Washington EKOIN.CO – Amerika Serikat menghadapi potensi krisis ekonomi besar jika dunia berhenti percaya pada dolar AS sebagai mata uang cadangan global. Selama puluhan tahun, dolar menjadi tulang punggung sistem keuangan internasional. Namun, dilansir dari Viva pada Sabtu, 2 Agustus 2025, tekanan terhadap mata uang tersebut semakin besar, terutama akibat lonjakan utang nasional AS yang kini telah melampaui 36 triliun dolar atau sekitar Rp 580.000 triliun.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Lonjakan utang tersebut menimbulkan kekhawatiran global karena berdampak pada kredibilitas keuangan Amerika Serikat. Rata-rata setiap warga Amerika kini menanggung utang sebesar lebih dari 106.000 dolar atau sekitar Rp 1,7 miliar. Angka tersebut dianggap membahayakan stabilitas keuangan AS dan menciptakan potensi hilangnya kepercayaan global terhadap dolar.
Lonjakan utang dan pengaruhnya terhadap kepercayaan global
Menurut laporan Viva, sistem keuangan Amerika dibangun berdasarkan kepercayaan dunia internasional. Negara-negara besar seperti China, Jepang, Inggris, dan Jerman selama ini menyimpan cadangan dalam bentuk dolar serta membeli obligasi pemerintah AS. Namun sejak krisis keuangan global tahun 2008, pengeluaran pemerintah AS terus membengkak, ditambah berbagai paket stimulus yang membuat utang melonjak drastis.
Bunga tahunan dari utang nasional kini mencapai 1,2 triliun dolar. Jumlah ini setara dengan gabungan anggaran militer dan pendidikan nasional AS. Hal tersebut membebani APBN dan memperburuk persepsi internasional terhadap kemampuan AS dalam mengelola keuangannya secara bertanggung jawab.
China yang sebelumnya merupakan pemegang terbesar surat utang AS, telah mulai melepas cadangan dolar secara signifikan. Sejak tahun 2021, lebih dari 340 miliar dolar surat utang AS dijual oleh pemerintah China. Jepang dan negara-negara Eropa juga mengikuti langkah tersebut sebagai strategi untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.
Skenario terburuk: kiamat ekonomi Amerika Serikat
Jika tren pelepasan cadangan dolar oleh negara-negara besar berlanjut dan dunia benar-benar berhenti meminjamkan uang kepada Amerika, maka pemerintah AS terpaksa mencari pembeli obligasi dari dalam negeri. Hal ini diperkirakan akan memicu lonjakan suku bunga domestik guna menarik investor lokal.
Dilaporkan bahwa suku bunga bisa meningkat drastis hingga 8–10 persen untuk menjaga pembelian obligasi tetap menarik. Konsekuensinya, kredit rumah, mobil, hingga pinjaman usaha akan menjadi sangat mahal dan bisa menekan pertumbuhan ekonomi domestik secara tajam.
Dalam skenario ini, pasar saham AS berisiko mengalami kejatuhan besar. Nilai tukar dolar pun diperkirakan akan melemah signifikan. Dampaknya, harga impor seperti minyak, gas, dan pangan akan naik tajam, sehingga meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Pemerintah AS diprediksi akan menghadapi dilema fiskal antara menjaga kredibilitas utang atau menstabilkan ekonomi domestik. Kebijakan stimulus tambahan kemungkinan tidak efektif jika kepercayaan global terhadap dolar hilang.
Situasi ini dinilai dapat mempercepat upaya negara-negara lain dalam mencari alternatif mata uang global baru. Beberapa negara bahkan telah meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral untuk mengurangi dominasi dolar.
Analis keuangan internasional memperingatkan bahwa jika dolar kehilangan status cadangan global, pengaruh geopolitik AS akan merosot. Selain itu, biaya pinjaman internasional untuk AS akan meningkat tajam.
Viva mencatat bahwa sejauh ini belum ada mata uang tunggal yang mampu menggantikan dolar. Namun, adanya potensi kerja sama antar negara seperti BRICS dan inisiatif de-dolarisasi menjadi faktor yang mengancam posisi dolar di masa depan.
Dampak sistemik dari hilangnya dominasi dolar dapat memicu krisis ekonomi global, terutama bagi negara-negara yang menyimpan cadangan besar dalam dolar. Stabilitas pasar global pun menjadi rentan jika AS menghadapi kegagalan fiskal.
Saat ini, pemerintah AS tengah mengkaji berbagai langkah mitigasi. Namun, langkah tersebut belum mampu mengurangi kekhawatiran global terhadap keberlanjutan utang nasional AS.
Kesimpulan dari laporan ini menekankan pentingnya reformasi fiskal dan pengelolaan utang yang lebih disiplin di AS. Jika tidak, ketidakpercayaan pasar dapat berkembang menjadi krisis yang lebih luas.
Kebijakan moneter AS juga menjadi sorotan karena ketergantungan terhadap suku bunga rendah selama bertahun-tahun dianggap turut memperburuk ketahanan ekonomi. Normalisasi kebijakan tersebut kini menjadi tantangan tersendiri.
Stabilitas dolar di masa depan akan sangat bergantung pada tindakan konkret pemerintah AS dalam menurunkan defisit dan memperbaiki neraca perdagangan.
Seiring perkembangan ini, pengawasan global terhadap perekonomian AS semakin ketat. Investor dan pemerintah negara lain mencermati setiap langkah Washington dalam menghadapi situasi fiskal kritis ini.
sementara menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap dolar tidak bisa lagi dianggap otomatis, dan memerlukan kebijakan ekonomi yang konsisten, transparan, dan bertanggung jawab.
Dalam menghadapi kemungkinan krisis keuangan global, negara-negara berkembang disarankan untuk melakukan diversifikasi cadangan devisa guna mengurangi dampak volatilitas dolar.
Pemerintah AS perlu mempertimbangkan langkah reformasi pajak, efisiensi belanja negara, serta memperkuat industri domestik untuk mengurangi ketergantungan utang luar negeri.
Bank sentral AS juga didesak untuk mengambil kebijakan jangka panjang yang menjaga kredibilitas dolar tanpa memicu resesi domestik.
Peningkatan kerja sama multilateral dalam mengelola sistem keuangan global dianggap penting untuk mencegah dampak sistemik dari kemungkinan “kiamat ekonomi” di Amerika Serikat.
Ke depan, penting bagi masyarakat global untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap dinamika ekonomi makro AS, karena dampaknya sangat luas dan menyentuh semua sektor. (*)