Jakarta,EKOIN.CO –Nikel menjadi salah satu komoditas tambang yang kini menempati peran strategis dalam mendukung transisi energi global. Di tengah peningkatan permintaan terhadap kendaraan listrik dan pengembangan teknologi ramah lingkungan, nikel mendapat perhatian luas sebagai bahan baku utama dalam pembuatan baterai lithium-ion. Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, turut menjadi pemain utama dalam rantai pasok global logam ini.
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan nikel sekitar 21 juta ton, atau sekitar 22% dari total cadangan nikel dunia. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar secara global, diikuti oleh Australia dan Rusia. Sebagian besar cadangan tersebut tersebar di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Manfaat utama nikel yang paling menonjol saat ini adalah perannya dalam industri baterai kendaraan listrik. Nikel menjadi komponen penting karena dapat meningkatkan kepadatan energi dan memperpanjang daya tahan baterai. Dengan penggunaan nikel dalam katoda baterai lithium-ion, produsen dapat mengurangi pemakaian kobalt yang mahal dan sering dikaitkan dengan isu lingkungan serta hak asasi manusia.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, menyatakan bahwa nikel merupakan “komoditas masa depan” yang akan mendukung target netralitas karbon di berbagai negara. “Transformasi energi tidak akan berhasil tanpa dukungan material utama seperti nikel. Indonesia punya potensi besar untuk memainkan peran ini,” ujarnya dalam sebuah forum di Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Selain baterai kendaraan listrik, nikel juga digunakan secara luas dalam industri baja tahan karat (stainless steel). Sekitar 70% produksi nikel global masih digunakan untuk membuat stainless steel, yang menjadi bahan utama dalam berbagai sektor mulai dari konstruksi, alat rumah tangga, hingga peralatan medis. Penggunaan ini menjadikan nikel sebagai komoditas multifungsi dengan nilai ekonomi yang tinggi.
Pengolahan nikel di Indonesia juga menjadi prioritas pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Melalui kebijakan hilirisasi, pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah sejak Januari 2020 dan mendorong pembangunan smelter atau fasilitas pengolahan mineral. Langkah ini bertujuan untuk menggerakkan industri turunan dan menciptakan lapangan kerja.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyebut bahwa hilirisasi nikel berhasil menarik investasi asing yang signifikan. “Kita sudah melihat bagaimana smelter dan industri baterai berkembang di kawasan industri Morowali dan Weda Bay. Ini membawa multiplier effect bagi perekonomian daerah,” katanya pada Februari lalu.
Namun, pengembangan industri nikel juga menimbulkan tantangan, terutama dalam aspek lingkungan dan sosial. Beberapa studi menunjukkan bahwa proses penambangan dan pengolahan nikel dapat berdampak pada pencemaran air dan udara, serta mengganggu ekosistem setempat. Aktivis lingkungan dan masyarakat adat kerap menyuarakan kekhawatiran terhadap proyek-proyek nikel besar.
Laporan dari WALHI menyebutkan bahwa kegiatan tambang nikel di Sulawesi Tengah telah menyebabkan kerusakan hutan dan menurunkan kualitas air sungai yang menjadi sumber hidup warga. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi harus ada keadilan ekologis dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah, Aswin, dalam sebuah diskusi daring.
Sejalan dengan itu, pemerintah mulai menyiapkan regulasi ketat untuk mengatur dampak lingkungan industri nikel. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah merumuskan standar baku mutu emisi dan limbah dari smelter nikel, guna memastikan operasional industri tidak merusak lingkungan sekitar.
Di sisi lain, peluang Indonesia untuk menjadi produsen utama baterai dunia semakin terbuka. Dengan dukungan dari investor asing seperti CATL (China) dan LG Energy Solution (Korea Selatan), Indonesia membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Karawang dan Batang. Proyek ini menyasar pasar ekspor ke Eropa dan Amerika Utara.
Pemerintah juga menargetkan agar nikel Indonesia tidak hanya berhenti di produk antara seperti nikel matte atau ferronickel, tapi bisa menjadi bagian dari ekosistem kendaraan listrik secara utuh. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut bahwa Indonesia akan menjadi pemain kunci dalam industri baterai kendaraan listrik dalam satu dekade ke depan.
“Ini adalah masa depan kita. Kita ingin mengubah Indonesia dari negara pengekspor bahan mentah menjadi negara penghasil teknologi energi bersih,” ujarnya dalam pertemuan dengan investor di Davos, Januari lalu.
Peningkatan konsumsi nikel secara global membuat harga komoditas ini cukup fluktuatif. Berdasarkan catatan dari London Metal Exchange (LME), harga nikel sempat menyentuh US$ 30.000 per ton pada awal 2023 sebelum kemudian mengalami koreksi. Ketidakstabilan ini menunjukkan pentingnya pengelolaan pasokan dan permintaan yang seimbang.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menekankan perlunya strategi jangka panjang dalam pengelolaan sumber daya nikel. “Hilirisasi harus diiringi dengan tata kelola yang baik, transparansi dalam perizinan, dan pengawasan ketat terhadap dampak lingkungan,” kata Fahmy dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.
Sementara itu, Badan Geologi ESDM mengingatkan pentingnya eksplorasi cadangan baru untuk memastikan pasokan nikel jangka panjang. Dalam laporan tahunan mereka, disebutkan bahwa beberapa wilayah di Papua dan Maluku masih memiliki potensi besar namun belum tergarap optimal.
Pemerintah daerah juga didorong untuk berperan aktif dalam pengawasan aktivitas pertambangan dan memastikan adanya kontribusi nyata bagi pembangunan wilayah. Hal ini termasuk dalam bentuk dana bagi hasil, program CSR perusahaan, serta pembangunan infrastruktur dasar.
Beberapa kepala daerah di wilayah penghasil nikel menyuarakan pentingnya dialog antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat lokal. Bupati Halmahera Tengah, Edi Langkara, menyampaikan bahwa keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan menjadi kunci keberhasilan industri nikel di daerahnya.
“Jangan sampai kekayaan sumber daya ini justru menyisakan kerusakan jangka panjang. Kita ingin masyarakat menikmati hasil tambang, bukan hanya menanggung dampaknya,” ujar Edi dalam forum regional pertambangan di Ternate.
Pengembangan teknologi pengolahan nikel rendah karbon juga mulai diperkenalkan. Beberapa perusahaan menggandeng mitra internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menggunakan sumber energi terbarukan dalam operasional mereka. Hal ini dinilai sejalan dengan komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon.
Perusahaan-perusahaan seperti PT Vale Indonesia dan Harita Nickel telah mengumumkan rencana dekarbonisasi dan transisi ke penggunaan energi bersih. Mereka juga memperluas program pemulihan lingkungan pascatambang serta memberdayakan masyarakat di sekitar wilayah operasional.
Namun demikian, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan lingkungan di sektor tambang masih dianggap lemah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kajian tahunannya menyebutkan bahwa masih banyak perusahaan tambang yang belum memenuhi kewajiban reklamasi dan pascatambang sesuai aturan.
Pihak KPK menekankan perlunya digitalisasi sistem pengawasan dan integrasi data lintas lembaga agar transparansi dan akuntabilitas bisa ditingkatkan. Ini menjadi perhatian khusus di tengah meningkatnya nilai strategis komoditas nikel.
Melihat peran nikel yang begitu luas, penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga keberlanjutan industri ini. Dengan pengelolaan yang tepat, nikel bisa menjadi motor penggerak ekonomi hijau dan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem.
Perencanaan yang matang dalam eksplorasi dan produksi nikel harus didukung oleh transparansi dan partisipasi publik. Perusahaan tambang wajib mematuhi regulasi dan menjalankan tanggung jawab sosial secara konsisten demi mencegah konflik sosial dan kerusakan lingkungan.
Sementara itu, peran masyarakat sipil dan media tetap penting untuk melakukan kontrol sosial terhadap industri nikel. Dengan akses informasi yang terbuka, semua pihak dapat saling mengawasi demi keberlanjutan dan keadilan sumber daya alam.
Di sisi lain, dunia pendidikan dan riset perlu didorong untuk mengembangkan inovasi teknologi yang ramah lingkungan dalam pengolahan nikel. Sinergi antara akademisi, industri, dan pemerintah dapat memperkuat daya saing nikel Indonesia di pasar global.
Nikel telah menunjukkan manfaat besar, baik dalam transisi energi, pembangunan industri, maupun pengembangan daerah. Tantangan yang ada dapat diatasi jika seluruh pihak mengedepankan prinsip keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya ini.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v