Jakarta, EKOIN.CO – Di sebuah halaman rumah sederhana di Pegangsaan Timur, 80 tahun yang lalu proklamasi kemerdekaan dibacakan, mengawali perjalanan panjang Indonesia. Perjalanan ini tak hanya sarat makna, tetapi juga diisi dengan berbagai tantangan, dari musim kelahiran penuh harapan hingga era perubahan global saat ini. Pembangunan yang berfokus pada infrastruktur fisik selama delapan dekade kini bertransisi ke arah pembangunan sistem dan kapasitas kolektif.
Dari masa-masa sulit pasca-kemerdekaan yang ditandai dengan reruntuhan perang dan kota yang sering gulita, Indonesia secara perlahan membangun fondasi fisik seperti pelabuhan, jalan tol, hingga jaringan listrik yang membentang hingga ke desa-desa. Transformasi ini terlihat dari peningkatan pendapatan per kapita yang melonjak dari sekitar US$ 100 di awal kemerdekaan menjadi lebih dari US$ 4.900 saat ini. Selain itu, angka kemiskinan ekstrem yang dulu menyelimuti mayoritas rakyat telah jauh berkurang, menandakan adanya perbaikan signifikan dalam kualitas hidup.
Namun, sejarah terus berputar dan kini memasuki babak baru. Setelah abad ke-20 dikenal sebagai era mesin, abad ke-21 menyambut Indonesia dengan tantangan yang berbeda. Hal ini ditandai dengan munculnya era kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan energi hijau. Indonesia, seperti halnya dunia, kini berada di tengah Kondratieff Spring, sebuah periode di mana inovasi tumbuh dari tanah krisis yang sebelumnya membeku. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah Indonesia akan menjadi penonton atau turut menabur benih perubahan tersebut.
Pakar dari sebuah sumber berita menyebutkan bahwa pembangunan di masa depan tidak lagi bisa hanya berfokus pada materi fisik. Ia menekankan, “Jika masa lalu kita bertumpu pada baja, batu, dan aspal, maka abad ini menuntut kekuatan dari pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan beradaptasi.” Pernyataan ini menunjukkan pergeseran prioritas dari pembangunan fisik ke pembangunan berbasis pengetahuan dan nilai.
Terkait dengan perubahan tersebut, terdapat pula peringatan tentang potensi masalah yang menyertainya. Ekonom Joseph Schumpeter mengingatkan, setiap musim semi juga membawa creative destruction. “AI bisa memperdalam ketimpangan bila hanya dikuasai segelintir, perdagangan global makin terfragmentasi, transisi energi menimbulkan peluang sekaligus gejolak, dan sistem keuangan dunia menuntut reformasi besar di IMF, Bank Dunia, dan MDBs,” ujar seorang pengamat.
Dalam menghadapi era baru ini, Indonesia dituntut untuk mengukur kemajuan dengan indikator yang lebih komprehensif. Selama 80 tahun, ketergantungan pada PDB (Produk Domestik Bruto) dianggap tidak cukup, karena angka tersebut tidak menghitung aspek penting seperti rasa aman, udara bersih, ketahanan keluarga, atau kesehatan jiwa. Oleh karena itu, diperlukan ukuran baru yang lebih manusiawi, seperti Green GDP, Inclusive Prosperity Index, dan Well-being Index, yang mengukur kemajuan secara lebih holistik.
Bung Hatta pernah mengingatkan, “Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan emas untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.” Selaras dengan itu, Sjahrir juga menulis, “Kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.” Kedua pesan tersebut merupakan petunjuk lintas zaman yang menunjukkan bahwa membangun bangsa tidak hanya tentang mengisi kas negara, melainkan juga menumbuhkan rasa memiliki dan kepercayaan rakyat pada masa depan.
Saat ini, beberapa program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Desa Merah Putih menjadi contoh kebijakan yang memiliki arah yang jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat. Rencana pembangunan, yang disebut sebagai “rencana gampang tapi serius,” harus bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari ibu di pasar hingga guru di desa. “Seorang ibu di pasar tidak perlu tahu istilah output gap, tapi ia ingin harga cabai tidak melonjak minggu depan. Seorang guru di desa tidak perlu tahu perdebatan moneter, tapi ia ingin ada internet agar muridnya bisa belajar dan tersedia dana untuk kesana. Itulah arti rencana gampang tapi serius: indikator yang sederhana, tapi serius nilainya bagi bangsa,” kata seorang sumber anonim.
Delapan dekade lalu, kemerdekaan terlahir dari keberanian untuk memulai. Delapan puluh tahun ke depan, kejayaan akan lahir dari keberanian untuk merancang masa depan. Musim semi baru ini telah tiba, dan benih yang ditanam hari ini akan menentukan peradaban seperti apa yang akan tumbuh di esok hari.