Jakarta EKOIN.CO – Aturan baru Uni Eropa yang mulai berlaku pada 18 Februari 2024 menimbulkan kekhawatiran serius terhadap masa depan ekspor nikel Indonesia. Aturan tersebut, yakni EU Regulation 2023/1542, menetapkan bahwa seluruh perusahaan yang menjual baterai ke pasar Eropa wajib memastikan bahan mentahnya berasal dari sumber yang mematuhi prinsip keberlanjutan, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Regulasi baru ini menggantikan aturan sebelumnya, Directive 2006/66/EC, dengan pendekatan menyeluruh terhadap siklus hidup baterai, mulai dari produksi, penggunaan, hingga proses pembuangan. Tidak seperti peraturan lama, EU Regulation 2023/1542 langsung berlaku di seluruh negara anggota Uni Eropa tanpa memerlukan adaptasi ke dalam hukum nasional masing-masing.
Dalam sebuah diskusi akademik di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, pada Senin (28/07/2025), Agis Ardhiansyah, S.H., LL.M, menjelaskan bahwa aspek paling inovatif dari regulasi ini adalah kewajiban audit tuntas (due diligence) terhadap rantai pasok bahan baku baterai. Kewajiban ini menuntut produsen baterai memastikan bahan mentah seperti nikel, kobalt, litium, dan grafit diperoleh dengan cara yang adil, tidak merusak lingkungan, dan menghormati hak asasi manusia.
Ancaman Serius untuk Ekspor Nikel Nasional
Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia dan memiliki peran vital dalam pasokan global bahan baku baterai kendaraan listrik serta sistem penyimpanan energi. Namun, berbagai persoalan lingkungan dan sosial yang mencuat dalam industri nikel nasional kini menjadi sorotan internasional.
Beberapa laporan global mencatat adanya deforestasi, degradasi lingkungan, pencemaran air, dan konflik lahan antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal di wilayah-wilayah seperti Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Persoalan ini menjadi tantangan besar dalam memenuhi persyaratan ketat Uni Eropa terkait keberlanjutan.
Selain itu, penggunaan energi berbasis batu bara pada sebagian besar smelter nikel di Indonesia menjadi hambatan dalam upaya memenuhi tuntutan jejak karbon rendah yang diutamakan oleh regulasi baru tersebut. Polusi karbon yang dihasilkan bertentangan dengan standar ramah lingkungan yang diharapkan Uni Eropa.
Agis Ardhiansyah menyampaikan, “Ketentuan due diligence dalam EU Regulation 2023/1542, dalam prakteknya, dapat berujung pada pembatasan akses atau bahkan larangan tidak langsung terhadap ekspor produk nikel yang dianggap tidak memenuhi standar keberlanjutan dan hak asasi manusia.”
Tantangan Strategi dan Hukum Indonesia
Sejak tahun 2020, pemerintah Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel mentah untuk mendorong industrialisasi di dalam negeri melalui pembangunan smelter dan pengolahan nikel menjadi produk bernilai tambah. Namun demikian, langkah ini belum cukup menjawab tantangan yang ditimbulkan oleh aturan Uni Eropa jika standar keberlanjutan belum terpenuhi.
Dony Aditya Prasetyo, S.H., M.H., dalam forum diskusi tersebut menyatakan, “Untuk menjawab tantangan tersebut secara adil dan berkelanjutan, terdapat lima strategi hukum utama yang perlu dijalankan Indonesia.”
Pertama, memperkuat regulasi lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance), memastikan persetujuan masyarakat terdampak (FPIC), serta melaksanakan audit lingkungan independen yang diakui secara internasional.
Kedua, membentuk sistem sertifikasi nasional yang berfokus pada keberlanjutan industri nikel. Sistem ini harus dirancang secara inklusif dan terbuka serta mendapat pengakuan dari Uni Eropa.
Ketiga, memanfaatkan forum perdagangan internasional seperti WTO dan negosiasi IEU-CEPA untuk memperjuangkan sistem transisi energi yang adil serta pengakuan global terhadap sistem verifikasi dari negara berkembang.
Keempat, membentuk koalisi global antar negara penghasil bahan baku kritis guna memperjuangkan prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda (common but differentiated responsibilities) dalam regulasi perdagangan hijau.
Kelima, memperkuat kapasitas nasional secara kelembagaan dan teknis, termasuk pelatihan auditor lingkungan, penguatan sistem pelaporan keberlanjutan, dan digitalisasi data rantai pasok agar Indonesia dapat memenuhi standar keberlanjutan tanpa kehilangan kedaulatan regulasi.
Regulasi baru dari Uni Eropa menuntut perubahan mendasar dalam rantai pasok industri nikel Indonesia agar tetap kompetitif di pasar global. Indonesia dihadapkan pada keharusan untuk menyesuaikan diri, bukan hanya secara teknis, tetapi juga melalui pembaruan kebijakan dan pendekatan diplomasi perdagangan.
Peningkatan kolaborasi lintas sektor menjadi penting, baik antara pemerintah, pelaku industri, maupun masyarakat sipil, dalam memastikan bahwa proses penambangan dan pengolahan nikel tidak menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang merugikan.
Kepatuhan terhadap standar internasional bukan hanya menjadi tuntutan pasar, tetapi juga momentum untuk mereformasi tata kelola industri pertambangan nasional ke arah yang lebih transparan dan akuntabel. Hal ini dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin dalam rantai pasok global bahan baku energi bersih.
Di sisi lain, penguatan sistem sertifikasi dan audit lingkungan yang kredibel akan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha, sekaligus meningkatkan daya saing produk nikel Indonesia di tengah ketatnya regulasi internasional.
Pemerintah Indonesia perlu mengambil inisiatif untuk memimpin dialog internasional mengenai keadilan dalam transisi energi, serta memperjuangkan pengakuan terhadap tantangan dan kebutuhan negara berkembang dalam menjalankan ekonomi hijau.
Dengan merespons tantangan ini secara strategis dan sistematis, Indonesia dapat menjaga perannya sebagai pemain utama dalam industri baterai global, sekaligus memperkuat komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan. (*)