Jakarta EKOIN.CO- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia kembali menegaskan komitmennya dalam mengeliminasi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun 2030.
Langkah ini dilakukan melalui edukasi menyeluruh, deteksi dini, serta pengobatan berkelanjutan bagi kelompok berisiko.
Dalam temu media yang berlangsung secara daring pada Jumat (27/6/2025), dr. Ina Agustina selaku Direktur Penyakit Menular menyampaikan data terkini mengenai beban kasus HIV.
Disebutkan bahwa Indonesia menempati posisi ke-14 secara global untuk jumlah orang dengan HIV (ODHIV).
Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ke-9 dalam kasus infeksi HIV baru secara global.
Diperkirakan pada tahun 2025 terdapat sekitar 564.000 ODHIV di Indonesia, namun baru 63% di antaranya mengetahui status infeksinya.
Dari jumlah ODHIV yang telah teridentifikasi, 67% menjalani terapi antiretroviral (ARV).
Namun, hanya 55% yang berhasil mencapai viral load tersupresi, artinya virus tidak lagi terdeteksi dan risiko penularan sangat rendah.
Konsentrasi Kasus di 11 Provinsi
Dr. Ina juga menyoroti bahwa 76% kasus HIV di Indonesia terkonsentrasi di 11 provinsi prioritas.
Provinsi tersebut antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali, Banten, Papua, Papua Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kepulauan Riau.
Ia menjelaskan, “Penyebaran kasus HIV secara nasional banyak terjadi di populasi kunci seperti laki-laki seks dengan laki-laki (LSL), waria, pekerja seks perempuan, dan pengguna napza suntik.”
Namun, penularan di Papua telah menyebar ke populasi umum, dengan prevalensi mencapai 2,3%.
Dalam tiga tahun terakhir, angka positif HIV cenderung stagnan.
Sebaliknya, kasus IMS mengalami kenaikan, termasuk di kelompok usia muda.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, pada tahun lalu tercatat 23.347 kasus sifilis.
Dari jumlah tersebut, 19.904 kasus merupakan sifilis dini dan 77 di antaranya sifilis kongenital.
Gonore dan HPV Masih Jadi Ancaman
Gonore juga menjadi perhatian dengan angka kasus mencapai 10.506, mayoritas ditemukan di DKI Jakarta.
Peningkatan kasus ini memperlihatkan bahwa IMS menjadi tantangan serius bagi sistem kesehatan.
Dr. Ina menambahkan, “IMS bukan hanya masalah kesehatan pribadi, ini masalah kesehatan masyarakat.”
Menurutnya, IMS membuka jalan bagi penularan HIV, terutama pada usia produktif 25–49 tahun.
Tren kasus IMS kini mulai meningkat pada kelompok usia remaja, yakni 15–19 tahun.
Ini memperlihatkan bahwa edukasi dan skrining dini perlu diperluas ke generasi muda.
Salah satu IMS yang paling mengkhawatirkan adalah infeksi Human Papillomavirus (HPV).
HPV dapat memicu kanker serviks jika tidak terdeteksi sejak dini.
Untuk itu, skrining rutin dan edukasi mengenai HPV menjadi komponen penting dari strategi pencegahan.
Dr. Ina menyebut HPV masih menjadi ancaman nyata bagi perempuan Indonesia.
Pentingnya Edukasi dan Skrining Rutin
Dr. dr. Hanny Nilasari dari FKUI-RSCM juga menyampaikan perlunya edukasi menyeluruh tentang kesehatan reproduksi.
Menurutnya, IMS dan infeksi saluran reproduksi (ISR) sering kali tidak menunjukkan gejala.
Gejala IMS bisa sangat samar, terutama pada perempuan, sehingga kerap terlambat ditangani.
Hal ini dapat menyebabkan komplikasi serius jika tidak segera ditangani secara medis.
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi radang panggul, kehamilan ektopik, dan infertilitas.
Selain itu, bayi dari ibu dengan IMS berisiko mengalami kelahiran prematur atau berat lahir rendah.
Dr. Hanny menegaskan pentingnya perilaku seksual yang aman dan pemahaman menyeluruh sejak dini.
“Tren kejadian IMS dari tahun ke tahun terus meningkat, dan usia penderita makin muda,” ujarnya.
Ia juga menyoroti angka kehamilan tidak diinginkan yang meningkat di kalangan remaja.
Fenomena ini menurutnya turut memicu naiknya angka aborsi di Indonesia.
Penularan IMS Meluas di Populasi Muda
Gejala IMS bisa berupa luka di alat kelamin, cairan abnormal, ruam kulit, atau pembengkakan di lipat paha.
Penularan dapat terjadi lewat hubungan seksual, pertukaran cairan tubuh, serta dari ibu ke bayi.
Kementerian Kesehatan terus mendorong peningkatan layanan dan deteksi dini HIV dan IMS.
Target utama adalah tercapainya sasaran 95-95-95 pada tahun 2030.
Artinya, 95% ODHIV mengetahui status mereka, 95% dari mereka mendapat pengobatan, dan 95% dari yang diobati berhasil menekan jumlah virus.
Hal ini menjadi tonggak penting dalam menekan angka penularan HIV.
Selain itu, pemerintah juga menargetkan eliminasi sifilis dan gonore hingga 90%.
Program triple elimination HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak juga menjadi prioritas.
Untuk mendukung target ini, layanan tes HIV kini tersedia di 514 kabupaten/kota.
Layanan IMS tersedia di 504 kabupaten/kota, sementara tes viral load tersedia di 192 kabupaten/kota.
Pendekatan Edukasi Lewat Strategi ABCDE
Kemenkes menggalakkan kampanye pencegahan HIV dan IMS melalui pendekatan “ABCDE”.
Yakni: Abstinence, Be faithful, Condom, Drugs, dan Education.
Kampanye ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya HIV dan IMS.
Terutama pada kelompok usia muda dan populasi kunci yang rentan terhadap penularan.
Dr. Ina menekankan bahwa kolaborasi lintas sektor sangat dibutuhkan dalam upaya ini.
Dari lembaga pendidikan hingga komunitas lokal harus aktif memberikan edukasi.
Penyebaran informasi yang benar dan tidak diskriminatif dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.
Hal ini penting untuk mendorong deteksi dini serta mencegah stigma terhadap penderita.
Pemerintah juga didorong untuk menambah cakupan vaksin HPV di berbagai daerah.
Upaya ini bertujuan melindungi perempuan sejak usia sekolah dasar dari risiko kanker serviks.(*)
Berlangganan gratis WANEWS EKOIN lewat saluran WhatsUp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v