Jakarta, EKOIN.CO – Koalisi masyarakat sipil melaporkan dugaan rangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan korupsi oleh 33 wakil menteri dan dua menteri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 20 Agustus 2025. Laporan ini diajukan oleh Themis Indonesia, Transparency International Indonesia, dan Pandekha FH UGM sebagai bentuk kepedulian terhadap praktik penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi. Praktik rangkap jabatan ini dianggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah, bahkan dapat membuka celah konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Pelaporan ini muncul di tengah sorotan publik terhadap pejabat publik yang memiliki jabatan ganda, terutama di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Reza Syawawi, Knowledge Management Officer Transparency International Indonesia, menekankan bahwa fenomena ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi secara fundamental melemahkan fungsi pengawasan. Menurutnya, rangkap jabatan menciptakan potensi korupsi karena adanya penghasilan ganda dari dua posisi berbeda.
Ia juga menyoroti ironi praktik ini. “Rangkap jabatan menciptakan potensi korupsi karena penghasilan ganda dari dua posisi berbeda,” ujar Reza. Ia mengingatkan kembali pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan bahwa korupsi masih menjadi tantangan serius di birokrasi, termasuk di BUMN dan BUMD. Namun, praktik wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN justru berlawanan dengan semangat tersebut.
Analisis dari koalisi masyarakat sipil menunjukkan bahwa rangkap jabatan komisaris di BUMN dapat melemahkan fungsi pengawasan. Hal ini terbukti dalam beberapa kasus besar di masa lalu, seperti PT Asabri dan PT Jiwasraya, di mana praktik ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab kerugian negara hingga triliunan rupiah. Adanya tumpang tindih peran antara posisi wakil menteri dan komisaris BUMN dinilai dapat mengaburkan fungsi dan tanggung jawab, yang pada akhirnya merugikan keuangan negara.
Alasan Hukum di Balik Pelaporan Rangkap Jabatan
Masyarakat sipil menilai praktik ini jelas melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Pasal 23, yang secara tegas melarang pejabat merangkap jabatan lain, termasuk komisaris BUMN atau swasta. Larangan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan UU BUMN, Pasal 27B, yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi komisaris jika menimbulkan konflik kepentingan.
Selain itu, laporan ini juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 17 huruf a, yang melarang pejabat publik merangkap posisi pengurus organisasi usaha. Praktik rangkap jabatan juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menekankan pentingnya asas kepastian hukum, keadilan, dan kepatutan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dampak Buruk dan Potensi Konflik Kepentingan
Koalisi masyarakat sipil melihat adanya potensi konflik kepentingan yang sangat besar dari praktik rangkap jabatan ini. Posisi wakil menteri yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan bisa bersinggungan langsung dengan kepentingan BUMN tempat mereka menjabat sebagai komisaris. Situasi ini menciptakan dilema etis dan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Laporan ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan penunjukan pejabat di BUMN. Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah tegas untuk memastikan tidak ada lagi praktik rangkap jabatan yang bertentangan dengan regulasi dan etika penyelenggaraan negara. Langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas korupsi. Masyarakat menanti langkah konkrit KPK untuk menindaklanjuti laporan ini.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v