Jakarta, EKOIN.CO – Bank Indonesia (BI) bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali menegaskan sinerginya melalui skema burden sharing guna menopang pembiayaan prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan ini direalisasikan lewat pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI, yang kini sudah melampaui rencana awal.
Ikuti berita pilihan EKOIN di WA Channel kami
Hingga awal September 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa bank sentral telah membeli SBN senilai Rp200 triliun di pasar sekunder. Angka ini lebih tinggi dari rencana awal sebesar Rp150 triliun, baik di pasar primer maupun sekunder.
Kenaikan realisasi ini memberi ruang tambahan bagi pembiayaan fiskal negara. Namun, di sisi lain muncul kekhawatiran terhadap risiko utang dan stabilitas moneter yang bisa menjadi konsekuensi jangka panjang.
Pertanyaan utama yang kini mengemuka: apakah burden sharing benar-benar menjadi penopang ekonomi nasional atau justru menyimpan potensi bom waktu?
Jejak burden sharing di masa pandemi
Burden sharing bukanlah kebijakan baru dalam sejarah Indonesia. Pada 2020 hingga 2022, strategi ini digunakan pemerintah bersama BI untuk menutup defisit APBN yang sempat menyentuh 6,14 persen terhadap PDB.
Saat itu, BI menggelontorkan Rp397,56 triliun untuk pembelian SBN. Beban bunga ditanggung berbeda: penuh oleh BI untuk pembiayaan kesehatan dan perlindungan sosial, sedangkan pembiayaan UMKM ditanggung bersama pemerintah.
Langkah tersebut menghasilkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp744,77 triliun. Bantuan ini menjaga konsumsi rumah tangga tetap tumbuh positif meski situasi pandemi menekan aktivitas ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang sempat minus 2,07 persen pada 2020 berhasil pulih menjadi 3,7 persen di 2021, bahkan mencapai 5,3 persen pada 2022. Hal ini menunjukkan burden sharing efektif sebagai penopang ekonomi kala krisis.
Burden sharing sebagai penopang ekonomi
Manfaat utama burden sharing terlihat nyata pada perlindungan konsumsi rumah tangga dan dukungan terhadap UMKM. Data Kemenkeu 2022 menunjukkan realisasi belanja penanganan COVID-19 mencapai Rp744,77 triliun, sebagian besar melalui skema ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga menyumbang 54,42 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Artinya, skema burden sharing punya peran krusial menjaga daya beli masyarakat di masa sulit.
Meski demikian, setelah pandemi mereda, pemerintah menegaskan penghentian skema ini demi menjaga independensi BI serta mengembalikan disiplin fiskal ke jalur normal. Kini, penerapan kembali skema burden sharing di era Prabowo menimbulkan perdebatan.
Di satu sisi, kebijakan ini dianggap perlu untuk menjaga kelanjutan program prioritas pemerintah. Namun di sisi lain, risiko ketergantungan pada pembiayaan bank sentral dapat menekan stabilitas moneter dan kepercayaan pasar.
Dengan pengalaman di masa lalu, burden sharing terbukti mampu mendorong pemulihan. Namun, tantangan terbesarnya adalah memastikan penerapan tidak menimbulkan efek jangka panjang berupa inflasi, pelemahan nilai tukar, hingga risiko bom waktu utang negara.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v