Jakarta EKOIN.CO – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening bank tidak aktif selama tiga bulan. Kebijakan ini dinilai YLKI sebagai tidak masuk akal dan tidak mendesak untuk diterapkan kepada masyarakat secara luas.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
PPATK beralasan, langkah pemblokiran tersebut merupakan upaya untuk mencegah penyalahgunaan rekening bank oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Tujuannya adalah mendukung pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta aktivitas ilegal seperti judi online. Namun, YLKI mempertanyakan urgensi dan dasar hukum kebijakan ini.
Arianto Hanefa, perwakilan dari bidang pengaduan dan hukum YLKI, menyatakan bahwa pemblokiran hanya berdasarkan ketidakaktifan transaksi selama tiga bulan tidaklah masuk akal. “Apa dasarnya gitu yang bisa publik atau masyarakat meyakini bahwa ini harus kebijakan yang dianggap penting?” ujarnya, dikutip dari YouTube tvOneNews, Kamis (31/7/2025).
Menurut Arianto, pemblokiran rekening seharusnya didahului oleh pemberitahuan kepada pemilik rekening. Ia menilai, transparansi menjadi hal utama agar masyarakat tidak merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut. “Kami harapkan juga dari PPATK untuk memberikan informasi kepada konsumen,” katanya.
Lebih lanjut, YLKI menuntut agar PPATK memberikan rincian nominal dan prosedur pengambilan dana yang telah diblokir. “Keterbukaan informasi itu terkait misalnya dilakukan pemblokiran, uang-uang yang sudah diblokir itu harus transparan,” imbuhnya.
PPATK diminta buka kanal pengaduan
YLKI juga mengusulkan agar PPATK membuka kanal pengaduan sebagai sarana bagi konsumen melaporkan permasalahan rekening yang diblokir. Arianto mengatakan hal ini penting agar pemilik rekening bisa menjelaskan bahwa rekeningnya tidak terlibat transaksi mencurigakan.
“Kami meminta sebagai lembaga perlindungan konsumen agar PPATK ini membuka suatu kanal pengaduan, sehingga nanti konsumen ketika mendapatkan atau rekening yang bersangkutan diblokir, bisa melaporkan,” katanya.
Ia menambahkan, kanal pengaduan itu perlu agar konsumen mudah mengonfirmasi kepada PPATK bahwa tidak ada indikasi tindak pidana dalam rekening tersebut. Hal ini dinilai krusial guna melindungi hak konsumen dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Dalam pernyataan resminya, PPATK menyatakan kebijakan tersebut diterapkan berdasarkan hasil analisis selama lima tahun terakhir. Hasilnya, ditemukan maraknya penggunaan rekening dormant untuk tindak pidana, termasuk jual beli rekening dan peretasan.
PPATK mencatat bahwa banyak pemilik rekening tidak mengetahui rekeningnya telah disalahgunakan. Hal ini diperparah dengan tidak dilakukannya pemutakhiran data nasabah, sehingga rekening rentan dijadikan sarana kejahatan.
Alasan PPATK blokir rekening tak aktif
Selain sebagai sarana penampung dana hasil tindak pidana, rekening dormant sering dimanfaatkan pihak tidak bertanggung jawab, termasuk pihak internal bank. Dana dalam rekening tersebut kerap diambil secara melawan hukum karena pemiliknya tidak melakukan transaksi dan tidak terdeteksi oleh sistem.
PPATK juga menyampaikan bahwa rekening dormant tetap dikenai biaya administrasi, sehingga dananya lama-kelamaan habis dan akhirnya ditutup pihak bank. Hal ini memunculkan potensi kerugian nasabah dan risiko keuangan yang tidak terdeteksi.
Dalam rangka mencegah penyalahgunaan lebih lanjut, PPATK mengambil tindakan pemblokiran sebagai bagian dari sistem pencegahan pencucian uang dan kejahatan finansial. Namun, kebijakan ini justru menuai respons negatif dari kelompok perlindungan konsumen.
YLKI menilai bahwa pemblokiran tanpa komunikasi kepada nasabah melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi secara adil. Mereka meminta agar semua langkah yang dilakukan PPATK bersifat transparan dan melibatkan konsumen dalam prosesnya.
YLKI juga menyoroti perlunya sosialisasi lebih luas sebelum kebijakan ini diterapkan secara masif. Menurut mereka, informasi kebijakan yang tidak dipahami publik dapat menimbulkan ketidakpercayaan kepada lembaga keuangan.
Sebagai penutup, YLKI mendesak agar PPATK mengkaji ulang kebijakan ini dengan melibatkan pemangku kepentingan, termasuk lembaga perlindungan konsumen, agar tidak merugikan masyarakat secara luas.
Pihak PPATK hingga saat ini belum memberikan tanggapan atas desakan YLKI terkait transparansi dan mekanisme pengaduan. Kebijakan ini masih menuai perdebatan di kalangan masyarakat dan praktisi hukum.
dari polemik ini memperlihatkan adanya celah dalam komunikasi antara lembaga negara dan masyarakat terkait regulasi keuangan. Kejelasan aturan dan transparansi menjadi kunci agar kebijakan tidak menjadi polemik berkepanjangan.
Dalam situasi yang berkembang ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara sangat dipengaruhi oleh bagaimana kebijakan dijalankan dengan adil dan terbuka. Oleh karena itu, penting bagi PPATK untuk memberikan penjelasan yang gamblang kepada publik.
Langkah berikutnya yang dapat diambil adalah menyusun prosedur pemblokiran yang jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat. Termasuk mekanisme pengaduan, proses pemulihan rekening, serta jangka waktu pemblokiran.
Disarankan agar PPATK menggandeng otoritas perbankan dan lembaga konsumen untuk menyusun kebijakan yang tidak hanya preventif, tetapi juga melindungi hak nasabah. Ini penting demi menjamin keadilan dalam praktik pencegahan tindak pidana keuangan.
Ke depan, kolaborasi dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan keuangan harus lebih diperhatikan. Langkah tersebut akan memperkuat kepercayaan masyarakat dan meningkatkan efektivitas kebijakan negara di sektor keuangan. (*)