Jakarta, EKOIN.CO – Pusat Perubahan Iklim (PPI) ITB bersama Direktorat Riset dan Inovasi (DRI) ITB menggelar seminar bertema Peran IFRS dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Berketahanan Iklim pada Rabu, 30 Juli 2025.
Kegiatan berlangsung di Auditorium IPTEKS CC Timur, ITB Kampus Ganesha, Bandung. Seminar ini menghadirkan lebih dari 100 peserta, baik secara langsung maupun daring dari berbagai sektor.
Peserta terdiri dari perwakilan lembaga pemerintah, industri, dan akademisi. Hadir pula narasumber utama dari OJK, Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup, dan PT PLN.
Seminar bertujuan menyinergikan ilmu adaptasi perubahan iklim dengan standar pelaporan keuangan internasional (IFRS) dalam konteks pembangunan nasional.
Kolaborasi keilmuan dan kebijakan ini menjadi forum strategis untuk menjawab tantangan krisis iklim secara menyeluruh, melalui pendekatan lintas sektor dan multidisiplin.
Penghubung Antara Sains Iklim dan Dunia Keuangan
Prof. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D., Kepala PPI ITB, menegaskan pentingnya menghubungkan keilmuan iklim dengan sistem keuangan berkelanjutan.
“Kami ingin menyambungkan kemampuan di bidang science of climate change adaptation dengan dunia keuangan,” ujarnya dalam sambutannya.
Ia mengungkap bahwa sektor energi kini lebih banyak meminta kajian iklim dari sisi adaptasi, bukan sekadar mitigasi. Hal ini didorong oleh realitas operasional yang terdampak langsung.
Prof. Djoko mencontohkan kasus kilang Pertamina di Balikpapan yang mengalami kekurangan air dan peningkatan suhu sebagai dampak nyata perubahan iklim.
Ia menekankan perlunya merumuskan risk metric yang benar-benar relevan dan tidak lagi mengandalkan indikator umum yang tidak sensitif terhadap fluktuasi iklim ekstrem.
Sinergi Riset dan Inovasi Multidisiplin
Deputi Direktur Pengembangan Pusat di DRI ITB, Dr. Grandprix Thomryes Marth Kadja, M.Si., menyoroti peran strategis PPI ITB sebagai pusat riset yang aktif dalam isu perubahan iklim.
“Pusat Perubahan Iklim ini meskipun tidak besar jumlah anggotanya, tapi sangat aktif dalam berkontribusi pada isu strategis nasional,” ujarnya.
Ia menyatakan bahwa ITB kini memiliki 25 pusat dan 7 pusat riset multidisiplin yang menjadi penggerak kolaborasi antar fakultas.
Menurutnya, pelibatan berbagai keilmuan sangat penting karena isu lingkungan bersifat multidimensi dan kompleks.
“Harapannya dengan Seminar IFRS ini, dapat menjadi satu tindakan kita dalam berkontribusi pada ketahanan iklim,” ucap Dr. Grandprix.
Adopsi IFRS dan ESG untuk Ketahanan Nasional
Diskusi seminar menghadirkan narasumber dari berbagai instansi, antara lain Rezza Frisma Prisandy, Ph.D. dari OJK dan Anggi Pertiwi Putri, M.Env. dari Bappenas.
Selain itu, hadir pula Franky Zamzani, S.Hut., M.Env. dari KLHK serta Fanny Abdul Aziz, VP ESG dari PT PLN.
Mereka membahas pentingnya pelaporan risiko iklim melalui standar IFRS dan integrasi kebijakan Environmental, Social, and Governance (ESG).
Dalam sesi tanya jawab, para narasumber membahas tantangan aktual seperti hambatan kebijakan, data iklim, dan kesenjangan kapasitas pelaporan.
Menurut Fanny, kolaborasi antara regulator, akademisi, dan pelaku industri adalah kunci untuk implementasi IFRS yang inklusif dan berorientasi keberlanjutan.
Suara Penanggap dan Praktisi
Beberapa penanggap turut menyampaikan pandangannya, di antaranya Dr. Tri Wahyu Hadi dari PPI ITB dan Vidya Trisandini Azzizi, Ph.D. dari Resilience Development Initiative.
Ir. David Gina Kimars Ketaren, M.SP., praktisi di bidang pembangunan, menyebut pentingnya menerjemahkan indikator keuangan ke dalam kerangka kebijakan yang responsif iklim.
Prabandari I. Moerti dari Ikatan Akuntan Indonesia menyarankan perlunya panduan teknis IFRS yang sesuai dengan konteks iklim tropis Indonesia.
Diskusi berjalan aktif dan dinamis, mencerminkan kesadaran bersama akan pentingnya kolaborasi antarsektor dalam menjawab tantangan krisis iklim.
Melalui forum ini, pendekatan teknokratis dan humanistik dihadirkan secara seimbang untuk merumuskan aksi nyata dalam kebijakan pembangunan.
Komitmen ITB Membangun Ketahanan Iklim Nasional
PPI ITB dan DRI ITB menegaskan kembali komitmennya untuk menjadi mitra strategis pemerintah dan industri dalam pengembangan sains kebijakan iklim.
Menurut panitia, seminar ini juga merupakan bagian dari rencana jangka panjang untuk merumuskan roadmap ketahanan iklim berbasis sains dan pelaporan keuangan.
Dengan keterlibatan lebih dari 100 peserta, forum ini diharapkan dapat mendorong integrasi ilmu adaptasi iklim dalam perencanaan pembangunan nasional.
Seminar IFRS yang diselenggarakan oleh ITB menandai langkah penting dalam membangun jembatan antara dunia keuangan dan sains iklim di Indonesia. Melalui forum ini, berbagai pemangku kepentingan dapat saling bertukar gagasan, pengalaman, dan inovasi lintas sektor.
Keterlibatan regulator seperti OJK, lembaga perencana seperti Bappenas, serta pelaku industri seperti PLN menunjukkan bahwa upaya adaptasi iklim tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Diperlukan sinergi antarlembaga dan dukungan dari komunitas akademik.
Kegiatan ini mempertegas peran pendidikan tinggi sebagai penggerak transformasi sistemik. Dengan menerapkan standar pelaporan risiko iklim berbasis IFRS, Indonesia dapat memperkuat ketahanan nasional menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.(*)