Jakarta, – EKOIN – CO – — Komposer sekaligus pencipta lagu Aria Bias, didampingi oleh kuasa hukumnya Minola Sebayang, secara terbuka memberikan tanggapan terhadap kesimpulan hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI pada 10 Juni lalu yang menyebut adanya dugaan pelanggaran etik oleh hakim dalam perkara pelanggaran hak cipta yang tengah berlangsung di Mahkamah Agung (kasasi perkara No. 92/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2024/PN Niaga Jakarta Pusat).
Dalam pernyataan terbukanya, Aria Bias menyampaikan kekhawatirannya terhadap terbentuknya opini publik yang tidak berimbang, terutama karena dalam forum RDPU tersebut tidak dihadirkan pihak pencipta lagu sebagai pihak yang memiliki kepentingan langsung atas perkara yang dibahas.
“Saya sangat menyayangkan, dalam RDPU itu tidak diundang pencipta lagu. Padahal sayalah korban yang sesungguhnya. Sejak dua tahun lalu saya berjuang untuk mendapatkan hak saya,” tegas Aria Bias.
Aria menekankan bahwa perkara ini bukan hanya soal nominal ganti rugi yang dituntut — sebesar Rp1,5 miliar — melainkan upaya pembuktian hukum bahwa telah terjadi pelanggaran hak cipta karena lagu ciptaannya digunakan secara komersial tanpa izin dan tanpa pembayaran royalti.
“Yang Wajib Bayar Royalti Bukan Hanya Penyelenggara”
Dalam keterangan persnya, Aria Bias juga meluruskan pemahaman publik bahwa kewajiban membayar royalti bukan hanya milik penyelenggara acara. Mengacu pada UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan PP No. 56 Tahun 2021, Aria menyebut bahwa yang wajib membayar royalti adalah “setiap orang” yang menggunakan karya cipta untuk kepentingan komersial.
“Tidak pernah disebut di undang-undang bahwa hanya penyelenggara yang wajib bayar. Disebutnya ‘setiap orang’. Jadi siapa saja yang menggunakan — termasuk penyanyi, pemilik venue, penyelenggara — semua bisa ikut bertanggung jawab tergantung pembuktian hukumnya,” jelasnya.
Menurut Aria, selama ini terjadi kekeliruan dalam implementasi undang-undang karena hanya menyasar penyelenggara sebagai pihak yang wajib membayar royalti, padahal secara hukum, yang wajib adalah pihak yang menggunakan karya untuk kepentingan komersial tanpa izin.
Sorotan atas Tuduhan Pelanggaran Etik Hakim
Terkait dengan desakan Komisi III DPR kepada Badan Pengawas MA untuk memeriksa hakim yang menangani perkara ini, Aria Bias menyatakan bahwa hal tersebut sah sebagai bagian dari pengawasan legislatif, namun tidak boleh menjadi intervensi terhadap independensi kekuasaan kehakiman.
“Saya sambut positif perhatian DPR, tapi jangan sampai terjadi intervensi terhadap hakim yang sedang menjalankan tugasnya. Hakim sudah bekerja berdasarkan bukti, saksi ahli, dan dalil hukum yang diuji di pengadilan,” kata Aria.
Ia juga menambahkan bahwa dugaan pelanggaran etik yang dikemukakan hanya bersifat praduga dan belum tentu bisa dibuktikan secara hukum. Aria menegaskan bahwa kritik terhadap substansi putusan hakim bukanlah pelanggaran etik, sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 9 Tahun 2016.
Kuasa hukum Aria, Minola Sebayang SH, juga mempertegas bahwa proses pembuktian dalam perkara ini telah berjalan sesuai mekanisme hukum. Semua alat bukti — termasuk surat pencatatan ciptaan, bukti promosi, video konser, dan keterangan saksi ahli — telah diperiksa dan dipertimbangkan oleh hakim.
Royalti Bukan Denda, Gugatan Bukan Pidana
Minola juga meluruskan pemahaman publik bahwa angka Rp1,5 miliar yang dikabulkan oleh majelis hakim bukanlah royalti ataupun denda pidana, melainkan bentuk ganti kerugian perdata atas pelanggaran hak cipta.
“Harus dibedakan. Royalti dibayar melalui LMKN. Tapi jika izin tidak ada dan royalti tidak dibayar, maka itu adalah pelanggaran hak cipta. Dan yang bisa dilakukan adalah gugatan perdata, bukan semata urusan pidana,” jelas Minola.
Aria Bias mengajak semua pihak untuk menjaga prinsip hukum dan tidak membentuk opini publik yang menyudutkan pihak manapun secara tidak adil, termasuk terhadap hakim yang tengah menjalankan tugasnya.
Penutup: Ini Bukan Sekadar Soal Uang
Menutup pernyataannya, Aria kembali menegaskan bahwa perjuangannya bukan sekadar untuk mendapatkan uang, melainkan demi keadilan bagi para pencipta lagu yang selama ini tidak mendapatkan haknya secara layak.
“Saya tidak takut kalah, tapi saya takut hukum tidak ditegakkan. Saya tidak takut berbeda pendapat, tapi saya takut Hakim tidak bebas memutuskan,” pungkasnya.
Surat terbuka ini menjadi penegasan posisi Aria Bias bahwa perkara yang ia perjuangkan adalah tentang supremasi hukum dan perlindungan atas hak moral serta ekonomi pencipta lagu sebagai bagian penting dari ekosistem musik Indonesia.
Penasehat Ahli Kapolri Aryanto Sutadi: Kewenangan Besar Polri Berakibat Tindakan Koruptif Personel Polisi
Jakarta, EKOIN.CO - Penasehat Ahli Kapolri, Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi menyesalkan tindakan aparat Kepolisian yang berperilaku koruptif. Ia menilai...