Jakarta, EKOIN.CO – Harga pupuk global terus menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan, memberikan tekanan besar pada sektor pertanian, termasuk di Indonesia. Sejak awal tahun 2025, indeks harga pupuk dunia melonjak hingga 15 persen. Kenaikan paling mencolok terjadi pada jenis triple superphosphate (TSP) yang naik 43 persen, serta diammonium phosphate (DAP) sebesar 23 persen.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Fenomena ini bukan sekadar perubahan musiman, melainkan mencerminkan kondisi krisis yang mencakup faktor geopolitik, kendala pasokan energi, hingga kebijakan ekspor negara produsen utama. Permintaan pupuk global yang tetap tinggi tidak diimbangi pasokan yang mencukupi, memperburuk tekanan terhadap harga.
Geopolitik dan Ekspor Memicu Kenaikan
China, salah satu eksportir nitrogen pupuk terbesar dunia, diketahui memangkas ekspor hingga lebih dari 90 persen sepanjang 2024. Kebijakan ini dilakukan demi menjaga ketersediaan domestik, namun berakibat pada keketatan pasokan global. Langkah ini memperparah kondisi pasar yang sudah tertekan.
Uni Eropa turut memperketat tarif terhadap pupuk dari Rusia dan Belarus. Kebijakan ini menghambat arus perdagangan internasional, mendorong harga pupuk lebih tinggi dibanding rata-rata harga periode 2015 hingga 2019. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah pun turut mempengaruhi distribusi pupuk dunia.
Wilayah seperti Qatar, Iran, dan Arab Saudi yang selama ini menjadi eksportir nitrogen pupuk terbesar ketiga hingga kelima di dunia mengalami gangguan logistik akibat konflik yang terjadi di kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan harga nitrogen dan urea semakin sulit untuk turun.
Meskipun harga pupuk urea sempat melemah sebesar 7,3 persen pada Selasa, 22 Juli 2025, namun sepanjang tahun ini, kenaikannya telah mencapai 32 persen. Kenaikan harga gas alam sebagai bahan baku utama turut mempengaruhi biaya produksi pupuk nitrogen, meskipun di beberapa kawasan seperti Amerika Serikat dan Eropa, harga gas mulai melandai.
Dampak Langsung ke Petani Indonesia
Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa hingga semester I tahun 2025, realisasi anggaran subsidi pupuk telah mencapai Rp10,3 triliun, meningkat dari Rp6,31 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini terutama didorong oleh bertambahnya volume penyaluran pupuk bersubsidi.
Sepanjang semester I 2025, penyaluran pupuk bersubsidi telah mencapai 3,7 juta ton. Rinciannya, pupuk Urea sebanyak 1,8 juta ton, NPK 1,8 juta ton, NPK Formula Khusus 30 ribu ton, serta pupuk Organik sebanyak 100 ribu ton. Angka ini meningkat 18,3 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Menurut Kementerian Pertanian, sekitar 30 persen bahan baku pupuk nasional, seperti amonia, sulfur, dan fosfat, masih bergantung pada impor. Jika harga global melonjak, biaya produksi domestik pun akan terdorong naik. Hal ini bisa memicu kenaikan harga pupuk nonsubsidi di dalam negeri.
Pemerintah telah merespons dengan menambah alokasi pupuk bersubsidi dari 4,7 juta ton menjadi 9,5 juta ton sejak 2024. Selain itu, jenis pupuk yang disubsidi juga diperluas mencakup SP-36 dan ZA, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 6 Tahun 2025. Skema distribusi subsidi pun telah diubah agar lebih tepat sasaran.
Kementan kini melakukan verifikasi langsung terhadap data petani, tanpa harus melalui surat keputusan bupati atau gubernur. Skema baru ini diharapkan dapat menekan kelangkaan pupuk, khususnya menjelang musim tanam utama pada bulan Oktober mendatang.
Meski begitu, jika lonjakan harga pupuk global berlanjut, pemerintah kemungkinan dihadapkan pada pilihan sulit: meningkatkan anggaran subsidi atau membatasi kuota subsidi pupuk. Opsi tersebut dapat memengaruhi ketahanan pangan nasional secara jangka panjang.
Bulog memperingatkan bahwa mahalnya harga pupuk nonsubsidi dapat menyebabkan petani mengurangi dosis pemupukan. Hal ini berpotensi menurunkan produktivitas padi, yang kemudian berdampak pada serapan gabah dan stok beras nasional. Situasi ini menjadi perhatian serius pemerintah.
Kementan mengestimasi bahwa penurunan 10 persen dosis pupuk nitrogen dapat memangkas hasil panen padi sebesar 5 hingga 7 persen. Oleh karena itu, meskipun subsidi domestik menjaga stabilitas harga, tren global tetap menjadi risiko penting yang harus diantisipasi.
Di Amerika Serikat, data harga ritel pupuk per Juli 2025 memperlihatkan DAP di angka US$810 per ton, MAP US$847, urea US$658, dan potash US$481. Dibandingkan tahun sebelumnya, harga urea naik 32 persen, UAN32 naik 30 persen, sementara DAP meningkat 7 persen.
Brazil pun menunjukkan tren serupa. Negara tersebut mengimpor 6,2 juta ton pupuk hanya dalam enam bulan pertama 2025. Langkah ini menjaga persaingan internasional tetap ketat, sekaligus memberi tekanan terhadap negara lain yang bergantung pada impor bahan baku pupuk.
Proyeksi global memperkirakan harga pupuk tetap tinggi setidaknya hingga tahun 2026. Stabilitas diperkirakan akan tercapai setelah kapasitas produksi baru di kawasan Asia Timur dan Timur Tengah mulai berjalan. Namun, bila konflik dan pembatasan ekspor masih berlanjut, harga kemungkinan tetap berada di level tinggi.
Indonesia harus menghadapi fakta bahwa sebagian kebutuhan pupuk—terutama urea, DAP, dan MOP—masih diimpor. Dalam kondisi harga global yang tinggi, menjaga kestabilan harga pupuk bersubsidi di dalam negeri akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah.
Untuk menghindari dampak lanjutan, strategi jangka panjang harus mencakup peningkatan kapasitas produksi bahan baku pupuk dalam negeri. Ketahanan energi dan bahan baku menjadi komponen penting dalam menjaga keberlanjutan produksi pangan nasional.
Diversifikasi sumber bahan baku juga perlu dipertimbangkan, termasuk menjalin kerja sama dengan negara nontradisional sebagai alternatif impor. Selain itu, pemanfaatan teknologi pertanian presisi dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Peningkatan edukasi bagi petani terkait penggunaan pupuk organik juga bisa menjadi solusi jangka panjang. Hal ini tidak hanya membantu mengurangi beban biaya, tetapi juga berkontribusi terhadap keberlanjutan ekosistem pertanian.
Kebijakan fiskal dan regulasi perlu diselaraskan agar subsidi tetap tepat sasaran, transparan, dan efektif. Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara anggaran negara dan kebutuhan petani untuk mempertahankan produktivitas nasional.
Dalam jangka pendek, intervensi pemerintah tetap dibutuhkan untuk menjaga stabilitas harga pupuk dalam negeri. Namun, ketergantungan terhadap dinamika pasar global tetap menjadi tantangan besar yang tak bisa diabaikan.
Pemerintah perlu memantau perkembangan geopolitik global secara berkala, khususnya di kawasan Timur Tengah dan Asia Timur, agar bisa mengantisipasi perubahan harga lebih awal dan menyesuaikan kebijakan dalam negeri secara responsif.
Peningkatan kapasitas riset dan pengembangan (litbang) pupuk lokal harus didorong. Inovasi dalam bahan baku dan formula pupuk dapat mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Keterlibatan sektor swasta dan BUMN dalam hilirisasi pupuk perlu diperkuat. Investasi di sektor ini tidak hanya menambah kapasitas produksi, tetapi juga meningkatkan daya saing industri pupuk nasional di pasar global.
Dengan sinergi antara pemerintah, swasta, dan petani, Indonesia diharapkan mampu mengelola risiko harga pupuk global dan mempertahankan ketahanan pangan secara berkelanjutan (*)