menghindari area ini meski panorama masih memukau.
“Jalanan rusak bikin pengunjung malas datang. Padahal pemandangan masih bagus,” kata Asep Darmawan, penjaga lahan di lokasi tersebut.
Kondisi ini diperparah oleh kurangnya promosi berkelanjutan. Pemerintah daerah maupun pengelola tidak melakukan langkah nyata untuk menjaga daya tarik kawasan tersebut.
Little Venice Puncak di Bogor, pernah menjadi destinasi populer karena konsep uniknya: replika kanal kota Venesia lengkap dengan gondola dan bangunan warna-warni. Spot ini kerap menghiasi unggahan selebgram dan keluarga muda di tahun 2018 dan 2019.
Namun beberapa tahun terakhir, pengunjung mengeluhkan kualitas pelayanan. Air di kanal tampak keruh, cat bangunan memudar, dan beberapa wahana tak lagi beroperasi. Kebersihan menjadi keluhan utama di ulasan daring.
“Kami beroperasi terbatas sekarang, hanya Sabtu-Minggu,” ungkap Santi, petugas di lokasi wisata tersebut.
Keterbatasan pengelolaan dan biaya operasional turut mendorong penurunan kunjungan. Wahana yang tak dirawat menambah kesan muram pada area yang dahulu tampak meriah.
Pantai Cemara di Tuban, Jawa Timur, dahulu dikenal dengan spot ayunan kayu di tepi pantai yang ikonik. Banyak wisatawan datang demi berfoto dengan latar laut dan deretan pohon cemara laut.
Kini, pantai tersebut dipenuhi sampah plastik. Struktur ayunan rusak dan nyaris roboh. Relawan yang dahulu rajin membersihkan lokasi tak lagi aktif. Pengunjung mulai meninggalkan pantai yang dulunya estetik ini.
Kondisi ini terjadi tanpa upaya penyelamatan berarti. Pemerintah setempat belum melakukan intervensi yang signifikan untuk mengembalikan citra pantai sebagai destinasi wisata yang layak.
Kampung Warna-Warni Jodipan di Malang, yang dibangun atas inisiatif mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menjadi simbol kreativitas anak muda. Dinding rumah warga dicat beraneka warna sehingga menarik perhatian wisatawan dari dalam dan luar kota.
Namun setelah lima tahun lebih, warna-warna cat mulai pudar. Sebagian mural rusak. Warga mengeluhkan minimnya perawatan dari pihak pengelola. Tanpa pembaruan dan revitalisasi, jumlah pengunjung menurun tajam.
Daya tarik visual yang menjadi kekuatan utama tempat ini perlahan hilang. Turis kini memilih destinasi lain yang menawarkan suasana baru dan pengalaman berbeda.
Menurut Dwi Ardiansyah, pengamat pariwisata dari Universitas Gadjah Mada, banyak tempat wisata yang viral tanpa dilandasi rencana bisnis berkelanjutan. Ketika tren berganti, lokasi tersebut tak mampu beradaptasi.
“Viralitas adalah awal, bukan jaminan. Tanpa pengelolaan yang baik, pengunjung akan bosan dan pergi,” kata Dwi seperti dikutip dari wawancara media nasional.
Masalah klasik yang muncul antara lain terbatasnya dana perawatan, akses jalan buruk, fasilitas tidak memadai, serta sanitasi yang tak terjaga. Keadaan ini membuat wisatawan kecewa dan enggan kembali.
Beberapa lokasi juga dibangun tanpa izin resmi. Akibatnya, mereka tidak bisa mendapatkan dukungan dari program promosi wisata pemerintah.
Pandemi COVID-19 memperparah kondisi ini. Selama pembatasan sosial, sebagian besar lokasi tutup total dan tidak dipelihara. Setelah dibuka kembali, wisatawan lebih memilih tempat baru dengan pelayanan lebih baik.
Dalam banyak kasus, pengelola juga tidak memiliki strategi digital untuk bertahan setelah tren media sosial mereda. Konten baru tak pernah dibuat, dan interaksi dengan komunitas digital berhenti.
Perubahan preferensi wisatawan yang lebih menyukai kenyamanan dan pengalaman otentik turut mempengaruhi. Tempat-tempat viral yang hanya menawarkan visual tanpa fasilitas tambahan tak lagi menarik minat.
Sementara itu, destinasi yang dikelola profesional dan konsisten justru semakin berkembang. Ini menunjukkan pentingnya manajemen yang terencana dan berkelanjutan dalam pengelolaan wisata.
Di sisi lain, beberapa warga menyatakan keinginan untuk menghidupkan kembali potensi wisata di daerah mereka. Namun mereka terbentur modal dan dukungan teknis.
Kondisi ini membuka peluang kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal untuk merevitalisasi tempat-tempat tersebut dengan pendekatan baru yang lebih terstruktur.
Pemerintah daerah juga diharapkan membuat regulasi yang memudahkan pengelolaan tempat wisata komunitas agar bisa lebih formal dan mendapatkan insentif.
Dari kondisi yang terjadi, tampak bahwa tempat wisata tak cukup hanya menarik secara visual. Pengalaman pengunjung secara menyeluruh harus menjadi perhatian utama.
Jika pengelolaan dilakukan dengan baik, bukan tak mungkin tempat-tempat yang kini sunyi bisa kembali ramai dan membawa manfaat ekonomi bagi warga sekitar.
Beberapa tempat wisata membutuhkan narasi baru, bukan sekadar bergantung pada tren masa lalu. Rebranding yang relevan dengan kebutuhan saat ini sangat penting.
Revitalisasi fasilitas dasar seperti jalan, toilet, dan tempat duduk juga menjadi langkah kecil yang berdampak besar terhadap kenyamanan pengunjung.
Wisata berbasis komunitas tetap memiliki potensi besar bila dikelola serius. Semangat gotong royong harus diimbangi dengan strategi pemasaran dan manajemen.
Digitalisasi juga perlu diterapkan. Tiket online, sistem informasi daring, serta promosi konten berbasis video pendek bisa menjadi senjata untuk menarik kembali perhatian publik.
Kesadaran akan keberlanjutan pariwisata penting ditanamkan sejak awal. Tempat wisata tidak bisa hanya dibangun untuk satu musim viral, tetapi untuk masa depan yang panjang dan stabil.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v