Jakarta, ekoin.co – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa musim kemarau tahun 2025 di Indonesia akan berlangsung lebih pendek dari prediksi sebelumnya. Hingga awal Juni 2025, hanya sekitar 19 persen wilayah Indonesia yang telah memasuki musim kemarau, sementara sisanya masih mengalami curah hujan menengah hingga tinggi.
Pembaruan prakiraan ini diumumkan BMKG pada Minggu (23/6/2025) di Jakarta, menyusul analisis pola iklim regional dan global. Menurut BMKG, anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dan tekanan udara di wilayah Asia Tenggara menyebabkan pertumbuhan awan hujan masih aktif di sebagian besar wilayah Tanah Air.
“Kondisi ini tentu berdampak signifikan pada sektor pertanian dan air, dan kami mendorong pemerintah daerah untuk segera menyesuaikan strategi,” ujar Kepala Pusat Informasi Iklim BMKG, Dwikorita Karnawati.
BMKG juga menyampaikan bahwa musim kemarau diperkirakan baru akan mendominasi sebagian besar wilayah pada pertengahan Juli, dan bahkan ada beberapa wilayah di Sumatera dan Sulawesi yang mungkin tidak mengalami kemarau kering sama sekali tahun ini.
Produksi Padi Diperkirakan Meningkat
Dalam laporan terpisah, Kementerian Pertanian menyambut baik kondisi cuaca ini. Dengan curah hujan yang masih tinggi, produksi padi nasional diperkirakan mencapai 21,76 juta ton sepanjang Januari hingga Juli 2025. Angka ini meningkat 14,93 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang hanya mencapai 18,9 juta ton.
Target produksi padi nasional sepanjang tahun ini pun ditingkatkan menjadi 32 juta ton, naik dari capaian tahun 2024 sebesar 30,62 juta ton.
“Kami harap para petani dapat memanfaatkan situasi ini untuk memperluas masa tanam dan meningkatkan indeks pertanaman,” kata Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Suwandi, dalam pernyataan resmi.
Waspada Terhadap Banjir dan Cuaca Ekstrem
Meski membawa dampak positif untuk pertanian, BMKG memperingatkan potensi cuaca ekstrem seperti banjir lokal dan tanah longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Salah satu contoh nyata adalah banjir besar yang terjadi di wilayah Jakarta Timur pada awal tahun, yang merendam ratusan rumah dan memaksa lebih dari 3.000 warga mengungsi, dengan ketinggian air mencapai tiga meter di beberapa titik.
“Kita tak bisa hanya melihat manfaatnya saja. Di sisi lain, perpanjangan musim hujan ini juga memperbesar risiko bencana, terutama di wilayah rentan seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan,” jelas Dwikorita.
BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan aktif memantau peringatan dini yang dikeluarkan oleh lembaga terkait, serta mempersiapkan langkah antisipatif di tingkat RT/RW, khususnya dalam pengelolaan drainase dan sanitasi lingkungan. (*)