Jakarta EKOIN.CO – Sekitar 100 ribu ton gula petani tebu saat ini menumpuk di gudang-gudang akibat pasar tidak mampu menyerap produksi lokal. Kondisi ini diperparah oleh impor gula yang berlebih pada awal tahun 2025 dan masuknya produk etanol asing.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ketua Umum DPN APTRI, Soemitro Samadikoen, menegaskan bahwa pada Februari 2025 pemerintah membuka keran impor gula sebesar 200 ribu ton untuk memenuhi Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). “Masalahnya ini bukan hanya kuantitas, tetapi janji tidak impor dan ternyata impor itu membuat keragu-raguan dari pelaku usaha terutama dari yang menyerap gula. Jangan-jangan nanti ada impor lagi,” ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR, Rabu (20/8/2025).
Banjir Impor Picu Penurunan Penyerapan Gula Lokal
Akibat kebijakan impor, banyak pengusaha gula mengurangi penyerapan dari petani. Hal ini terlihat dari jatuhnya harga gula di tingkat petani di bawah Harga Patokan Petani (HPP) Rp 14.500 per kilogram. Soemitro menjelaskan, “Bulan Juni akhir dan awal Juli itu sudah terjadi gejala-gejala penawaran gula ini ada di bawah Rp 14.500. Tetapi berbagai diskusi dengan pedagang kita tawar-menawar masih bisa sebagian dipertahankan. Nah semenjak masuk di bulan Juli-Agustus ini ternyata hampir semua penawaran itu ada di bawah Rp 14.500.”
Hasil pengamatan asosiasi menunjukkan gula impor yang membanjiri pasar menjadi penyebab utama penurunan penyerapan. Gula impor ini sering berupa gula rafinasi berukuran kecil dan dikemas plastik tipis tanpa merek, dijual pedagang dengan harga yang lebih rendah dari gula petani. Soemitro menambahkan, “Kalau harganya dijual jelas kurang lebih sama sekitar Rp 17.000 – 17.500 sesuai dengan harga acuan pembelian, kenapa pedagang memilih itu kami meyakini dan menduga dengan sangat bahwa itu pasti dibeli lebih murah dari gula kami.”
Petani Terpukul oleh Molasis dan Etanol Impor
Selain gula, petani juga menghadapi masalah menumpuknya molasis atau tetes tebu. Produk ini lebih rentan karena bentuknya cair dan membutuhkan tempat penyimpanan khusus. “Ada yang lebih bahaya, yaitu tidak terserapnya molasis. Molasis ini bentuknya cair dan tidak bisa dipindah-pindah kecuali itu di tempat yang memenuhi syarat,” kata Soemitro.
Fenomena banjir impor etanol juga memperparah kelebihan stok molasis. Molasis yang tidak terserap menimbulkan kerugian lebih besar bagi petani dan pabrik gula dibandingkan stok gula konsumsi. Imbasnya, perekonomian petani tebu menurun karena penurunan harga dan kesulitan penjualan produk sampingan.
Menurut Soemitro, ketidakpastian kebijakan impor menyebabkan keraguan pengusaha dalam membeli gula lokal. Hal ini memengaruhi stabilitas harga di pasar. Petani berharap pemerintah meninjau kembali kuota impor dan memastikan penyerapan produksi lokal agar harga tetap sesuai HPP.
Ke depan, APTRI mendorong koordinasi yang lebih ketat antara pemerintah dan pelaku usaha untuk menyeimbangkan stok gula nasional. Langkah ini dianggap penting agar produksi petani tidak sia-sia dan tetap memberikan keuntungan yang layak.
Jika kebijakan impor terus berjalan tanpa pengaturan, kemungkinan penumpukan gula dan molasis akan terus meningkat, merugikan industri gula nasional. APTRI menekankan pentingnya strategi distribusi yang tepat serta penguatan pasar lokal untuk produk gula dan turunannya.
Petani juga diimbau untuk memanfaatkan sistem kemitraan dengan pabrik gula secara efektif agar stok dapat terserap lebih optimal. Sementara itu, pengawasan terhadap kualitas dan harga gula impor harus diperketat untuk menjaga daya saing produk lokal.
banjir impor gula dan etanol menjadi faktor utama menumpuknya stok gula dan molasis di tingkat petani. Penyerapan yang menurun menyebabkan harga di pasar tidak sesuai HPP, mengancam kesejahteraan petani.
untuk pemerintah, pengusaha, dan petani antara lain: meningkatkan koordinasi kebijakan impor, memperkuat distribusi gula lokal, mengawasi kualitas produk impor, memberikan insentif pada penyerapan lokal, dan menciptakan transparansi harga untuk menjaga stabilitas pasar.(*)