Jakarta, Ekoin.co – Kejaksaan Negeri Jakarta Barat melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) kembali melanjutkan proses hukum gugatan pembatalan perkawinan terhadap seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) asal Arab Saudi. Sidang kedua yang digelar pada Selasa, 12 Agustus 2025, tersebut mengagendakan jawaban turut tergugat sekaligus pembuktian di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
JPN Kejari Jakarta Barat bertindak sebagai penggugat berdasarkan kuasa dari Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Hendri Antoro, S.Ag., S.H., M.H., yang diwakili oleh Ke
pala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun), Anggara Hendra Setya Ali, S.H., M.H., LL.M., bersama tim. Dalam persidangan ini, turut hadir Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Cengkareng selaku turut tergugat.
Sementara itu, Tergugat I Hamad Saleh dan Tergugat II Alifah Futri tidak menghadiri sidang meski telah dipanggil secara sah melalui rogatori, mengingat keduanya berdomisili di Arab Saudi. Berdasarkan hukum acara yang berlaku, sidang tetap berjalan meskipun para tergugat tidak hadir.
Kejaksaan Negeri Jakarta Barat memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan gugatan pembatalan perkawinan ini. Landasan tersebut tertuang dalam Staatsblad 1922 Nomor 522, Pasal 123 Ayat (2) HIR, serta Pasal 18 Ayat (2) dan Pasal 30C huruf F Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Ketentuan tersebut memberikan kewenangan bagi Jaksa untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata demi dan atas nama negara, pemerintah, maupun kepentingan umum. Dalam kasus ini, JPN bertindak demi melindungi kepentingan umum yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Dugaan TPPO dalam Perkawinan
Dalam perkara ini, permohonan pembatalan perkawinan diajukan berdasarkan informasi dari Atase Hukum KBRI Riyadh. Laporan tersebut mengindikasikan adanya dugaan TPPO, di mana korban yang merupakan WNI diduga dieksploitasi oleh pasangannya melalui perkawinan rekayasa.
Hasil pemeriksaan awal dari tim JPN mengungkapkan adanya indikasi bahwa perkawinan tersebut tidak dilaksanakan sesuai prosedur hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Temuan ini menjadi dasar Kejaksaan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Sidang kedua ini difokuskan pada pembacaan jawaban dari turut tergugat serta pembuktian awal. Materi pembuktian meliputi dokumen perkawinan, keterangan saksi, serta hasil verifikasi dari KBRI Riyadh.
Anggara Hendra Setya Ali menyampaikan bahwa pihaknya berkomitmen menuntaskan perkara ini demi memastikan perlindungan hukum bagi korban. “Kami akan mengawal proses ini hingga tuntas demi kepastian hukum dan perlindungan terhadap korban,” ujarnya di sela-sela persidangan.
Sementara itu, pihak turut tergugat dari KUA Cengkareng menyerahkan dokumen terkait pencatatan perkawinan untuk bahan pertimbangan majelis hakim. Dokumen ini diharapkan menjadi salah satu alat bukti utama dalam proses pembuktian.
Agenda Sidang Selanjutnya
Majelis hakim yang memimpin persidangan menyatakan bahwa sidang berikutnya akan digelar pada Selasa, 2 September 2025. Agenda sidang tersebut adalah musyawarah majelis untuk mempertimbangkan bukti-bukti yang telah diajukan.
Persidangan ini menjadi perhatian publik, mengingat kasus ini melibatkan dugaan perdagangan orang lintas negara yang menggunakan modus perkawinan. Kejaksaan menegaskan pentingnya pengawasan terhadap perkawinan WNI dengan WNA, terutama yang dilaksanakan di luar negeri.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk memastikan prosedur hukum dalam perkawinan terpenuhi, termasuk pencatatan resmi di KUA dan verifikasi dokumen di perwakilan RI di luar negeri.
Dugaan TPPO dalam perkawinan ini menjadi salah satu bentuk kejahatan yang sering kali sulit terungkap karena melibatkan hubungan keluarga dan perbedaan yurisdiksi hukum antarnegara. Oleh sebab itu, koordinasi antarinstansi sangat diperlukan.
Kementerian Luar Negeri melalui KBRI Riyadh berperan penting dalam memberikan informasi awal dan mendukung upaya penegakan hukum. Sinergi ini diharapkan menjadi contoh dalam penanganan kasus serupa di masa mendatang.
Kejaksaan juga mengimbau kepada masyarakat yang memiliki informasi terkait kasus ini untuk melaporkannya agar proses hukum dapat berjalan maksimal.
Dari jalannya persidangan, majelis hakim menegaskan bahwa pembuktian akan menjadi kunci dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan ini. Seluruh pihak diharapkan dapat kooperatif dalam menyerahkan dokumen dan memberikan keterangan yang dibutuhkan.
Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Barat menyatakan bahwa upaya pembatalan perkawinan ini bukan hanya demi kepastian hukum, tetapi juga sebagai langkah pencegahan terhadap kejahatan perdagangan orang yang menyasar WNI di luar negeri.
Dalam konteks perlindungan warga negara, kasus ini menjadi salah satu contoh konkret penerapan kewenangan Jaksa Pengacara Negara untuk membela kepentingan umum di ranah perdata.
Ke depan, sidang lanjutan diharapkan dapat mengungkap fakta-fakta yang lebih jelas terkait proses perkawinan dan dugaan eksploitasi yang dialami korban.
Sebagai penutup, kasus ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk lebih waspada terhadap modus kejahatan lintas negara yang menggunakan kedok perkawinan.
Peningkatan sosialisasi dan edukasi hukum kepada masyarakat, khususnya calon pengantin yang akan menikah dengan WNA, menjadi langkah penting untuk mencegah terulangnya kasus serupa.