Jakarta, EKOIN.CO – Kolaborasi riset antara Jepang dan negara-negara ASEAN terus diperkuat melalui inisiatif terbaru Pemerintah Jepang. Hal ini disampaikan Toshihide Fukui, Deputy Director-General Science and Technology, Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology, Japan, dalam Konferensi The 9th Science and Technology in Society (STS) Forum ASEAN-Japan, Kamis (24/7), di Gedung B.J. Habibie, Jakarta.
Dalam pidatonya, Fukui menekankan bahwa kerja sama internasional di bidang sains dan teknologi kini menjadi kebutuhan di tengah krisis global yang semakin kompleks. Menurutnya, tidak ada negara yang bisa menyelesaikan tantangannya sendiri tanpa kerja sama lintas batas.
Fukui mengungkapkan bahwa Jepang telah meluncurkan program Networking Exchange United to Serve (NEXUS) sejak tahun 2023. Program ini didesain untuk memperkuat kolaborasi riset dan pertukaran talenta dengan negara-negara ASEAN melalui alokasi dana sebesar USD 100 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun.
Tak hanya itu, Pemerintah Jepang juga telah menyiapkan dana tambahan sebesar USD 23 juta dalam tiga tahun ke depan. Dana ini akan difokuskan pada penguatan fasilitas riset bersama dan membuka akses ke pusat penelitian unggulan Jepang seperti Spring-8 dan J-PARC.
Fukui menegaskan bahwa ASEAN dan Jepang memiliki potensi untuk menjadi pusat riset global. “Kerja sama internasional dalam bidang sains dan teknologi bukan lagi pilihan, tapi sebuah kebutuhan terutama di tengah krisis global yang kompleks,” ujarnya.
Program Riset NEXUS dan Mobilitas Ilmuwan
Pernyataan Fukui turut diamini oleh Atsushi Arakawa dari Japan Science and Technology Agency (JST). Ia menjelaskan bahwa NEXUS lahir sebagai bagian dari peringatan 50 tahun hubungan ASEAN-Jepang dan telah mendorong kolaborasi riset lintas negara.
Beberapa fokus kolaborasi strategis yang sudah berjalan mencakup teknologi hijau dengan Thailand dan Malaysia, semikonduktor dengan Vietnam, pertanian pintar dan keamanan air dengan Kenya, serta produksi pangan bersama Indonesia.
Arakawa juga menyoroti pentingnya pertukaran peneliti. Melalui program Sakura Science dan Wartec, Jepang telah memfasilitasi ribuan pelajar dan ilmuwan ASEAN untuk belajar di Jepang. Kini giliran peneliti Jepang yang digerakkan untuk terjun ke Asia Tenggara.
Program Wartec menjadi bentuk lanjutan dari Sakura Science. Fokusnya bukan hanya pada kunjungan singkat, namun pengembangan kapasitas ilmuwan dalam jangka panjang melalui pertukaran dua arah yang setara dan berkelanjutan.
“Wartec adalah bentuk lanjutan dari Sakura Science, dengan fokus pada pengembangan kapasitas jangka panjang yang lebih berdampak,” ujar Arakawa saat menyampaikan paparannya di forum.
Penguatan Ekosistem Riset Inklusif
R. Arthur Ario Lelono, Direktur Pendanaan Riset dan Inovasi BRIN, yang bertindak sebagai moderator forum, menyatakan bahwa penguatan riset kawasan harus bersifat inklusif dan menjawab persoalan nyata masyarakat.
Arthur menekankan pentingnya mobilitas peneliti dalam ekosistem inovasi. Mobilitas bukan sekadar pertukaran individu, tetapi menjadi jembatan penghubung antar budaya ilmiah dan akses terhadap teknologi serta fasilitas global.
Konferensi STS Forum ASEAN-Japan ke-9 ini dihadiri perwakilan dari berbagai lembaga riset dan universitas se-Asia Tenggara. Forum ini menjadi ajang untuk menyamakan visi, serta menyiapkan rencana tindak lanjut antar institusi.
Menurut Arthur, infrastruktur dan pendanaan menjadi aspek krusial untuk memfasilitasi kolaborasi nyata. Ia menyebut bahwa dukungan finansial seperti dari NEXUS adalah pendorong utama untuk mewujudkan inovasi jangka panjang di kawasan.
“Pendanaan adalah tulang punggung inovasi, dan mobilitas peneliti adalah penggerak pertukaran pengetahuan,” tutup Arthur.
Forum STS ASEAN-Japan ke-9 menandai komitmen berkelanjutan antara Jepang dan ASEAN dalam memperkuat kerja sama riset ilmiah. Jepang, melalui program NEXUS dan Wartec, mendorong kolaborasi dua arah yang mendukung pertukaran pengetahuan dan inovasi di kawasan.
Dengan dukungan finansial hingga Rp 1,6 triliun dan pembukaan akses ke fasilitas riset unggulan, kerja sama ini berpotensi menjadikan kawasan ASEAN-Japan sebagai episentrum ilmu pengetahuan dunia. Fokus pada mobilitas dan keberlanjutan jadi kunci utama.
Pernyataan Fukui dan Arakawa menunjukkan bahwa sinergi kawasan dapat menjawab tantangan global. Dalam situasi dunia yang kian kompleks, kepercayaan dan kolaborasi menjadi landasan penting untuk membangun masa depan bersama.(*)