Bangkok, — EKOIN.CO – Kuliner ekstrem dari berbagai belahan dunia kembali mencuri perhatian pecinta makanan unik dan menantang. Di sejumlah negara, mulai dari Asia Tenggara hingga Amerika Latin, hidangan tak biasa seperti serangga goreng, otak sapi, dan darah beku menjadi bagian dari tradisi yang mengakar. Fenomena ini bukan hanya soal keberanian mencicipi, tapi juga berkaitan erat dengan budaya lokal, ketersediaan bahan pangan, dan sejarah panjang masyarakat setempat.
Di Thailand, misalnya, pasar-pasar tradisional di Bangkok menawarkan berbagai jenis serangga goreng seperti jangkrik, belalang, ulat sutra, bahkan kalajengking. Kudapan ini dijajakan oleh pedagang kaki lima dan menjadi makanan ringan favorit sebagian warga lokal dan turis yang ingin mencoba sensasi berbeda.
Di kawasan Khao San Road, para pelancong dengan mudah menemukan kios-kios yang menjual serangga tersebut dalam kemasan plastik kecil. Harga yang ditawarkan bervariasi, tergantung jenis dan ukuran serangga.
Menurut Somchai Khemthong, salah satu pedagang yang sudah berjualan selama lebih dari 10 tahun, serangga bukan hanya camilan, tetapi juga sumber protein yang murah dan ramah lingkungan. “Ini sudah jadi bagian dari budaya kami. Banyak orang Thailand suka makan serangga sejak kecil,” kata Somchai, Sabtu (8/6/2024).
Banyak wisatawan asing yang awalnya ragu mencoba, namun akhirnya tertarik setelah mengetahui manfaat nutrisinya. “Saya tidak pernah membayangkan makan belalang, tapi rasanya renyah dan gurih,” ujar Clara Fernandez, turis asal Spanyol yang mencicipi kuliner ekstrem itu.
Berpindah ke Vietnam, kuliner ekstrem juga dapat ditemukan dalam bentuk telur itik setengah menetas yang dikenal sebagai balut. Makanan ini disajikan dengan daun kemangi, garam, dan cabai. Di kalangan masyarakat lokal, balut dipercaya dapat meningkatkan stamina dan menjadi sajian istimewa saat berkumpul bersama keluarga.
Di Filipina, balut juga sangat populer dan dijual di banyak sudut kota, mulai dari Manila hingga Davao. Balut biasanya dikonsumsi pada malam hari dan dijajakan oleh pedagang keliling.
Sementara itu, di Kamboja, salah satu sajian ekstrem yang cukup dikenal adalah tarantula goreng. Labah-labah besar ini digoreng garing dan disajikan dengan bumbu rempah-rempah lokal. Banyak pengunjung mengaku rasa tarantula mirip dengan kepiting goreng.
“Awalnya saya takut, tapi ternyata rasanya cukup enak dan renyah,” kata Peter Lawson, turis asal Inggris saat berkunjung ke Siem Reap. Ia mengaku penasaran setelah membaca ulasan dari situs kuliner internasional.
Di Cina, salah satu menu ekstrem yang cukup kontroversial adalah otak monyet, walau praktik ini sudah sangat jarang ditemukan karena tekanan dari kelompok pecinta hewan. Namun, hidangan ekstrem lain seperti sup penyu, cakar beruang, dan ular masih bisa ditemukan di beberapa wilayah pedesaan.
Di kawasan Afrika, khususnya Uganda dan Kenya, belalang goreng dan tikus hutan panggang menjadi menu yang cukup lumrah di beberapa komunitas. Belalang disukai karena teksturnya yang renyah dan rasanya yang gurih.
Di Indonesia, walaupun tidak sepopuler di negara lain, kuliner ekstrem seperti sate ular, biawak, dan kelelawar juga bisa ditemukan di daerah seperti Manado, Papua, dan Jawa Barat. Hidangan-hidangan ini sering dikaitkan dengan pengobatan tradisional dan kepercayaan lokal.
Dikutip dari Kompas.com, masyarakat Minahasa memiliki tradisi mengonsumsi aneka satwa liar sejak zaman nenek moyang mereka. “Bukan soal ekstrem, ini adalah budaya yang diwariskan turun-temurun,” kata Antonius, warga Tomohon, Sulawesi Utara.
Sementara itu, di Amerika Latin, kuliner ekstrem mengambil bentuk yang berbeda. Di Peru, terdapat hidangan anticuchos yang terbuat dari jantung sapi yang dibakar seperti sate. Di Meksiko, escamoles atau telur semut dianggap sebagai kaviar Meksiko karena harganya yang tinggi dan rasanya yang lembut.
Escamoles biasanya dimasak dengan mentega dan bawang putih, lalu disajikan bersama tortilla. Hidangan ini berasal dari zaman Aztec dan masih bertahan hingga kini.
Tidak hanya itu, di Kolombia, terdapat hidangan bernama hormigas culonas atau semut pantat besar yang digoreng hingga renyah. Makanan ini populer di wilayah Santander dan dianggap sebagai camilan spesial.
Di Eropa, meskipun kuliner ekstrem tidak terlalu umum, beberapa negara seperti Islandia memiliki hakarl, yaitu hiu yang difermentasi selama berbulan-bulan. Makanan ini dikenal memiliki aroma yang sangat kuat dan rasa yang tajam.
“Saya hampir muntah saat mencium baunya, tapi rasa dagingnya lebih ringan dari yang saya bayangkan,” ujar Markus Olsson, turis dari Swedia yang mencoba hakarl di Reykjavik.
Di Swedia, surströmming atau ikan herring yang difermentasi juga menjadi menu ekstrem yang terkenal karena baunya yang menyengat. Meskipun demikian, hidangan ini tetap dijual dan dikonsumsi pada momen-momen khusus.
Sementara itu, di Italia, beberapa wilayah menyajikan hidangan keju casu marzu yang penuh dengan larva hidup. Keju ini sempat dilarang namun masih bisa ditemukan di pasar tradisional di Sardinia.
Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Mira Nurhayati, menjelaskan bahwa meski ekstrem, banyak kuliner ini memiliki nilai nutrisi yang tinggi. “Serangga kaya akan protein dan mineral. Tapi tentu harus diproses secara higienis,” katanya saat dihubungi, Minggu (9/6/2024).
Menurut Mira, konsumsi makanan ekstrem juga harus mempertimbangkan kondisi tubuh dan alergi. Ia mengingatkan bahwa tidak semua orang cocok dengan protein dari serangga atau bahan tak lazim lainnya.
Beberapa organisasi internasional seperti FAO telah mendorong konsumsi serangga sebagai alternatif protein berkelanjutan. “Dengan populasi dunia yang terus tumbuh, kita perlu mencari sumber pangan yang efisien,” tulis FAO dalam laporan tahunannya.
Namun, tak semua orang siap menerima makanan jenis ini. Banyak tantangan dari segi psikologis, budaya, hingga regulasi yang mengatur keamanan pangan.
Restoran-restoran di kota besar seperti New York, Tokyo, dan London mulai menawarkan menu-menu ekstrem ini sebagai bagian dari pengalaman kuliner eksperimental. Beberapa di antaranya bahkan mengadakan festival kuliner ekstrem tahunan.
Di Indonesia, komunitas pecinta kuliner ekstrem mulai terbentuk di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Mereka rutin mengadakan pertemuan untuk mencicipi makanan tak biasa dari berbagai daerah dan negara.
Bahkan, beberapa influencer kuliner di media sosial kerap membuat konten mencicipi makanan ekstrem yang menarik perhatian jutaan penonton. Konten ini biasanya memicu perdebatan soal batas-batas etika dan kesehatan.
Sebagai penutup, fenomena kuliner ekstrem tidak hanya mencerminkan keberanian untuk mencicipi sesuatu yang berbeda, tapi juga menjadi jendela budaya yang membuka wawasan tentang cara hidup masyarakat lain. Tradisi makan serangga di Asia Tenggara, atau konsumsi jantung sapi di Peru, mencerminkan keterhubungan antara makanan, lingkungan, dan sejarah lokal.
Saran untuk masyarakat yang tertarik mencoba kuliner ekstrem adalah memulainya dari jenis yang relatif aman seperti jangkrik goreng atau telur semut. Pastikan makanan dimasak secara higienis dan dibeli dari sumber terpercaya.
Hindari mencoba makanan ekstrem yang langka atau dilindungi, seperti otak monyet atau daging hewan eksotik yang terancam punah. Penting untuk tetap mempertimbangkan aspek etis dan konservasi lingkungan.
Jika memiliki alergi atau kondisi kesehatan tertentu, konsultasikan lebih dulu dengan dokter sebelum mencoba kuliner jenis ini. Reaksi tubuh terhadap bahan yang tidak lazim bisa bervariasi pada tiap individu.
Dengan sikap terbuka namun tetap berhati-hati, eksplorasi kuliner ekstrem bisa menjadi pengalaman edukatif yang memperkaya pemahaman tentang keanekaragaman budaya dunia.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v