Jakarta EKOIN.CO – Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia menyepakati kerangka perjanjian dagang baru yang diumumkan Gedung Putih pada Selasa, 22 Juli 2025 waktu setempat. Kesepakatan ini memuat rencana penghapusan hampir seluruh tarif impor Indonesia terhadap produk-produk dari AS, serta penurunan tarif impor produk Indonesia ke Negeri Paman Sam dari sebelumnya 32% menjadi 19%.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam pernyataan bersama yang dikutip CNBC International pada Rabu, 23 Juli 2025, disebutkan bahwa Indonesia akan menghapus pembatasan ekspor komoditas industri ke Amerika Serikat, termasuk mineral kritis. Namun, tidak dijelaskan secara rinci apakah kebijakan tersebut menyasar larangan ekspor mineral mentah atau produk turunan mineral.
Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, menyampaikan bahwa kesepakatan ini menunjukkan kemampuan Amerika dalam menjaga kepentingan dalam negeri sambil mendapatkan akses pasar dari negara mitra. Ia menambahkan, “Pengumuman hari ini menunjukkan bahwa Amerika mampu melindungi produksi domestiknya sekaligus memperoleh akses pasar yang luas dari mitra dagangnya.”
Permintaan AS soal mineral kritis
Pernyataan yang menyebut “penghapusan pembatasan ekspor komoditas industri, termasuk mineral kritis” memunculkan pertanyaan mengenai apakah Indonesia harus melonggarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah. Selama ini, kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya hilirisasi mineral di dalam negeri.
Menanggapi hal itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Septian Hario Seto, menegaskan bahwa tidak ada perubahan dalam kebijakan ekspor mineral mentah. Ia menyatakan bahwa maksud dari poin dalam perjanjian tersebut lebih merujuk pada produk olahan dari mineral, bukan bahan mentah.
“Tidak, itu kan industrial commodities, jadi ya memang mineral yang sudah diproses,” kata Seto kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/07/2025). Ia memastikan Pemerintah Indonesia tetap konsisten dengan kebijakan hilirisasi mineral.
Menurut Seto, hasil kesepakatan yang diumumkan Gedung Putih lebih ditujukan pada barang hasil pengolahan di smelter dalam negeri, bukan pada bahan baku mentah. Pemerintah Indonesia, tegasnya, tidak akan mencabut larangan ekspor mineral mentah.
Larangan ekspor tetap berlaku
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), larangan ekspor mineral mentah telah berlaku mulai 10 Juni 2023. Namun, pemerintah memberikan masa transisi untuk beberapa jenis mineral karena smelter dalam negeri belum selesai dibangun.
Khusus untuk konsentrat tembaga, ekspor masih diizinkan hingga akhir tahun 2024. Hal ini juga mempertimbangkan belum rampungnya pembangunan smelter milik PT Freeport Indonesia. Smelter Freeport mengalami kondisi kahar, sehingga penyelesaiannya ditunda dan masih membutuhkan waktu.
Sebagai bentuk toleransi atas kondisi tersebut, pemerintah tetap memberikan izin ekspor konsentrat tembaga kepada Freeport hingga September 2025. Setelah itu, seluruh mineral mentah dan konsentrat harus diproses sebelum dapat diekspor keluar negeri.
Larangan ekspor bijih nikel sendiri telah diberlakukan lebih awal, yakni sejak 1 Januari 2020. Kebijakan ini menjadi tonggak awal hilirisasi industri nikel di dalam negeri, guna meningkatkan nilai tambah sektor pertambangan.
Selain nikel, kebijakan serupa juga akan diterapkan terhadap komoditas mineral lainnya secara bertahap, seiring dengan pembangunan smelter nasional yang ditargetkan selesai seluruhnya pada 2025.
Dalam konteks kerja sama dagang Indonesia-AS, Pemerintah Indonesia berupaya menyeimbangkan pembukaan akses pasar luar negeri dengan perlindungan terhadap industri nasional. Termasuk di dalamnya menjaga kelangsungan program hilirisasi mineral.
Kerangka kesepakatan yang diumumkan AS itu disebut-sebut membuka jalan menuju pengurangan hambatan tarif dan non-tarif antara kedua negara. Hal ini diharapkan memberi peluang ekspor lebih besar bagi produk Indonesia.
Namun, pemerintah menegaskan bahwa kesepakatan tersebut tidak serta-merta mengubah arah kebijakan strategis dalam negeri, terutama soal pengolahan dan pemurnian mineral sebelum ekspor.
Hingga saat ini, belum ada revisi atau pembahasan ulang mengenai larangan ekspor mineral mentah di tingkat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun kementerian terkait lainnya.
Konsistensi kebijakan ini juga dinilai penting untuk memberikan kepastian kepada investor dan pelaku industri yang telah membangun infrastruktur pengolahan mineral di Indonesia.
Dengan tetap diberlakukannya larangan ekspor mineral mentah, pemerintah berharap agar Indonesia bisa menjadi pusat industri berbasis sumber daya alam berkelanjutan dan tidak sekadar menjadi pengekspor bahan mentah.
Dampak dari kerangka kerja sama Indonesia-AS ini masih akan ditinjau lebih lanjut oleh otoritas terkait di kedua negara untuk memastikan implementasi yang sejalan dengan kepentingan nasional masing-masing.
Kerja sama perdagangan seperti ini juga menjadi bagian dari strategi diplomasi ekonomi Indonesia untuk memperluas akses pasar di tengah dinamika perdagangan global yang semakin kompleks.
Sementara itu, pemerintah akan tetap melakukan sosialisasi kepada pemangku kepentingan dalam negeri untuk menjelaskan bahwa komitmen Indonesia terhadap ekspor produk hilir tidak berubah meskipun kerja sama bilateral diperluas.
Ke depan, implementasi perjanjian ini akan dikawal secara ketat, agar tidak menimbulkan interpretasi keliru yang berpotensi merugikan upaya hilirisasi yang telah berjalan beberapa tahun terakhir.
Dalam penutupannya, perjanjian kerja sama dagang ini diharapkan menjadi peluang strategis bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor industrinya sekaligus meningkatkan daya saing produk dalam negeri di pasar global.
Kesepakatan Indonesia dan AS ini dapat memberikan peluang positif dalam pengembangan ekspor, namun Pemerintah Indonesia tetap harus mempertahankan prinsip hilirisasi yang telah berjalan. Kepastian hukum dan konsistensi kebijakan menjadi landasan penting untuk menjaga kepercayaan dunia usaha terhadap arah pembangunan nasional. Sektor industri juga perlu diberi dukungan melalui penyediaan infrastruktur dan regulasi yang mendukung proses produksi dalam negeri.
Hilirisasi tidak hanya menciptakan nilai tambah, tetapi juga membuka lapangan kerja dan memperluas basis ekonomi. Oleh karena itu, ketegasan sikap pemerintah dalam mempertahankan larangan ekspor mineral mentah merupakan bagian dari strategi pembangunan jangka panjang yang tidak boleh dikompromikan demi kesepakatan jangka pendek. Kerja sama dengan mitra asing tetap perlu dilakukan, namun harus sejalan dengan agenda nasional.
Dalam konteks hubungan dagang dengan Amerika Serikat, Indonesia perlu bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mengubah kebijakan strategis hanya demi menurunkan tarif. Perlu kajian menyeluruh atas dampaknya terhadap perekonomian nasional. Komitmen internasional seharusnya tidak mengganggu keberlanjutan pembangunan dalam negeri, terutama yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia memang harus membuka diri terhadap kerja sama internasional, namun tetap dalam bingkai kepentingan nasional. Penghapusan hambatan tarif tidak harus dibayar dengan pelepasan kendali atas kekayaan alam. Keseimbangan antara keterbukaan pasar dan kemandirian industri menjadi kunci utama dalam menjaga kedaulatan ekonomi.
Akhirnya, proses negosiasi dan implementasi kebijakan perdagangan luar negeri harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Komunikasi yang terbuka antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat akan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan dan inklusif. (*)