Jakarta, EKOIN.CO – Kebijakan pemerintah yang akan mengambil alih lahan tidak termanfaatkan selama dua tahun mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk para petani kelapa sawit. Pengurus DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Akhmad Indradi, menyatakan dukungannya terhadap penertiban tanah terlantar sesuai PP Nomor 20 Tahun 2021. Namun demikian, ia menekankan perlunya beberapa syarat agar pelaksanaannya dapat berjalan adil dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Akhmad, dalam keterangannya pada Minggu (10/8/2025), menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya terlebih dahulu memfasilitasi dan mendorong upaya pemanfaatan lahan oleh masyarakat. Ia mencontohkan daerah terpencil yang menghadapi kesulitan akses jalan. “Di Kalimantan khususnya, masyarakat itu tidak mampu mengelola lahan miliknya secara berkelanjutan karena tidak ada akses jalan produksi untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa banyak masyarakat hanya mampu menanami lahannya satu atau dua kali dengan padi gunung, lalu membiarkannya terlantar setelah kesuburan tanah berkurang. Padahal, lahan tersebut sangat potensial untuk ditanami tanaman perkebunan jangka panjang seperti sawit, karet, atau kakao yang dapat menyejahterakan petani. Oleh karena itu, selain akses jalan, ia menilai pemerintah juga harus memberikan bimbingan dan fasilitas yang relevan, seperti bantuan bibit, permodalan, dan pelatihan.
Di sisi lain, Akhmad juga menyoroti mahalnya biaya sertifikasi tanah. Ia mengatakan bahwa di Kalimantan, harga tanah per hektare hampir setara dengan biaya pembuatan sertifikat. “Harga tanah 8 juta per ha, sedangkan biaya perolehan sertifikat tanah sekitar Rp6-7 juta per bidang,” paparnya. Menurutnya, BPN yang sudah digaji negara seharusnya bisa membuat biaya sertifikasi mandiri menjadi lebih murah jika tidak mampu melanjutkan program PTSL/Prona. “Ini kan ironis,” tambahnya.
Selanjutnya, Akhmad Indradi menekankan bahwa mekanisme penertiban lahan harus dijalankan dengan benar dan memberikan rasa keadilan. Ia memperingatkan bahwa tanpa proses yang adil, akan timbul keresahan, konflik sosial, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sosialisasi pun harus dilakukan dengan baik dan memastikan masyarakat memahami aturan yang berlaku.
“Jangan asal main pasang plang saja seperti Satgas PKH dalam penertiban kawasan hutan padahal belum dilaksanakan penetapan kawasan hutan sesuai tahapan dalam aturan yang ada,” tuturnya. Ia juga menyampaikan keprihatinannya bahwa banyak kasus lahan masyarakat diambil secara legal, lalu diberikan kepada kaum elite atau pengusaha besar dengan dalih sesuai aturan atau demi proyek strategis nasional. Ia berharap agar hal serupa tidak terulang kembali.