Jakarta, EKOIN.CO – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia kembali menegaskan komitmennya untuk mengeliminasi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun 2030. Pernyataan ini disampaikan dalam temu media daring pada Jumat (20/6).
Direktur Penyakit Menular Kemenkes, dr. Ina Agustina, mengungkapkan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menekan laju penyebaran HIV. Menurut data terbaru, Indonesia menempati posisi ke-14 dunia dalam jumlah orang dengan HIV (ODHIV).
Pada tahun 2025 diperkirakan ada sekitar 564.000 ODHIV di Indonesia. Namun, baru 63% yang mengetahui status HIV-nya. Dari jumlah itu, hanya 67% menjalani terapi antiretroviral (ARV), dan 55% di antaranya berhasil mencapai supresi virus.
Sebagian besar kasus HIV di Indonesia terkonsentrasi di 11 provinsi prioritas, termasuk DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Papua. “Penyebaran di Papua sudah menyentuh populasi umum dengan prevalensi 2,3%,” ujar dr. Ina.
Penularan HIV nasional masih didominasi oleh kelompok populasi kunci, seperti laki-laki seks dengan laki-laki (LSL), waria, pekerja seks perempuan, dan pengguna napza suntik. Transisi dari populasi kunci ke populasi umum menjadi kekhawatiran tersendiri.
Kasus IMS dan Risiko pada Usia Muda
Dalam tiga tahun terakhir, positivity rate HIV cenderung stagnan. Namun, jumlah kasus IMS meningkat, khususnya di kelompok usia muda. Tahun lalu, tercatat 23.347 kasus sifilis, mayoritas merupakan sifilis dini.
Sebanyak 77 kasus merupakan sifilis kongenital, yaitu penularan dari ibu ke bayi. Sementara itu, gonore juga masih tinggi, dengan 10.506 kasus, sebagian besar terjadi di DKI Jakarta. “IMS menjadi pintu masuk HIV,” tegas dr. Ina.
Infeksi HPV juga disebut sebagai ancaman serius, karena dapat menyebabkan kanker serviks. Kondisi ini rentan terjadi pada perempuan jika tidak terdeteksi dan ditangani sejak dini.
Menurut dr. dr. Hanny Nilasari dari Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI-RSCM, IMS sering kali tanpa gejala. “Gejala pada perempuan bisa samar, sehingga sering terlambat terdiagnosis,” katanya.
Ia menekankan pentingnya skrining berkala dan edukasi menyeluruh tentang kesehatan reproduksi. Gejala IMS meliputi luka di area kelamin, nyeri saat buang air kecil, dan cairan abnormal dari organ seksual.
Strategi Nasional: Edukasi dan Layanan Terpadu
Kemenkes terus memperkuat layanan dengan memperluas akses tes HIV dan IMS. Hingga kini, layanan tes HIV tersedia di 514 kabupaten/kota, sementara layanan IMS telah menjangkau 504 kabupaten/kota.
Kementerian juga memperluas layanan tes viral load di 192 kabupaten/kota untuk memastikan keberhasilan terapi ARV. Pemerintah menargetkan capaian 95-95-95 pada tahun 2030 sebagai tolok ukur eliminasi.
Triple elimination HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak turut menjadi prioritas. Pemerintah menargetkan eliminasi sifilis dan gonore hingga 90% dalam beberapa tahun ke depan.
Upaya pencegahan terus digencarkan melalui kampanye ABCDE: Abstinence, Be faithful, Condom, Drugs, dan Education. Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya HIV dan IMS.
Dr. Hanny juga menyoroti dampak serius IMS yang tidak tertangani. “Komplikasi bisa sangat parah, dari infertilitas hingga kematian neonatal,” katanya.
Komitmen Indonesia untuk mengeliminasi HIV dan IMS pada 2030 ditopang oleh strategi menyeluruh, mulai dari edukasi, peningkatan layanan kesehatan, hingga intervensi berbasis komunitas. Tantangan besar masih dihadapi, terutama dalam mendeteksi kasus sejak dini dan menjangkau kelompok rentan di seluruh daerah.
Peran serta tenaga kesehatan, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat menjadi kunci dalam upaya mengurangi penyebaran HIV dan IMS. Skrining rutin, edukasi, dan perilaku seksual yang sehat harus digalakkan sejak usia dini.
Dengan kolaborasi multisektor dan perluasan akses layanan, target eliminasi bukan hal yang mustahil. Edukasi dan pendekatan yang inklusif menjadi fondasi penting dalam menciptakan masyarakat yang sehat dan bebas dari stigma.(*)