Jakarta EKOIN.CO – Klaim Danone Indonesia yang menyatakan tidak memiliki hubungan atau afiliasi dengan entitas asal Israel menuai kritik tajam dari aktivis pro-Palestina, setelah terungkap adanya kerja sama perusahaan tersebut dengan startup asal Israel di sektor susu sintetis dan teknologi pangan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kerja sama tersebut diakui secara terbuka oleh Danone melalui pernyataan resmi di situs resminya. Namun, aktivis menilai klaim Danone tersebut sebagai bentuk kontradiksi serius yang membingungkan publik. Salah satu kritik utama disampaikan oleh Sukron Jamal, perwakilan dari Jaringan Muslim Madani.
Sukron menyebut pengakuan kerja sama dengan startup asal Israel sebagai bentuk inkonsistensi dari pernyataan Danone. Ia mempertanyakan logika di balik klaim perusahaan yang menyatakan tidak memiliki afiliasi dengan Israel, sementara di saat yang sama mengakui kolaborasi bisnis dengan entitas dari negara tersebut.
Menurut Sukron, bentuk hubungan ekonomi apa pun dengan Israel, termasuk kerja sama teknologi pangan, berkontribusi pada ekonomi negara itu. Ia menekankan bahwa kolaborasi tersebut secara tidak langsung mendukung sistem yang menindas rakyat Palestina, baik secara ekonomi maupun politis.
Sorotan terhadap kolaborasi Danone dan startup Israel
Danone diketahui menjalin kemitraan dengan WILK, sebuah perusahaan rintisan asal Israel yang bergerak di bidang pengembangan teknologi susu sintetis. Kolaborasi ini dilakukan dalam konteks inovasi pangan berkelanjutan, sebagaimana diklaim pihak Danone.
Namun bagi aktivis seperti Sukron, kerja sama ini tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi politis dan moral. Ia menyatakan bahwa startup seperti WILK tetap akan memperoleh manfaat finansial yang secara keseluruhan menguntungkan ekonomi Israel, termasuk potensi kontribusi pajak ke negara tersebut.
“Pajak yang dibayarkan oleh entitas bisnis kepada Israel akan digunakan dalam kebijakan yang menindas rakyat Palestina, termasuk agresi militer,” ujar Sukron. Ia menyebutkan bahwa kerja sama di sektor non-militer pun tetap berpotensi mendukung industri pertahanan Israel karena adanya integrasi antara sektor militer dan sipil di negara itu.
Menurutnya, alasan Danone bahwa kolaborasi tersebut tidak terkait dengan militer, tidak relevan. “Argumen ‘tidak terkait militer’ tidak bisa menjadi pembenaran, sebab seluruh ekosistem ekonomi Israel berkontribusi terhadap kekuatan penjajahannya,” ungkapnya lebih lanjut.
Hubungan jangka panjang dengan perusahaan Israel
Selain kolaborasi dengan WILK, Danone juga memiliki riwayat kerja sama yang panjang dengan Strauss Group, perusahaan pangan terbesar kedua di Israel. Hubungan bisnis tersebut telah terjalin sejak tahun 1970-an, dan diperkuat dengan kepemilikan saham Danone sebesar 20 persen di operasi produk susu Strauss sejak Desember 1996.
Melalui kerja sama tersebut, Strauss Group mendapatkan lisensi eksklusif untuk menggunakan teknologi dan keahlian Danone dalam memproduksi susu segar. Aktivis menilai bahwa bentuk hubungan semacam ini menegaskan keterlibatan ekonomi Danone dalam struktur industri Israel.
Seiring meningkatnya tekanan kampanye boikot global terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan Israel, Danone Indonesia berupaya menyangkal afiliasi tersebut. Dalam pernyataannya, mereka menegaskan tidak tercantum dalam laporan Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese.
Laporan bertajuk From Economy of Occupation to Economy of Genocide itu tidak memasukkan nama Danone dalam daftar perusahaan yang mendukung pendudukan Israel. Pernyataan ini dijadikan dasar oleh Danone Indonesia untuk membantah tuduhan keterlibatan dengan negara Israel.
Namun demikian, Sukron membantah relevansi argumen tersebut. Ia menyebut laporan PBB itu bersifat terbatas pada entitas yang secara langsung terlibat dalam aktivitas di permukiman ilegal atau kerja sama dengan militer Israel. Sementara kriteria boikot aktivis jauh lebih luas.
Sukron menegaskan bahwa kontribusi terhadap ekonomi Israel, dalam bentuk apa pun, tetap dianggap sebagai bentuk keterlibatan dan dukungan terhadap sistem penjajahan. Ia juga mengingatkan bahwa daftar PBB hanyalah puncak dari gunung es dan tidak merepresentasikan seluruh entitas yang terlibat.
“Setiap investasi ke dalam ekonomi Israel, baik langsung maupun tidak langsung, berpotensi memperkuat struktur ekonomi pendudukan dan genosida terhadap rakyat Palestina,” ujarnya. Ia menekankan bahwa tanggung jawab moral perusahaan tidak bisa dikesampingkan oleh alasan teknis hukum atau daftar resmi.
Menurut Sukron, kejelasan posisi moral perusahaan sangat penting di tengah konflik yang melibatkan hak asasi manusia. Ia meminta publik dan konsumen untuk lebih kritis dalam menilai pernyataan-pernyataan perusahaan multinasional yang terlibat dalam jaringan ekonomi global.
Ia juga mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya boikot sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan. Menurutnya, tekanan konsumen global dapat menjadi instrumen efektif untuk menekan perusahaan yang memiliki relasi dengan negara pelanggar HAM.
Dalam menghadapi tekanan tersebut, Danone Indonesia belum memberikan tanggapan lebih lanjut mengenai kolaborasi jangka panjangnya dengan Strauss Group. Sementara itu, isu ini terus mendapat perhatian publik di media sosial dan jaringan masyarakat sipil.
Kritik terhadap Danone mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas mengenai peran sektor swasta dalam konflik internasional. Kampanye boikot terhadap perusahaan yang berafiliasi dengan Israel telah menjadi bagian dari gerakan global solidaritas terhadap Palestina.
Kasus ini menunjukkan bahwa transparansi dan konsistensi dalam kebijakan perusahaan menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan publik. Organisasi masyarakat sipil menyerukan akuntabilitas lebih tinggi atas aktivitas bisnis lintas negara yang berisiko mendukung pelanggaran HAM.
Kasus keterlibatan Danone dengan startup asal Israel membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai etika dan tanggung jawab perusahaan global. Klarifikasi yang diberikan perusahaan justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan karena bertentangan dengan informasi mengenai kolaborasi mereka di sektor susu sintetis.
Aktivis menekankan bahwa kerja sama semacam ini tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi moral, terutama ketika menyangkut negara yang tengah dalam sorotan dunia atas pelanggaran HAM. Kolaborasi bisnis yang terkesan biasa, bisa berdampak besar terhadap dinamika politik dan ekonomi global.
Dalam konteks ini, konsumen dituntut untuk lebih kritis dan selektif terhadap pilihan produk. Tindakan seperti boikot dapat menjadi alat kontrol sosial terhadap korporasi besar yang terlibat dalam jaringan ekonomi kontroversial.
Sementara itu, pemerintah juga diharapkan lebih aktif dalam memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia tidak terlibat dalam hubungan yang mendukung sistem penindasan, secara langsung maupun tidak langsung.
Ketegasan dan transparansi menjadi kunci utama untuk mencegah konflik serupa terjadi di masa depan, serta membangun ekosistem bisnis yang beretika dan adil untuk semua pihak.(*)