Jakarta EKOIN.CO – Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mengumumkan bahwa sepuluh produk unggulan dari negara tersebut kini dibebaskan dari tarif bea masuk ketika diimpor ke Indonesia. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Presiden AS, Donald Trump, melalui media sosial Truth Social pada Selasa, 15 Juli 2025 waktu setempat.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Trump menyatakan bahwa pembebasan tarif ini merupakan hasil kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Indonesia yang menurutnya menjadi “pencapaian besar” dalam hubungan bilateral kedua negara. Ia juga menegaskan bahwa kesepakatan ini akan memperluas akses AS ke pasar Indonesia.
Sementara itu, Indonesia justru dikenakan tarif impor sebesar 19 persen saat mengekspor produk ke AS, turun dari tarif awal 32 persen. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan dari sejumlah pengamat ekonomi terkait keuntungan bersih yang diperoleh Indonesia dari kesepakatan ini.
Tauhid Ahmad, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebutkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada sepuluh komoditas utama dari AS. Komoditas tersebut antara lain produk pertanian, pesawat terbang Boeing, dan barang industri bernilai tinggi lainnya.
“Setidaknya ada sepuluh komoditas top yang membuat Indonesia bergantung pada AS,” kata Tauhid kepada Kompas.com, Kamis, 17 Juli 2025.
Sepuluh Produk Bebas Tarif dan Nilai Impornya
Data yang dirilis menunjukkan bahwa nilai impor Indonesia dari AS mencapai 15 miliar dolar AS atau sekitar Rp 247 triliun. Dari jumlah tersebut, 4,5 miliar dolar AS berasal dari produk pertanian, sementara sisanya mencakup berbagai produk industri, termasuk 50 unit pesawat Boeing seri 777.
Kebijakan ini, menurut sebagian pihak, dapat menjadi tantangan bagi industri dalam negeri yang harus bersaing dengan produk-produk unggulan Amerika yang kini masuk tanpa beban bea masuk.
Dalam konteks ini, Dewan Energi Nasional (DEN) melakukan simulasi ekonomi untuk menilai dampak penurunan tarif dari sisi Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan ini berpotensi meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 0,5 persen atau sekitar Rp 100 triliun.
Selain itu, kebijakan ini diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,3 persen atau sekitar 1,8 juta orang dari total angkatan kerja Indonesia yang mencapai 140 juta jiwa.
Simulasi tersebut juga memperkirakan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat sebesar 0,6 persen dan pertumbuhan investasi sebesar 1,6 persen atau sekitar Rp 320 triliun.
Manfaat Bergantung pada Reformasi Struktural
Namun, manfaat ini dinilai sangat bergantung pada upaya pemerintah Indonesia dalam mendorong reformasi struktural, termasuk deregulasi dan efisiensi logistik. Jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan yang mendukung industri nasional, maka Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk asing.
“DEN percaya bahwa arah kebijakan ekonomi nasional yang tepat dan berbasis data akan menjadi kunci dalam mengakselerasi pertumbuhan inklusif dan berdaya saing,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Kekhawatiran juga muncul terkait nilai pembelian produk strategis dari AS yang mencapai lebih dari Rp 320 triliun. Kondisi ini dianggap sebagai bentuk “imbal balik” atas diskon tarif yang diberikan, dan bukan keuntungan bersih bagi perekonomian nasional.
Dalam perdagangan bebas, keuntungan sejati diperoleh jika ekspor nasional meningkat dan memberikan nilai tambah bagi industri dalam negeri. Tanpa itu, diskon tarif hanya akan memperbesar defisit perdagangan Indonesia terhadap AS.
Kesepakatan dagang ini juga dinilai sebagai tantangan bagi industri kecil dan menengah di dalam negeri yang harus berhadapan langsung dengan produk-produk AS yang kini lebih murah masuk ke pasar domestik.
Pemerintah Indonesia sejauh ini belum memberikan keterangan resmi terkait langkah lanjutan pasca pengumuman dari Presiden Trump tersebut.
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan Indonesia masih melakukan kajian untuk menilai dampak langsung dari kebijakan pembebasan tarif ini terhadap sektor-sektor utama perekonomian dalam negeri.
Para pelaku industri dalam negeri diharapkan tidak terpukul oleh masuknya produk unggulan Amerika Serikat. Perlindungan terhadap industri strategis nasional menjadi penting agar tidak tergilas dalam persaingan terbuka.
Langkah kebijakan fiskal, insentif investasi, dan strategi ekspor baru diperlukan agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar pasif tetapi juga dapat meningkatkan daya saing ekspornya secara global.
Penguatan sektor logistik, penghapusan hambatan birokrasi, dan peningkatan kualitas SDM menjadi agenda penting jika Indonesia ingin mengambil manfaat optimal dari kerja sama dagang ini.
Masyarakat perlu memperoleh informasi yang transparan dari pemerintah mengenai perjanjian ini. Terlebih, kebijakan dagang seperti ini memiliki dampak luas terhadap harga, lapangan kerja, dan investasi.
Kesepakatan yang terjadi harus dimonitor secara ketat agar tidak merugikan industri lokal dan meminimalkan ketimpangan antara akses pasar dan kekuatan produksi dalam negeri.
Langkah antisipasi juga harus segera disusun untuk menekan potensi dominasi produk asing yang masuk secara bebas di tengah pasar domestik yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi.
kebijakan pembebasan tarif impor terhadap produk AS memberikan potensi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun tanpa strategi pendukung, manfaat jangka panjang sulit diwujudkan. Pemerintah harus memastikan bahwa pelaku industri lokal tidak terpinggirkan dalam arus masuknya barang dari luar negeri.
Indonesia dapat memperoleh keuntungan dari sisi pertumbuhan PDB dan investasi jika kebijakan perdagangan ini disertai dengan agenda reformasi ekonomi yang kuat. Kerja sama ini hanya akan berdampak positif jika pemerintah mampu mengimbanginya dengan penguatan sektor dalam negeri.
Investasi asing yang masuk harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan produksi lokal, bukan hanya menjadi jalur distribusi produk impor. Keseimbangan antara ekspor dan impor tetap menjadi faktor penentu keberlanjutan ekonomi.
Dalam jangka panjang, Indonesia harus meninjau ulang kebijakan perdagangan bilateral dan multilateral agar tetap adaptif terhadap dinamika global. Transparansi, konsistensi kebijakan, dan sinergi antar lembaga menjadi kunci dari keberhasilan perjanjian ini.
Dengan pendekatan komprehensif, Indonesia bisa memastikan bahwa kerja sama dagang dengan AS menjadi katalisator pertumbuhan, bukan jebakan ketergantungan baru.(*)