Mataram, Nusa Tenggara Barat, EKOIN.CO – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada terdakwa I Wayan Agus Suartama, yang lebih dikenal dengan nama Agus Buntung, dalam kasus pelecehan seksual yang melibatkan lebih dari satu korban.
Putusan tersebut disampaikan dalam sidang yang digelar pada hari Selasa (27/5) di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Mataram. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Mahendrasmara Purnamajati.
“Mengadili dengan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa I Wayan Agus Suartama dengan pidana penjara selama 10 tahun,” ujar Mahendrasmara saat membacakan amar putusan di hadapan publik dan pihak terkait.
Selain hukuman penjara, majelis hakim juga menjatuhkan denda kepada Agus Buntung sebesar Rp100 juta. Jika tidak dibayarkan, denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Transisi menuju keputusan akhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pencabulan berulang terhadap lebih dari satu korban. Berdasarkan bukti dan fakta persidangan, hakim menilai perbuatan terdakwa melanggar dakwaan primer penuntut umum, yaitu Pasal 6 huruf C junto Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Vonis 10 tahun penjara ini diketahui lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang sebelumnya meminta agar terdakwa dihukum selama 12 tahun penjara dengan denda yang sama. Meski demikian, hakim menyatakan tetap sependapat dengan jaksa dalam menilai perbuatan terdakwa sebagai pelanggaran terhadap dakwaan primer.
Di sisi lain, hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang meringankan, termasuk usia terdakwa yang masih muda dan sikapnya yang kooperatif selama proses persidangan. “Selama persidangan, terdakwa juga berlaku sopan dan tertib sehingga persidangan berjalan lancar,” kata Mahendrasmara.
Namun, hal yang memberatkan dan menjadi perhatian utama hakim adalah kondisi psikologis para korban. Hakim mencatat bahwa akibat perbuatan terdakwa, para korban mengalami trauma yang mendalam dan hal ini memicu keresahan masyarakat.
Keputusan majelis hakim ini sekaligus menutup rangkaian persidangan panjang yang menyita perhatian publik, mengingat status penyandang tunadaksa dari terdakwa dan jumlah korban yang terdampak.
Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram terhadap terdakwa I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung menunjukkan bahwa hukum tetap ditegakkan tanpa pandang status fisik atau latar belakang pelaku. Vonis 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta menjadi bukti bahwa tindakan kekerasan seksual, terutama terhadap lebih dari satu korban, mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum. Meski vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, majelis hakim tetap menyatakan terdakwa terbukti melakukan pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menanggapi putusan Pengadilan Negeri Mataram terhadap terdakwa I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang. Salah satu aspek yang paling penting adalah penanganan terhadap korban. Pemerintah, bersama lembaga perlindungan perempuan dan anak, perlu memberikan pendampingan psikologis jangka panjang bagi para korban yang mengalami trauma akibat tindakan kekerasan seksual. Upaya pemulihan mental ini harus menjadi prioritas agar korban dapat kembali menjalani kehidupan secara normal.
Selain itu, edukasi publik tentang bahaya kekerasan seksual serta pentingnya pelaporan dini perlu terus ditingkatkan. Masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai jalur hukum yang tersedia dan dilindungi agar tidak takut melapor saat menjadi korban atau mengetahui adanya tindak pidana serupa. Penegakan hukum juga harus dilakukan secara tegas dan konsisten, tanpa pandang bulu, untuk memberikan efek jera bagi pelaku serta keadilan bagi korban. Terkait dengan itu, transparansi dalam proses peradilan penting dijaga untuk memastikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum tetap utuh.
Lebih lanjut, lembaga rehabilitasi sosial dan hukum juga diharapkan mampu memantau perkembangan pelaku setelah masa hukuman selesai dijalani. Pendekatan ini penting untuk mencegah kemungkinan pelaku melakukan pelanggaran serupa di kemudian hari. Kolaborasi antara aparat penegak hukum, lembaga sosial, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual, serta menjamin perlindungan hukum yang menyeluruh bagi semua pihak, terutama kelompok rentan.