Jakarta, EKOIN.CO – Kurs rupiah kembali menjadi sorotan dunia keuangan global setelah menunjukkan penguatan dan pelemahan dalam beberapa pekan terakhir. Data terbaru menunjukkan USD/IDR berada di kisaran Rp16.253 per dolar pada 12 Juni 2025, naik tipis 0,06% dari sesi sebelumnya .
Penguatan Rupiah Seiring Meredanya Inflasi AS
Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, menuturkan bahwa penguatan rupiah dipicu oleh inflasi Amerika Serikat yang di bawah ekspektasi. CPI AS pada Mei 2025 tercatat naik 2,4% yoy, dibandingkan proyeksi 2,5% sebelumnya
Respons The Fed dan The Fed Cuts
Rully menambahkan, rendahnya inflasi memberikan ruang bagi pasar untuk berharap The Fed menurunkan suku bunga. “Sentimen global positif karena potensi penurunan suku bunga oleh The Fed,” ujarnya.
Intervensi Bank Indonesia Siaga
Bank Indonesia menyatakan siap mengambil langkah stabilisasi pasar valas jika diperlukan, meskipun tak membuka detail intervensi terbaru.
Tekanan dari Isu Fiskal dan Utang
Investor sempat cemas atas rencana pengeluaran besar pemerintah, termasuk program makanan gratis Prabowo, yang memicu kekhawatiran utang meningkat.
Pelemahan Terdalam Sejak Krisis
Maret lalu, nilai tukar sempat menyentuh Rp16.640 per dolar — level terlemah sejak 1998 — sebelum BI masuk pasar untuk mencegah penurunan lebih lanjut.
Sentimen Global Pengaruhi Rupiah
Data ekonomi global, terutama dari AS dan China, turut menggerakkan rupiah. Deflasi domestik dan kontraksi PMI China menjadi tekanan lanjutan.
Peluang Carry Trade Meningkat
Tren carry trade merujuk dana global yang melemahkan dolar AS, membuat rupiah menarik sebagai pilihan investasi jangka menengah .
Proyeksi Penguatan Menjelang Akhir Tahun
Bloomberg memperkirakan rupiah bisa menguat hingga sekitar Rp16.000 di akhir 2025, bahkan Rp15.200 pada akhir 2026.
Banding Regional: Won dan Rupiah
Performa rupiah sejajar dengan mata uang Asia lain seperti won Korea yang juga menikmati rebound karena ekspektasi pemangkasan suku bunga AS.
Fluktuasi Harian Tetap Tinggi
Pasar spot mencatat tingkat volatile terlihat pada kisaran Rp16.250–Rp16.350 per dolar, tergantung rilis data global.
Tekanan Deflasi Domestik
Ibrahim Assuabi menyatakan deflasi 0,37% di Mei 2025 menjadi “lampu kuning” bagi ekonomi, dengan implikasi penurunan daya beli masyarakat.
Prospek PMI Cina dan Implikasinya
Kontraksi PMI manufaktur China ke 48,3 menjadi sinyal permintaan global melemah, yang dapat menekan rupiah.
Sentimen Perdagangan AS-Cina
Ketidakpastian kebijakan tarif AS dan potensi dialog AS-Cina menciptakan fluktuasi tambahan bagi nilai tukar.
Kenaikan Tarif Trump dan Efek Davanza
Perdagangan tarif baja dan aluminium yang kembali diperketat memicu kekhawatiran pasar, tapi rupiah tetap bergerak dalam kisaran Rp16.250–16.300.
Aliran Modal dan Defisit Transaksi Berjalan
Arus modal asing tetap masuk, didorong yield tinggi rupiah, meski defisit berjalan terus melebar .
Proyeksi BI dan Defisit Fiskal
Bank Dunia memperingatkan defisit transaksional dan fluktuasi rupiah, menyoroti pentingnya kebijakan fiskal yang hati-hati .
Kesiapan BI Menjaga Stabilitas
BI kembali menegaskan kesiapan untuk stabilisasi bila dibutuhkan, termasuk intervensi pasar dan menyeimbangkan suku bunga .
Ruang Penurunan Suku Bunga di Q2 2025
Survei Reuters menunjukkan BI kemungkinan menahan suku bunga, baru mulai penurunan di kuartal II untuk mendorong pertumbuhan .
Target Pertumbuhan dan Rupiah Tahun Depan
Sri Mulyani menyebut target pertumbuhan 2026 minimal 5,2 %, dengan asumsi rupiah melemah hingga Rp16.900/dolar .
Sterilisasi Fiskal dan Moneter
Koordinasi antara kebijakan fiskal dan BI diperlukan untuk mengontrol volatilitas rupiah di tengah tekanan global .
Redenominasi Rupiah Tertunda
Proposal pemotongan tiga nol masih menggantung; BI sempat targetkan selesai antara 2024–2025, namun belum rampung .(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v