Jakarta, EKOIN.CO – Caesareza Aurelya Heroedin, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, mengikuti program pertukaran pelajar ke Eropa yang diselenggarakan oleh International Federation of Medical Students’ Associations (IFMSA). Program ini berlangsung sejak 7 Juli hingga 1 Agustus 2025.
Program pertukaran itu dikelola di Indonesia oleh Center for Indonesian Medical Students Activities (CIMSA). Cesa, sapaan akrabnya, bersama rekannya, Kinesha Kotsya, mewakili FK UNAIR dalam program Standing Committee on Professional Exchange (SCOPE).
Meski keduanya menjalani program yang sama, mereka ditempatkan di departemen berbeda. Cesa menjalani clinical rotation di Trousseau Hospital, bagian dari Centre Hospitalier Régional Universitaire (CHRU) Tours, Prancis.
Selama satu bulan penuh, Cesa ikut terlibat dalam aktivitas klinis bersama para residen dan profesor rumah sakit. Ia mencermati langsung kompleksitas kasus medis serta teknologi canggih yang diterapkan dalam penanganan pasien.
Berbagai metode mutakhir seperti robot-assisted surgery digunakan dalam praktik bedah di rumah sakit tersebut. Prosedur yang dijalankan pun cenderung minim invasif, mengutamakan kenyamanan dan keselamatan pasien.
Teknologi Kedokteran dan Tantangan Budaya
“Teknologi diagnostik di rumah sakit sangat beragam dan canggih. Aku juga lihat penggunaan robot-assisted surgery dalam berbagai kasus,” ujar Cesa saat dihubungi melalui pesan daring.
Menurutnya, pengalaman ini membuka mata terhadap penerapan teknologi tinggi di bidang kedokteran. Ia merasa banyak belajar dari penanganan medis yang efisien serta sistem pelayanan yang ramah pasien.
Selain ilmu klinis, program ini mempertemukan Cesa dengan pelajar dari berbagai negara. Ia berinteraksi dengan peserta dari Brasil, Peru, Swedia, dan Slovenia, dalam suasana yang membangun semangat belajar bersama.
Namun, tantangan budaya menjadi bagian penting dari pengalamannya. Cesa harus menyesuaikan diri dengan sistem belajar di Prancis yang menuntut kemandirian dan keberanian untuk bertanya.
Bahasa menjadi hambatan utama yang harus ditaklukkan. Tidak semua tenaga medis di Prancis fasih berbahasa Inggris, sehingga adaptasi menjadi kunci keberhasilan mengikuti program ini.
Adaptasi, Toleransi, dan Pengembangan Diri
Cesa tidak tinggal diam. Ia berusaha belajar bahasa Prancis dasar untuk percakapan harian. Hal itu membantunya memahami instruksi medis dan berkomunikasi lebih baik dengan staf rumah sakit.
“Harus cepat beradaptasi, menjadi lebih tanggap, dan belajar sedikit bahasa Prancis untuk daily. Karena itulah, program exchange ini benar-benar self-development yang berarti bagi aku,” tuturnya dengan semangat.
Dari pengalaman ini, ia mengaku menjadi pribadi yang lebih terbuka terhadap perbedaan dan tantangan global. Ia juga menumbuhkan semangat untuk terus meningkatkan keterampilan dan ilmu kedokteran.
Program ini diharapkan dapat memperluas wawasan mahasiswa Indonesia tentang praktik medis internasional. Tak hanya dari sisi akademik, tetapi juga dalam hal kolaborasi dan pemahaman lintas budaya.
UNAIR memberikan dukungan penuh terhadap program pertukaran ini karena dinilai dapat memperkaya pengalaman mahasiswa dan memperluas jejaring global di dunia kesehatan.
Pengalaman Cesa dalam program pertukaran pelajar di Prancis menggambarkan pentingnya keterbukaan dan semangat belajar lintas budaya. Ia mendapatkan pembelajaran klinis mendalam sekaligus tantangan yang membentuk karakter.
Keterlibatan langsung dengan teknologi kedokteran mutakhir memperkaya wawasan dan keterampilan Cesa dalam praktik medis. Ia juga belajar mengatasi hambatan komunikasi serta meningkatkan kemampuan adaptasi di lingkungan internasional.
Dengan kombinasi antara pengembangan akademik dan soft skill, program ini membawa dampak positif jangka panjang bagi peserta. Cesa membuktikan bahwa mahasiswa Indonesia mampu bersaing dan belajar di panggung global secara profesional dan berintegritas.(*)