JAKARTA EKOIN.CO – Rencana pemerintah untuk menghapus klasifikasi beras premium dan medium menuai respons beragam dari konsumen. Beberapa pihak merasa kebijakan ini membingungkan dan berpotensi menimbulkan masalah baru di lapangan, terutama terkait transparansi kualitas dan harga beras yang dijual bebas.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sebagian masyarakat menyatakan keberatan karena khawatir adanya penyederhanaan label akan membuka ruang praktik oplosan dan manipulasi harga. Namun, sebagian lainnya menyetujui rencana tersebut asalkan harga beras tetap dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Anastasya (29), seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, merupakan salah satu konsumen yang merasa ragu terhadap rencana tersebut. Ia menyebutkan bahwa label premium dan medium memudahkan konsumen untuk memilih beras sesuai kebutuhan.
Kekhawatiran Konsumen atas Risiko Oplosan
Dalam kesehariannya, Anastasya biasa membeli beras dengan merek Sumo atau Raja di supermarket seperti Tip Top atau melalui platform e-commerce. Namun belakangan ini, ia lebih memilih membeli Sumo Premium karena khawatir terhadap praktik oplosan yang kian marak.
“Biasanya aku beli beras di Tip Top atau online lewat (toko) Segari. Merek-nya biasa aku beli itu Sumo atau Raja, tapi sejak tahu banyak yang oplos itu aku jadi lebih sering beli Sumo Premium,” kata Anastasya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/7).
Ia menambahkan bahwa beras premium seperti Sumo lebih mudah ditemukan di supermarket atau platform online, sedangkan di toko kelontong cenderung sulit didapatkan. Hal ini menurutnya menjadi alasan lain mengapa ia memilih beras berlabel premium.
“Karena merek Sumo emang biasanya lebih banyak dijual di supermarket atau online. Soalnya Sumo termasuk beras premium jadi enggak dijual di toko kelontong,” ujarnya.
Anastasya merasa penghapusan label premium dan medium akan menyulitkan konsumen dalam membedakan kualitas beras, sekaligus membuka kemungkinan kenaikan harga tanpa adanya jaminan mutu.
Pemerintah Targetkan Penyederhanaan Klasifikasi Beras
Rencana penghapusan klasifikasi beras premium dan medium sebelumnya diungkapkan oleh Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi. Ia menilai bahwa klasifikasi tersebut sudah tidak lagi relevan dengan kondisi pasar saat ini.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Zulkifli Hasan, nantinya hanya akan ada dua kategori beras di pasaran. Beras umum akan menjadi jenis yang dikonsumsi mayoritas masyarakat, sedangkan beras khusus seperti Pandan Wangi, Basmati, dan Japonica akan memiliki sertifikasi tersendiri dari pemerintah.
Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa penyederhanaan tersebut bertujuan agar masyarakat lebih mudah memahami jenis beras yang dikonsumsi. Selain itu, pengaturan ini juga dimaksudkan untuk memperbaiki tata niaga beras agar lebih efisien.
Sementara itu, Deputi Bapanas Andriko Noto Susanto menegaskan bahwa regulasi terkait beras tidak dibuat secara sepihak, melainkan disusun berdasarkan hasil temuan di lapangan dan melibatkan pemangku kepentingan.
“Kita tidak ingin membuat regulasi dari menara gading. Kita susun berdasarkan fakta di lapangan, sambil melibatkan para pemangku kepentingan secara aktif,” ujar Andriko dalam keterangan tertulis, Selasa (29/7).
Langkah ini diharapkan bisa memberikan kepastian kepada konsumen dan pelaku usaha mengenai kualitas serta harga beras yang beredar di pasaran.
Pemerintah juga memastikan bahwa proses sertifikasi terhadap beras khusus akan dilakukan secara transparan dan diawasi langsung oleh lembaga resmi agar tidak menimbulkan polemik baru di masyarakat.
Meskipun demikian, sebagian konsumen berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali dampak kebijakan ini, terutama terhadap aksesibilitas dan kepercayaan konsumen terhadap kualitas beras.
Sebagian masyarakat khawatir bahwa tanpa label premium dan medium, akan semakin sulit membedakan mutu beras di pasar, apalagi jika tidak ada pengawasan yang ketat terhadap proses distribusi dan pengemasan.
Kekhawatiran lainnya muncul dari kemungkinan naiknya harga beras non-premium akibat penyeragaman klasifikasi. Hal ini dianggap dapat merugikan masyarakat berpenghasilan rendah yang biasanya membeli beras medium dengan harga lebih terjangkau.
Selain itu, pelaku usaha di sektor beras juga menginginkan kejelasan teknis mengenai perubahan tersebut, termasuk kriteria beras umum dan mekanisme pengawasan terhadap beras yang dijual di pasar tradisional maupun modern.
Pemerintah pun diminta menyediakan informasi yang cukup kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai tujuan dan dampak dari kebijakan baru ini.
Pentingnya komunikasi publik secara intensif menjadi sorotan, agar masyarakat merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
Sebagai bagian dari tahapan implementasi kebijakan, pemerintah direncanakan akan melakukan uji coba penyederhanaan klasifikasi beras di beberapa daerah terlebih dahulu.
Uji coba ini diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai efektivitas kebijakan sekaligus mengantisipasi potensi kendala yang mungkin terjadi di lapangan.
dari diskursus ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat yang tajam di kalangan konsumen terkait rencana penghapusan label beras premium dan medium. Sebagian merasa label tersebut penting untuk menjamin kualitas, sementara pihak lain mendukung demi efisiensi pasar. Perlu adanya kebijakan yang berpihak pada konsumen tanpa mengabaikan kepentingan produsen dan pedagang. Pengawasan ketat terhadap kualitas dan harga menjadi faktor kunci agar kebijakan ini tidak merugikan pihak manapun. Masyarakat mengharapkan adanya dialog terbuka dan kebijakan berbasis data lapangan agar implementasinya dapat berjalan lancar.
yang dapat diberikan adalah agar pemerintah tidak terburu-buru menerapkan kebijakan ini tanpa kajian mendalam. Sosialisasi harus dilakukan secara masif dan jelas kepada masyarakat luas. Perlu adanya mekanisme pelaporan untuk mencegah praktik oplosan pasca penghapusan label. Sertifikasi beras khusus harus transparan dan tidak membebani produsen kecil. Konsumen juga perlu diedukasi mengenai ciri fisik dan kualitas beras agar tidak hanya bergantung pada label.(*)