JAKARTA EKOIN.CO –Burden sharing menjadi topik hangat dalam kebijakan ekonomi Indonesia belakangan ini. Skema ini digunakan sebagai strategi pembiayaan negara, termasuk di masa pemerintahan Prabowo, untuk memastikan program pemerintah tetap berjalan meski anggaran negara menghadapi tekanan.
[Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v]
Burden sharing pada dasarnya adalah bentuk monetisasi utang yang melibatkan kerja sama erat antara pemerintah dan bank sentral. Melalui mekanisme ini, Bank Indonesia (BI) membantu membiayai program pemerintah dengan membeli obligasi negara.
Burden Sharing dan Mekanismenya
Dalam praktiknya, terdapat tiga variasi monetisasi utang yang menjadi dasar dari burden sharing. Pertama, bank sentral membeli obligasi baru secara langsung dari pemerintah. Kedua, pembelian dilakukan secara tidak langsung melalui pasar sekunder lewat operasi pasar terbuka. Ketiga, skema langsung yang diikuti dengan penghapusan utang dari neraca bank sentral.
Jika dilihat secara teknis, burden sharing cukup mirip dengan quantitative easing (QE). Perbedaannya, QE hanya memperbolehkan pembelian obligasi lama, sementara burden sharing memungkinkan pembelian obligasi baru sehingga langsung menambah dana pembiayaan pemerintah.
Keuntungan dari burden sharing terletak pada fleksibilitasnya dalam membantu negara yang sedang menghadapi defisit fiskal. Mekanisme ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk tetap membiayai program prioritas meski pendapatan negara sedang tertekan.
Burden Sharing dan Independensi Bank Sentral
Meski dianggap solusi, burden sharing tidak lepas dari kontroversi. Beberapa ekonom menilai kebijakan ini bisa mengancam independensi bank sentral. Jika bank sentral terlalu sering membiayai defisit, ada kekhawatiran kebijakan moneter akan didominasi oleh kebijakan fiskal.
Dampak terburuk yang ditakuti adalah inflasi tinggi akibat belanja pemerintah yang tidak terkendali. Namun, di sisi lain, hubungan erat antara kebijakan fiskal dan moneter memang tidak bisa dipisahkan. Selama pengaturan burden sharing dilakukan secara hati-hati, potensi masalah bisa diminimalkan.
Pemerintah menegaskan bahwa kerja sama antara otoritas fiskal dan moneter bukan berarti melemahkan independensi bank sentral. Justru, burden sharing diharapkan menjadi penopang yang menjaga stabilitas makroekonomi, terutama saat menghadapi situasi luar biasa.
Burden sharing juga memiliki sisi positif dalam memperkuat daya tahan ekonomi nasional. Dengan sumber pembiayaan tambahan, pemerintah bisa menjaga agar program strategis, termasuk pembangunan infrastruktur dan jaring pengaman sosial, tidak terhenti.
Meski begitu, transparansi dan batasan jelas dalam implementasinya menjadi kunci penting. Tanpa pengawasan yang ketat, skema ini bisa berubah menjadi pintu masuk masalah fiskal dan moneter di masa depan.
Ke depan, burden sharing diperkirakan masih akan menjadi instrumen penting, terutama ketika kebijakan fiskal dan moneter menghadapi tantangan global yang penuh ketidakpastian. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v