Jakarta, EKOIN.CO – Kabar mengenai akuisisi mayoritas saham PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. (BBCA) oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) beredar luas dan menarik perhatian publik. Menanggapi hal tersebut, CEO Danantara, Rosan Roeslani, memberikan pernyataan tegas bahwa hingga saat ini tidak ada rencana aksi korporasi tersebut.
“Enggak ada,” ujarnya singkat saat ditemui di gedung DPR di Jakarta, dikutip dari Warta Ekonomi.
Seiring dengan mencuatnya isu ini, pembahasan mengenai penjualan saham BCA pada tahun 2002 silam dalam rangka penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menjadi sorotan. Penjualan 51% saham BCA pada masa itu dituding telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp87,99 triliun.
Isu tersebut mencuat berdasarkan tulisan mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era Gus Dur, Kwik Kian Gie, yang berjudul “Interpelasi BLBI Kasus BCA”. Dalam tulisannya, Kwik Kian Gie menguraikan bahwa BCA memiliki utang kepada negara yang bersumber dari dana BLBI. Krisis moneter dan ekonomi tahun 1997 membuat BCA terkena rush dan menerima BLBI senilai Rp31,99 triliun. Sebagai tindak lanjut, pemerintah menyita saham-saham BCA dari keluarga Salim sebagai pelunasan utang.
Dari utang pokok tersebut, BCA telah melakukan cicilan sebesar Rp8 triliun, serta pembayaran bunga senilai Rp8,3 triliun. Dengan suku bunga yang mencapai 70% per tahun, sisa utang BLBI menjadi Rp23,99 triliun, yang setara dengan 92,8% dari nilai saham BCA saat itu. Setelahnya, pemerintah menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp60 triliun untuk menyehatkan BCA.
“Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan Rp 88 triliun),” demikian Kwik menulis. “Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp 10 triliun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp78 triliun.”
Lebih lanjut, Kwik menyoroti kredit Rp52,7 triliun yang diambil oleh Grup Salim, mantan pemegang saham BCA. Utang ini kemudian beralih menjadi utang kepada pemerintah saat 92,8% saham BCA dikuasai negara. Karena Grup Salim tidak memiliki uang tunai, mereka melunasi utang melalui skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam bentuk Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai Rp100 miliar dan 108 perusahaan.
Pada saat itu, penilaian terhadap 108 perusahaan dilakukan oleh Danareksa, Bahana, dan Lehman Brothers yang menghasilkan angka Rp51,9 triliun. Namun, penilaian yang dilakukan oleh Price Waterhouse Coopers (PwC) menghasilkan angka yang jauh berbeda, yaitu hanya Rp20 triliun. Perbedaan signifikan ini terjadi karena perbedaan asumsi makroekonomi dalam proses penilaian.
Meskipun demikian, pada tahun 2002, pemerintah akhirnya menerima Rp20 triliun dari nilai aset Rp52,8 triliun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, dengan recovery rate sekitar 34%. Selanjutnya, Presiden Megawati sepakat untuk menjual 51% saham BCA kepada publik. Perusahaan investasi asal AS, Farallon, memenangkan tender tersebut dengan membeli saham seharga US$530 juta atau Rp10 triliun.
Pada tahun 2007, Grup Djarum akhirnya menguasai BCA sepenuhnya setelah membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment, perusahaan patungan Grup Djarum dan Farallon.
Secara terpisah, pihak BCA melalui Corporate Secretary I Ketut Alam Wangsawijaya turut menanggapi kabar ini. Melalui keterbukaan informasi, I Ketut membantah informasi yang menyebutkan bahwa pembelian 51% saham BCA hanya senilai Rp5 triliun, padahal nilai pasar BCA saat itu mencapai Rp117 triliun.
“Angka Rp117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan,” sebut I Ketut. “Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar.”
Lebih lanjut, I Ketut mengklaim bahwa nilai pasar BCA saat proses strategic private placement adalah sekitar Rp10 triliun. “Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun,” tegasnya.
I Ketut juga membantah kabar bahwa BCA memiliki utang Rp60 triliun yang diangsur setiap tahun. “Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” ungkapnya.