Jakarta, EKOIN.CO – Situasi rumah tangga yang dipenuhi oleh amarah orang tua dapat memberikan dampak signifikan terhadap kondisi psikologis anak. Fenomena ini menjadi perhatian serius para ahli psikologi anak, mengingat pola pengasuhan yang keras atau penuh kemarahan cenderung menimbulkan gangguan emosional, penurunan kepercayaan diri, hingga trauma jangka panjang pada anak.
Dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Sabtu 14 Juni 2025, sejumlah psikolog dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) memaparkan hasil penelitian terkait pengaruh emosional orang tua terhadap perkembangan anak. Psikolog anak, Ratih Ibrahim menjelaskan bahwa sikap orang tua yang sering meluapkan amarah secara verbal maupun non-verbal dapat menyebabkan anak merasa tidak aman.
“Anak yang terbiasa menghadapi kemarahan orang tua akan tumbuh dalam kondisi psikis yang rapuh. Mereka bisa merasa bersalah tanpa tahu alasannya, takut mengungkapkan pendapat, atau bahkan mengalami kecemasan berkepanjangan,” ungkap Ratih dalam seminar tersebut.
Lebih lanjut, Ratih menyebut bahwa kemarahan orang tua yang terjadi secara konsisten atau tanpa penjelasan yang sehat dapat melahirkan dinamika keluarga yang penuh ketegangan. Anak kehilangan sosok yang seharusnya menjadi tempat berlindung, dan akibatnya dapat menarik diri dari interaksi sosial.
Data yang dipaparkan oleh IPK Indonesia menyebutkan bahwa lebih dari 62% anak yang dibesarkan oleh orang tua pemarah mengalami gejala kecemasan ringan hingga berat. Angka ini meningkat tajam dalam lima tahun terakhir seiring dengan kondisi sosial ekonomi keluarga yang ikut memberi tekanan.
Psikolog perkembangan anak, Dr. Indah Kartika dari Universitas Indonesia, menambahkan bahwa anak yang tinggal di lingkungan penuh konflik verbal juga rentan mengalami gangguan konsentrasi. “Mereka mudah terdistraksi, sulit fokus belajar, dan sering kali tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri,” jelasnya.
Dalam studi lain yang dilakukan oleh Pusat Studi Keluarga Sehat (PSKS), disebutkan bahwa bentuk kemarahan yang paling berdampak adalah amarah yang disampaikan dengan kata-kata kasar, ancaman, serta ekspresi wajah yang mengintimidasi. Pola ini membuat anak merasa tidak dicintai.
Situasi ini diperburuk bila anak tidak memiliki sistem dukungan emosional yang memadai di luar rumah, seperti dari sekolah atau lingkungan sosial yang sehat. “Sebagian anak bahkan menunjukkan gejala depresi di usia yang sangat muda, yakni di bawah 10 tahun,” tutur Indah.
Pentingnya membangun komunikasi sehat antara orang tua dan anak menjadi sorotan utama dalam seminar tersebut. Psikolog keluarga, Dian Mariani, menyarankan agar orang tua lebih banyak menggunakan pendekatan dialog dan empati, bukan otoritas dan amarah.
“Orang tua bisa marah, itu manusiawi. Tapi cara mengelola marah harus bijaksana. Jangan melampiaskan pada anak yang masih belajar memahami dunia,” ucap Dian.
Menurut Dian, mendidik anak bukan hanya soal memberi batasan, tetapi juga tentang membentuk kelekatan emosional yang aman. Ketika anak merasa aman, mereka lebih mudah berkembang secara emosional dan intelektual.
Kondisi anak yang tumbuh di bawah tekanan kemarahan orang tua juga berdampak pada relasi sosial mereka di kemudian hari. Banyak dari mereka mengalami kesulitan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
Fenomena ini telah menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan bahwa konflik emosional dalam rumah tangga sering kali menjadi faktor tersembunyi dari kasus kekerasan terhadap anak. “Kekerasan emosional tak kasatmata, tapi dampaknya lebih lama daripada luka fisik,” ujar Komisioner KPAI, Jasra Putra.
Menurut Jasra, banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa kemarahan berulang, terutama yang disertai makian atau hinaan, sudah masuk dalam kategori kekerasan psikologis. “Ini bukan sekadar gaya bicara, tapi bentuk pengabaian terhadap kebutuhan emosional anak,” tambahnya.
Dalam sesi tanya jawab, beberapa orang tua yang hadir mengungkapkan kesulitan mereka dalam mengendalikan emosi saat menghadapi tingkah laku anak. Mereka mengaku butuh dukungan profesional untuk memahami cara membina anak tanpa amarah.
Sebagai respon, IPK Indonesia meluncurkan program pelatihan pengelolaan emosi untuk orang tua yang dapat diakses secara daring. Program ini bertujuan memberikan keterampilan dasar dalam berkomunikasi dengan anak secara positif.
Di sisi lain, sekolah juga didorong untuk berperan aktif dalam mendeteksi anak-anak yang mengalami tekanan psikologis di rumah. Guru dan konselor sekolah dapat menjadi mata dan telinga pertama yang menangkap tanda-tanda gangguan emosional pada siswa.
Lembaga Konsultasi Anak dan Remaja (LKAR) mencatat adanya peningkatan jumlah konseling anak terkait kecemasan rumah tangga dalam dua tahun terakhir. Banyak dari mereka datang dengan keluhan tidak dimengerti, sering disalahkan, dan takut pulang ke rumah.
Psikolog LKAR, Wina Nurhayati, menekankan pentingnya mengenali perubahan perilaku anak sebagai sinyal bahaya. Anak yang mendadak pendiam, sering menghindari kontak mata, atau kehilangan minat pada aktivitas kesukaan bisa jadi mengalami tekanan psikologis.
Perubahan kebijakan pendidikan juga mulai mempertimbangkan aspek kesehatan mental. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mulai menggalakkan pendekatan pendidikan berbasis kesejahteraan emosional sejak 2023.
Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Muhammad Hasbi, pendekatan ini bertujuan menciptakan ekosistem belajar yang sehat, tidak hanya secara akademis tapi juga psikologis. “Anak yang sehat mentalnya akan belajar dengan lebih baik,” katanya.
Kementerian juga bekerja sama dengan Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia untuk menyusun modul pelatihan bagi guru dalam menangani anak yang menunjukkan gangguan emosi.
Ketua LPT-UI, Prof. Dr. Haris Setiawan, menjelaskan bahwa pelatihan ini difokuskan pada keterampilan mengenali trauma psikologis ringan hingga berat, serta pendekatan empatik dalam mengajar.
Sementara itu, organisasi non-pemerintah seperti Save the Children Indonesia juga turut memberikan edukasi kepada keluarga melalui program parenting sehat. Program ini menyasar keluarga di daerah urban dengan risiko stres ekonomi tinggi.
Dampak jangka panjang dari pengasuhan penuh amarah bisa merembet ke persoalan kenakalan remaja, penyalahgunaan zat, hingga konflik dalam pernikahan saat anak-anak tersebut dewasa. Hal ini disampaikan oleh Yayasan Lentera Anak dalam forum parenting nasional tahun lalu.
Psikolog remaja dari yayasan tersebut, Farhan Lutfi, menyatakan bahwa pola pengasuhan masa kecil sangat menentukan cara seseorang menghadapi stres dan konflik di usia dewasa.
“Bila sejak kecil sudah terbiasa dengan kemarahan, mereka cenderung mereproduksi pola itu dalam hubungan sosial mereka, termasuk kepada pasangan atau anak mereka kelak,” jelas Farhan.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2022 juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami pengasuhan otoriter dengan tekanan emosional tinggi menunjukkan skor kebahagiaan yang lebih rendah dalam pengukuran subjektif.
Pengaruh negatif ini bahkan bisa terjadi meski orang tua memberikan kebutuhan materi anak secara memadai. Artinya, keamanan emosional jauh lebih penting daripada sekadar kecukupan ekonomi.
Seiring meningkatnya kesadaran publik, muncul berbagai komunitas daring yang menyediakan ruang aman bagi para orang tua untuk berbagi pengalaman dan belajar bersama mengelola stres pengasuhan. Salah satunya adalah Komunitas Ibu Sadar Diri (KISADARI).
Komunitas ini rutin mengadakan webinar dan pertemuan offline di berbagai kota besar di Indonesia. Tujuannya adalah membentuk ekosistem keluarga yang sehat secara emosional, dimulai dari kesadaran orang tua atas pengaruh sikap mereka terhadap anak.
Penting juga untuk memperhatikan dampak budaya patriarki yang cenderung memposisikan ayah sebagai figur otoriter dalam rumah. Padahal, ayah yang hangat dan suportif justru sangat penting bagi keseimbangan psikologis anak, sebagaimana ditunjukkan berbagai riset global.
Pentingnya peran kedua orang tua dalam menciptakan stabilitas emosional bagi anak tidak dapat diabaikan. Ketidakhadiran emosi dari salah satu pihak, baik karena marah berlebihan atau pasif, sama-sama berdampak buruk.
Berbagai pihak sepakat bahwa solusi jangka panjang terletak pada pendidikan emosional sejak dini, baik bagi anak maupun orang tua. Pendidikan ini perlu menjadi bagian dari kurikulum keluarga dalam bentuk konsultasi rutin, penyuluhan komunitas, dan dukungan pemerintah.
Diperlukan sinergi antara keluarga, sekolah, komunitas, dan negara untuk menjamin bahwa anak Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih, dan bebas dari ketakutan.
Masyarakat didorong untuk tidak menormalkan kemarahan dalam pola asuh. Sebaliknya, membentuk kesadaran bahwa menjadi orang tua adalah proses belajar seumur hidup yang harus dijalani dengan empati dan refleksi.
Kesimpulannya, pengaruh psikologis dari orang tua pemarah terhadap anak sangat nyata dan tidak bisa diabaikan. Lingkungan rumah yang seharusnya menjadi tempat aman, justru bisa menjadi sumber luka batin bila orang tua gagal mengelola emosinya.
Dibutuhkan kesadaran mendalam dari setiap orang tua bahwa perilaku mereka adalah cermin bagi pertumbuhan emosional anak. Melatih diri untuk tetap tenang, sabar, dan terbuka terhadap komunikasi adalah langkah penting dalam membangun keluarga sehat.
Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkuat peran pencegahan melalui pelatihan pengasuhan positif serta sistem deteksi dini terhadap tekanan emosional anak di sekolah dan lingkungan sekitar.
Organisasi masyarakat, komunitas parenting, serta media juga memiliki tanggung jawab kolektif dalam menyuarakan pentingnya pola asuh sehat. Narasi ini harus terus didorong agar menjadi budaya baru dalam masyarakat.
Melalui kolaborasi lintas sektor, perlindungan terhadap kesehatan mental anak dapat terjamin sejak dini. Anak yang bahagia hari ini, akan menjadi generasi tangguh dan sehat secara mental di masa depan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v