Jakarta, EKOIN.CO – **Jakarta**, Pusat **EKOIN.CO Pelaporan -** dan Kebijakan Analisis pembukaan Transaksi kembali Keuangan jutaan (PPATK) rekening telah yang membatalkan sebelumnya pemblokiran diblokir terhadap oleh lebih PPATK dari menimbulkan 28 kekhawatiran juta di rekening tengah yang para sebelumnya analis. mereka Langkah kategorikan tersebut sebagai diumumkan rekening oleh menganggur pejabat atau PPATK dormant. pada Pencabutan Kamis, blokir 31 ini Juli, dilakukan menyusul setelah peninjauan PPATK ulang meninjau transaksi ulang yang transaksi dilakukan dan oleh memastikan lembaga rekening-rekening tersebut. tersebut Meskipun tidak pembatalan memiliki blokir keterkaitan tersebut dengan telah aktivitas dilakukan, pidana. validitas Pembukaan kebijakan kembali yang jutaan diambil rekening tetap ini menjadi menimbulkan sorotan pertanyaan utama mengenai dalam validitas diskusi kebijakan terkait. yang diambil, dengan para analis menilai bahwa langkah tersebut terkesan problematis sejak awal. Pembatalan ini disiarkan oleh pejabat PPATK pada Kamis, 31 Juli. Jskarta, EKOIN.CO – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah membatalkan pemblokiran terhadap lebih dari 28 juta rekening yang sebelumnya mereka kategorikan sebagai⁰ “rekening menganggur” atau dormant. Pencabutan blokir ini dilakukan setelah PPATK meninjau ulang transaksi dan memastikan rekening-rekening tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan aktivitas pidana. Pembukaan kembali jutaan rekening ini menimbulkan pertanyaan mengenai validitas kebijakan yang diambil, dengan para analis menilai bahwa langkah tersebut terkesan problematis sejak awal. Pembatalan ini disiarkan oleh pejabat PPATK pada Kamis, 31 Juli.
Menurut Juru Bicara PPATK, Natsir Kongah, sebanyak 28 juta rekening lebih telah dibuka kembali. Ia menambahkan bahwa PPATK mengambil keputusan tersebut untuk melindungi rekening dari potensi kejahatan, termasuk penipuan dan pencucian uang. Meskipun demikian, kebijakan pemblokiran yang dilakukan PPATK menuai keluhan dari masyarakat. Banyak kalangan menilai kebijakan ini sebagai “sabotase pemerintah”, terutama bagi mereka yang memang sengaja menyimpan dana di rekening sebagai tabungan dan dana darurat.
Setelah kontroversi tersebut mencuat, beberapa bank menyatakan bahwa pemblokiran rekening adalah bagian dari kepatuhan terhadap regulasi yang ditetapkan otoritas keuangan di Indonesia, termasuk PPATK. Mereka mengimbau masyarakat agar tidak khawatir terhadap keamanan dana dan data yang tersimpan di bank. Dalam sebuah pernyataan yang dilansir oleh BBC News Indonesia, Natsir Kongah menepis anggapan bahwa pembukaan kembali jutaan rekening itu disebabkan oleh ketidakcermatan PPATK dalam merumuskan kebijakan.
Natsir menjelaskan, pembukaan kembali rekening yang diblokir didasarkan pada keluhan nasabah yang disampaikan melalui formulir keberatan. PPATK kemudian memverifikasi ulang setiap rekening. Jika tidak ditemukan indikasi tindak pidana, seperti judi online, PPATK akan menginstruksikan bank untuk membuka blokir rekening tersebut. Ia menuturkan bahwa PPATK memiliki niat lurus untuk melindungi kepentingan nasabah. Ia juga mengklaim, banyak nasabah yang justru bersyukur karena merasa dilindungi.
PPATK menyatakan bahwa pemblokiran rekening dormant merupakan upaya perlindungan hak dan kepentingan pemilik sah. Mereka menyebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir, rekening pasif kerap menjadi target kejahatan. Rekening-rekening ini sering diperjualbelikan atau digunakan sebagai rekening penampung tindak pidana, seperti korupsi, narkotika, judi online, dan peretasan digital. Natsir mengungkapkan, sejak Mei lalu, PPATK telah memblokir sekitar 31 juta rekening dormant dengan total nilai mencapai Rp 6 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 140 ribu rekening tidak melakukan transaksi selama lebih dari 10 tahun, dengan nilai mencapai Rp 428 miliar.
Sejumlah juru bicara bank enggan berkomentar banyak terkait polemik pemblokiran rekening. Namun, mereka menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari dukungan untuk mencegah penyalahgunaan rekening perbankan untuk aktivitas ilegal, sejalan dengan narasi yang digaungkan PPATK. EVP Corporate Communication & Social Responsibility PT Bank Central Asia, Hera Haryn, dikutip dari Kompas.com, mengatakan bahwa BCA mematuhi kebijakan dan arahan dari otoritas serta regulator. Demikian pula pernyataan Corporate Secretary BNI, Okki Rushartomo, yang menyebut BNI mendukung penuh langkah PPATK. Okki mengimbau nasabah agar tidak khawatir mengenai keamanan dana mereka dan mendorong nasabah untuk menjaga keaktifan rekeningnya.
Kebijakan Pemblokiran PPATK Menuai Kritik
Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai pemblokiran rekening dormant adalah sebuah kekeliruan. Menurutnya, PPATK seharusnya lebih teliti dalam memetakan pelaku kejahatan alih-alih melakukan pemblokiran secara menyeluruh. Ia menyebutkan, PPATK memiliki kapabilitas untuk mengidentifikasi simpul-simpul pemilik judi online. Eko juga berpendapat bahwa PPATK gagal memahami pola bisnis perbankan, terutama kebiasaan masyarakat Indonesia yang menyimpan dana di rekening sebagai cadangan atau dana darurat.
Ekonom Universitas Indonesia, Telisa Falianty, menyatakan bahwa keluhan masyarakat menunjukkan bahwa kebijakan PPATK ini bermasalah. Ia menilai PPATK melakukan generalisasi dan tidak sejalan dengan prinsip “know your customer” yang berlaku dalam dunia perbankan. Ia menuturkan, tidak semua rekening yang tidak aktif digunakan untuk tindak pidana. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme yang lebih cermat dalam menentukan pemblokiran rekening.
Dampak Baik dan Buruk Pemblokiran Rekening
Meskipun demikian, ada pula ekonom yang memahami alasan di balik pemblokiran rekening dormant. Ekonom Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), David Sumual, menilai pemblokiran ini sebagai langkah positif untuk menekan penyalahgunaan rekening. Ia mengatakan bahwa industri perbankan yang bersih dari tindak pidana akan mampu menjaga transparansi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, investor akan menjadi lebih yakin terhadap tata kelola pemerintahan yang baik.
David juga mencatat adanya temuan lain dari PPATK, yaitu 2.000 rekening instansi pemerintah yang turut diblokir dengan nilai mencapai Rp 500 miliar, serta 10 juta rekening penerima bantuan sosial (bansos) yang tidak aktif selama tiga tahun dengan dana mengendap mencapai Rp 2,1 triliun. Pemblokiran dana bansos yang mengendap ini dinilai positif oleh David. Ia menyebutkan, dana bansos sejatinya disalurkan pemerintah untuk menggerakkan roda perekonomian. Jika dana tersebut dibiarkan mengendap, tujuan ekonomi yang ingin dicapai tidak akan terwujud.
Eko Listiyanto sependapat dengan David bahwa pemblokiran rekening dormant bisa menangkal berbagai tindak pidana. Akan tetapi, Eko berharap pemblokiran dilakukan lebih teliti dengan mendalami riwayat pergerakan rekening. Ia menegaskan agar tidak semua rekening dormant dibekukan secara merata. Eko khawatir jika mekanisme pemblokiran tidak dievaluasi dengan rinci, minat masyarakat untuk menyimpan uang di bank akan tergerus. Hal ini, menurutnya, dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
INDEF mencatat, pengelolaan dana pihak ketiga oleh bank pada Mei 2025 hanya tumbuh sebesar 4%, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 8%. Eko berpendapat, pemblokiran yang tidak teliti dapat menimbulkan ketidakpastian di masyarakat. Dampak buruk berupa potensi penurunan kepercayaan terhadap bank juga diutarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini agar tidak mempersulit masyarakat yang terdampak.
Salah satu nasabah, Tia, yang tengah menempuh pendidikan di Inggris, mengaku sangat kesal karena tiga rekening miliknya diblokir tanpa pemberitahuan. Ia merasa ini seperti “prank, teror, atau sabotase”. Tia sengaja membiarkan rekening-rekeningnya tidak aktif karena ia tidak bertransaksi menggunakan rupiah selama berada di luar negeri. Ketika menghubungi layanan pelanggan bank, ia diberitahu bahwa pemblokiran dilakukan atas dasar kebijakan PPATK. Ia diminta mengisi formulir keberatan, namun tautan formulir tersebut tidak bisa diakses dari luar negeri.
Nasib serupa juga menimpa Citra, mahasiswa Indonesia di Jerman, yang rekeningnya diblokir sejak 29 Juli. Meskipun ia akan kembali ke Indonesia pada akhir Agustus untuk mengurus rekeningnya, kekesalannya belum reda. Ia merasa seharusnya ada pemberitahuan sebelum pemblokiran dilakukan. Citra mendiamkan rekening tersebut dalam setahun terakhir dan uang puluhan juta di dalamnya adalah dana daruratnya. Peruntungan Tia tidak sebaik Citra. Ia merasa pasrah dan harus menunggu masa studinya selesai di Inggris karena tidak dapat kembali ke Indonesia untuk mengurus pemblokiran rekeningnya. Ia berpendapat, kebijakan ini adalah “disrupsi kehidupan, bukan perlindungan”.
Saran dan masukan dari para ahli dan lembaga terkait perlu menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah dan PPATK. Penting untuk meninjau kembali mekanisme pemblokiran rekening, agar tidak ada lagi masyarakat yang menjadi korban kebijakan yang kurang cermat. PPATK harus mampu memilah rekening yang benar-benar terindikasi tindak pidana dari rekening yang hanya tidak aktif karena kebutuhan nasabah. Tanpa adanya perbaikan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional bisa menurun, yang pada akhirnya dapat merugikan stabilitas ekonomi.
Dampak dari kebijakan yang terburu-buru ini dapat menimbulkan ketidakpastian yang luas di masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator antara PPATK, perbankan, dan masyarakat. Komunikasi yang transparan dan solusi yang humanis sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan ini. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa mekanisme pengaduan dan pemulihan rekening yang diblokir menjadi lebih mudah dan dapat diakses oleh semua nasabah, termasuk mereka yang berada di luar negeri. Hal ini akan mencegah terjadinya kesenjangan geografis yang dikeluhkan oleh sebagian nasabah.
Kesimpulan dari polemik ini menunjukkan bahwa niat baik PPATK untuk memberantas kejahatan perlu diimbangi dengan metode yang lebih akurat dan terperinci. Meskipun pemblokiran rekening dormant dapat menjadi cara untuk menangkal kejahatan, implementasinya tidak boleh merugikan nasabah yang tidak bersalah. PPATK harus mampu memahami berbagai pola perilaku nasabah yang beragam, termasuk mereka yang sengaja menyimpan dana darurat atau sedang berada di luar negeri. Ini merupakan masalah fundamental yang harus diselesaikan untuk menjaga integritas sistem keuangan nasional.
Sistem perbankan Indonesia mengandalkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan harus dirancang sedemikian rupa untuk memperkuat, bukan melemahkan, kepercayaan tersebut. Kehati-hatian dalam setiap langkah adalah kunci agar masyarakat tidak merasa dirugikan. Dengan mekanisme yang lebih selektif dan terperinci, PPATK tetap dapat menjalankan fungsinya tanpa mengorbankan hak-hak nasabah. Ini adalah momen penting bagi PPATK untuk menunjukkan kemampuannya dalam menjalankan tugas dengan profesionalitas tinggi.
Masyarakat juga perlu diberikan edukasi yang lebih baik tentang pentingnya menjaga keaktifan rekening dan risiko-risiko yang mungkin timbul jika rekening dibiarkan pasif. Sinergi antara pemerintah, regulator, perbankan, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem keuangan yang sehat dan aman. Pada akhirnya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana dalam sektor keuangan akan sangat bergantung pada bagaimana semua pihak mampu bekerja sama dengan efektif dan humanis, tanpa mengorbankan kepentingan nasabah yang tidak bersalah. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v”