Sabu Raijua EKOIN.CO – Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Program Studi Oseanografi memulai kegiatan pengabdian masyarakat di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Rabu (11/6/2025). Kegiatan bertajuk pemberdayaan perempuan pesisir ini difokuskan pada pengenalan budidaya rumput laut adaptif terhadap perubahan iklim.
Program tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. Mutiara Rachmat Putri dari Kelompok Keahlian Oseanografi Lingkungan dan Terapan, FITB ITB. Tim pengabdian tergabung dalam skema PPM Bottom-Up ITB 2025 dan terdiri atas dosen, mahasiswa sarjana, mahasiswa doktoral, tenaga pendidik ITB, serta seorang dosen dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Baca juga : ICMEM 2025 Hadirkan Kolaborasi Akademisi dan Industri
Lokasi pengabdian dipusatkan di Desa Bodae, Kecamatan Sabu Timur. Desa ini sebelumnya dikenal sebagai sentra produksi rumput laut, namun hasil panen mengalami penurunan signifikan setelah Badai Seroja tahun 2021. Kondisi tersebut mendorong perlunya teknologi baru dan bibit unggul agar produksi dapat pulih.
Pada tahap awal, tim ITB memperkenalkan jenis rumput laut Eucheuma cottonii varian “sakol” berwarna hijau. Bibit ini dinilai lebih tahan terhadap fluktuasi suhu laut dan mampu menjaga produktivitas. Sebanyak 500 kilogram bibit dibawa dari Kupang dan langsung diserahkan kepada kelompok tani perempuan Mira Kaddi Hari, yang beranggotakan 10 kepala keluarga.
Prof. Mutiara menjelaskan bahwa penguatan kapasitas perempuan pesisir menjadi bagian penting dalam program ini. “Kami datang untuk mendampingi ibu-ibu pesisir dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga lewat rumput laut. Rencana berikutnya, kami akan kembali pada 20 Juni 2025 dengan membawa tambahan satu ton bibit,” ujarnya.
Kegiatan sosialisasi budidaya tersebut juga dihadiri Wakil Bupati Sabu Raijua, Thobias Uly, Camat Sabu Timur, Kepala Desa Bodae, serta perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sabu Raijua. Sekitar 30 warga, termasuk ibu-ibu pembudidaya bersama suami dan anak-anak, aktif mengikuti acara tersebut.
Wakil Bupati Thobias Uly memberikan apresiasi kepada tim ITB dan Undana atas kontribusinya. “Atas nama Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan bibit rumput laut dan pendampingan teknis yang sangat dibutuhkan masyarakat kami,” kata Thobias.
Beliau juga menambahkan bahwa program ini diharapkan bisa diperluas hingga ke Pulau Raijua, mengingat sebagian besar penduduknya bergantung pada budidaya rumput laut sebagai sumber utama penghasilan keluarga.
Pemberdayaan perempuan pesisir
Program ini dirancang untuk memperkuat peran perempuan dalam rantai produksi rumput laut. Tidak hanya menyediakan bibit unggul, tim ITB juga memberikan pelatihan teknis tentang metode budidaya, perawatan, serta strategi pasca panen. Tujuannya adalah meningkatkan nilai jual hasil laut dan membuka akses pasar yang lebih luas.
Perempuan pesisir dipandang memiliki peran strategis dalam memastikan keberlanjutan usaha keluarga. Dengan adanya bibit baru, diharapkan kualitas hasil panen meningkat sehingga dapat mendukung stabilitas ekonomi rumah tangga di wilayah pesisir.
Selain pelatihan, tim juga membagikan modul praktis yang berisi langkah-langkah perawatan rumput laut. Materi ini dipersiapkan agar petani perempuan bisa mempraktikkannya secara mandiri meski tim ITB sudah kembali ke Bandung.
Prof. Mutiara menekankan bahwa kegiatan ini bukan hanya transfer ilmu, melainkan juga membangun kemandirian komunitas. Ia berharap program ini dapat menjadi percontohan untuk daerah pesisir lainnya di Indonesia.
Rumput laut adaptif terhadap iklim
Bibit Eucheuma cottonii varian “sakol” yang diperkenalkan dinilai mampu bertahan dalam kondisi lingkungan laut yang berubah akibat pemanasan global. Jenis ini memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap suhu ekstrem, sehingga tidak mudah rusak ketika menghadapi gelombang panas laut.
Menurut penjelasan tim, bibit ini juga memiliki produktivitas lebih stabil sepanjang tahun. Hal tersebut memberikan peluang lebih besar bagi petani untuk menjaga kesinambungan panen, yang sebelumnya terganggu akibat perubahan iklim.
Kegiatan pengabdian ini menegaskan komitmen ITB dalam menjawab tantangan lingkungan dengan pendekatan berbasis sains. Program juga menegaskan peran perguruan tinggi dalam menghubungkan hasil riset dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Dukungan pemerintah daerah semakin memperkuat keberlanjutan kegiatan. Dengan adanya sinergi antara ITB, Undana, dan pemerintah setempat, diharapkan pemberdayaan perempuan pesisir ini mampu mengembalikan kejayaan Sabu Raijua sebagai sentra produksi rumput laut.
Secara lebih luas, program ini menjadi bagian dari upaya memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat pesisir dalam menghadapi dampak krisis iklim. Budidaya rumput laut adaptif diharapkan menjadi jalan keluar bagi petani yang kehilangan produktivitas akibat faktor lingkungan.
Pada akhirnya, keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada komitmen masyarakat pesisir sendiri. Pendampingan berkelanjutan dari akademisi, serta dukungan kebijakan pemerintah, menjadi faktor penting dalam mempercepat tercapainya hasil nyata di lapangan.
Sebagai penutup, kegiatan ITB di Sabu Raijua bukan hanya sebuah inisiatif jangka pendek, tetapi bagian dari strategi jangka panjang dalam membangun ketahanan masyarakat pesisir. Melalui rumput laut adaptif, diharapkan muncul model pemberdayaan yang bisa direplikasi di wilayah pesisir lain di Indonesia.
Penting pula menjaga konsistensi pengawalan setelah bibit dibagikan. Tanpa keberlanjutan, program berpotensi berhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama erat antara tim akademisi, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal.
Selain itu, sinergi lintas sektor, termasuk pelaku usaha dan lembaga keuangan, bisa memperkuat pemasaran hasil panen. Dengan cara itu, perempuan pesisir tidak hanya sekadar penghasil bahan mentah, tetapi juga berdaya dalam rantai nilai ekonomi yang lebih luas.
Program ini juga memberikan pembelajaran bahwa perubahan iklim tidak hanya ancaman, melainkan peluang untuk beradaptasi. Inovasi bibit unggul dan transfer teknologi menjadi bukti nyata bahwa tantangan bisa diubah menjadi kekuatan.
Dengan demikian, kehadiran ITB di Sabu Raijua membawa harapan baru bagi masyarakat pesisir. Rumput laut adaptif dapat menjadi simbol ketahanan, sekaligus membuka jalan bagi peningkatan kesejahteraan jangka panjang.
Keberlanjutan program akan menjadi tolok ukur penting. Jika berhasil, maka Sabu Raijua bisa kembali bangkit sebagai pusat produksi rumput laut dan menjadi contoh sukses pemberdayaan perempuan pesisir di Indonesia.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v