JUBA EKOIN.CO – Kemiskinan global masih menjadi tantangan serius hingga pertengahan tahun 2025. Laporan terkini dari laman worldatlas.com mengungkap lima negara termiskin di dunia, berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Meskipun beberapa negara memiliki kekayaan sumber daya alam, konflik, korupsi, dan bencana alam telah memperparah kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat mereka.
Sudan Selatan menduduki peringkat terakhir dunia dalam hal PDB per kapita pada tahun 2025, dengan nilai hanya Rp11,6 juta. Negara ini memiliki tanah subur dan merupakan pemasok minyak penting di kawasan Afrika. Namun, konflik sipil berkepanjangan, gangguan pada jaringan pipa minyak, dan tekanan harga global menyebabkan penurunan produksi serta menyusutnya pendapatan negara.
Inflasi di Sudan Selatan diperkirakan mencapai hampir 80 persen, dan lebih dari 75 persen warga hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi infrastruktur juga sangat minim. Sebagian besar jalan belum beraspal, dan jaringan listrik hanya menjangkau sebagian kecil wilayah, terutama terbatas di ibu kota Juba.
Burundi, negara dengan sekitar 13 juta penduduk, tetap berada di posisi kedua termiskin di dunia pada tahun 2025. PDB per kapita negara ini tercatat hanya sebesar Rp16,5 juta. Sekitar 80 persen masyarakat hidup dari pertanian kecil, dengan lahan rata-rata tidak lebih dari satu hektare.
Burundi menghadapi kekurangan bahan bakar dan krisis mata uang yang berkepanjangan, membuat perekonomiannya stagnan. Hanya sekitar 10 persen penduduk memiliki akses listrik di rumah. Minimnya infrastruktur dan ketergantungan pada sektor pertanian membuat negara ini sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Republik Afrika Tengah menempati urutan ketiga negara termiskin di dunia dengan PDB per kapita tahun 2025 sebesar Rp21,6 juta. Ekspor utama negara ini adalah berlian dan kayu. Namun, sebagian besar aktivitas ekspor dilakukan secara ilegal atau tidak diatur dengan baik.
Infrastruktur di negara ini sangat terbatas. Jalan yang ada dalam kondisi buruk, pasokan bahan bakar tidak stabil, dan akses listrik sangat terbatas. Republik Afrika Tengah memiliki kekayaan sumber daya seperti emas dan uranium, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.
Yaman mengalami keruntuhan ekonomi akibat konflik berkepanjangan, infrastruktur yang rusak parah, dan manajemen fiskal yang buruk. PDB per kapita Yaman pada tahun 2025 hanya Rp27,2 juta. Minyak yang dulunya menyumbang 90 persen pendapatan ekspor kini tidak lagi produktif karena perang dan korupsi.
Produksi minyak Yaman terhambat karena ladang minyak yang menua dan minimnya investasi baru. Situasi ini memperparah krisis kemanusiaan dan mendorong jutaan warga ke jurang kemiskinan.
Mozambik berada di peringkat kelima negara termiskin di dunia dengan PDB per kapita tahun 2025 sebesar Rp28,1 juta. Negara ini sempat mengalami pertumbuhan ekonomi kuat pasca perang saudara, namun ketimpangan sosial dan kemiskinan masih merajalela.
Perekonomian Mozambik ditopang oleh sektor pertanian, ekspor aluminium, dan pertambangan batu bara. Sayangnya, infrastruktur yang belum merata, beban utang luar negeri yang besar, dan dampak perubahan iklim menghambat laju pembangunan ekonomi.
Kekayaan Alam Tak Menjamin Kesejahteraan
Meskipun beberapa negara seperti Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah memiliki sumber daya alam yang melimpah, pengelolaan yang buruk dan konflik berkepanjangan membuat potensi tersebut tidak memberi manfaat nyata bagi rakyatnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa kekayaan alam tidak selalu menjamin kesejahteraan masyarakat jika tidak diimbangi dengan pemerintahan yang stabil dan sistem ekonomi yang efisien.
Dalam laporan worldatlas.com, disebutkan bahwa kesenjangan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan energi masih menjadi masalah utama di kelima negara tersebut. Pemerintah dan organisasi internasional telah berupaya melakukan intervensi, tetapi hasilnya masih belum signifikan karena akar permasalahan belum tertangani secara menyeluruh.
Ketimpangan Global dan Dampaknya
Kemiskinan ekstrem di negara-negara tersebut menjadi cerminan ketimpangan global. Krisis ekonomi dan konflik yang berkepanjangan di satu wilayah tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga mempengaruhi stabilitas regional bahkan global. Hal ini menimbulkan tantangan baru dalam upaya menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Selain itu, lemahnya struktur pemerintahan dan tingkat korupsi yang tinggi menjadi hambatan utama dalam proses pemulihan ekonomi. Sejumlah lembaga donor internasional telah menyatakan kekhawatiran atas kondisi ini dan mendesak perlunya reformasi kelembagaan di negara-negara tersebut.
Krisis kemanusiaan yang terjadi sebagai dampak langsung dari kemiskinan telah menyebabkan jutaan orang terpaksa mengungsi, mengalami kelaparan, dan terputus dari layanan dasar. Oleh karena itu, strategi penanganan kemiskinan memerlukan pendekatan komprehensif, termasuk perbaikan sistem kesehatan, pendidikan, dan ekonomi lokal.
Langkah-langkah pembangunan yang berkelanjutan memerlukan kerja sama internasional yang solid dan tanggap terhadap kebutuhan di lapangan. Kemitraan antara pemerintah lokal, LSM, dan organisasi global sangat diperlukan untuk membangun fondasi ekonomi yang kuat dan adil.
Sebagai kelima negara termiskin di dunia pada tahun 2025 menunjukkan bahwa tantangan kemiskinan bukan hanya soal kekayaan alam, melainkan juga terkait kualitas tata kelola pemerintahan dan stabilitas politik. PDB per kapita yang rendah menggambarkan bahwa mayoritas penduduk belum merasakan manfaat dari kekayaan negara.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan kerja dapat menjadi salah satu kunci pengurangan kemiskinan jangka panjang. Pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih juga harus menjadi prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Pemerintah internasional dan lembaga donor perlu meningkatkan dukungan dalam bentuk bantuan teknis, investasi, dan penguatan institusi. Hal ini penting untuk mempercepat transformasi sosial dan ekonomi di negara-negara dengan tingkat kemiskinan ekstrem.
Selain itu, penyelesaian konflik dan mendorong stabilitas politik menjadi syarat utama bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Tanpa perdamaian, semua upaya pembangunan ekonomi akan sulit mencapai hasil maksimal.
Dalam jangka panjang, keberhasilan mengatasi kemiskinan global akan menentukan arah pembangunan dunia yang lebih merata, adil, dan manusiawi. Oleh karena itu, kolaborasi global harus terus diperkuat guna menciptakan masa depan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v