Jakarta EKOIN.CO – Mantan Direktur Utama PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI Persero), Dayu Padmara Rengganis, mengungkap laba Rp 32 miliar yang diperoleh perusahaan dari pembelian gula melalui importir. Penjelasan ini muncul saat Dayu bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (20/8/2025), menyoroti praktik penugasan pemerintah yang memengaruhi keuntungan PT PPI.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dayu menjelaskan bahwa harga pasaran gula saat itu Rp 12 ribu per kilogram, sementara PT PPI membeli gula dari importir swasta seharga Rp 9 ribu per kilogram. “Kami PPI mendapat penugasan dari Mendag. Bahkan nama importir gula tersebut dari Stafsus Mendag, kami hanya menjalankan penugasan saja,” ujarnya. Ia mengaku tidak mengetahui apakah keuntungan PT PPI bisa disebut sebagai keuntungan negara.
Kasus ini berpusat pada kuota impor gula yang diberikan Menteri Perdagangan (Mendag) saat itu, Thomas Lembong, pada periode 2015-2016. Jaksa penuntut menilai pemberian kuota tersebut merugikan keuangan negara karena tidak melalui prosedur yang sah, seperti rapat antar kementerian.
Laba PPI dan Penugasan Mendag
Menurut Dayu, pembelian gula melalui importir swasta dilakukan atas instruksi Mendag, sehingga PT PPI hanya bertindak sebagai pelaksana. Laba Rp 32 miliar tercatat sebagai hasil selisih harga pembelian dengan harga pasaran. Informasi ini memperkuat dugaan praktik yang tidak sepenuhnya transparan dalam pengelolaan kuota impor gula.
Pengacara Hotman Paris Hutapea turut menyoroti pernyataan eks Mendag Tom Lembong yang menyebut terdakwa lain dalam kasus ini seharusnya dibebaskan dari dakwaan. Hotman, yang mewakili terdakwa Tony Wijaya NG, menegaskan bahwa pelaku utama kasus ini oleh Keppres dinyatakan no case anymore. Ia meminta majelis hakim menangguhkan penahanan seluruh importir terkait.
Terdakwa Korporasi dan Dugaan Kerugian Negara
Dalam kasus ini, sembilan terdakwa korporasi menghadapi dakwaan. Mereka antara lain: Tony Wijaya NG (PT Angels Products), Then Surianto Eka Prasetyo (PT Makassar Tene), Hansen Setiawan (PT Sentra Usahatama Jaya), Indra Suryaningrat (PT Medan Sugar Industry), Eka Sapanca (PT Permata Dunia Sukses Utama), Wisnu Hendraningrat (PT Andalan Furnindo), Hendrogiarto A Tiwow (PT Duta Sugar International), Hans Falita Hutama (PT Berkah Manis Makmur), dan Ali Sandjaja Boedidarmo (PT Kebun Tebu Mas).
Para terdakwa didakwa karena kuota impor gula yang mereka terima dianggap merugikan keuangan negara. Keppres terkait menyatakan sebagian pihak tidak memiliki kasus lagi, tetapi jaksa menegaskan prosedur pengadaan gula yang dilanggar tetap menimbulkan kerugian.
Pemeriksaan saksi dan terdakwa menekankan adanya peran pemerintah melalui penugasan yang memengaruhi perdagangan gula nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang batasan pelaksanaan tugas pejabat negara dan transparansi pengelolaan sumber daya strategis.
Laporan keuangan PT PPI pada periode tersebut mencatat keuntungan signifikan, namun implikasi legal terhadap laba perusahaan masih menjadi bahan perdebatan di pengadilan. Fakta ini menjadi sorotan media dan publik terkait integritas tata kelola perdagangan pemerintah.
Pihak pengacara terdakwa menekankan bahwa keberadaan laba PT PPI merupakan hasil penugasan resmi, bukan keuntungan pribadi. Pernyataan ini menimbulkan diskusi tentang definisi “kerugian negara” dan tanggung jawab pejabat dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan.
Selain itu, kuota impor gula dianggap kontroversial karena penetapan importir dilakukan melalui jalur internal pemerintah, bukan melalui mekanisme terbuka atau rapat antar kementerian. Hal ini menjadi bukti penting dalam persidangan untuk menilai kesesuaian prosedur.
Kasus ini juga memicu sorotan publik tentang transparansi perdagangan gula dan potensi konflik kepentingan antara importir dan pejabat pemerintah. Pengadilan diharapkan bisa memberikan putusan yang jelas mengenai batasan legal dan tanggung jawab moral perusahaan dan pejabat terkait.
(*)