Teheran, EKOIN.CO – Pemerintah Iran secara tegas menolak rencana Amerika Serikat (AS) untuk kembali duduk bersama dalam perundingan diplomatik terkait program nuklir dan isu-isu kawasan. Penolakan ini ditegaskan langsung oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, pada Jumat, 27 Juni 2025.
Kanaani menyampaikan bahwa Washington telah berulang kali melanggar komitmen diplomatik dan prinsip-prinsip kesepakatan internasional. Ia menyebut tindakan Amerika sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai diplomasi dan kerja sama internasional.
“Kami tidak memiliki niat untuk memulai kembali negosiasi baru dengan Amerika Serikat, karena pendekatan mereka yang tidak jujur dan inkonsisten terhadap perjanjian internasional,” tegas Kanaani dalam konferensi pers
Iran menilai bahwa Amerika tidak menunjukkan itikad baik dalam setiap proses diplomasi sebelumnya. Mereka menganggap AS kerap membatalkan kesepakatan secara sepihak, termasuk penarikan diri dari kesepakatan nuklir JCPOA pada 2018 oleh pemerintahan Donald Trump.
Kanaani menegaskan bahwa AS telah menyia-nyiakan peluang dialog yang konstruktif, bahkan setelah pergantian pemerintahan di Washington. Pemerintah Iran juga tidak melihat adanya perubahan sikap berarti dari administrasi Presiden Joe Biden.
“Amerika Serikat telah mengulang pola yang sama: menjanjikan sesuatu dalam negosiasi, namun mengingkarinya setelahnya,” jelasnya.
Tuduhan Manipulasi dan Tekanan Sanksi
Iran juga menuduh AS menggunakan taktik tekanan, termasuk sanksi ekonomi, untuk memaksa Teheran tunduk. Menurut pemerintah Iran, pendekatan seperti itu bukan bagian dari diplomasi yang sehat.
Kanaani menyebut sanksi sebagai alat penindasan, bukan diplomasi. Ia juga menyatakan bahwa rakyat Iran telah menjadi korban dari kebijakan sepihak yang diambil Washington selama bertahun-tahun.
“Mereka ingin mendikte hasil, bukan berunding. Ini bukan dialog, melainkan tekanan.”
Alih-alih membuka peluang kembali ke meja perundingan dengan AS, Iran kini lebih memilih memperkuat hubungan diplomatik dengan negara-negara kawasan dan sekutu di Timur. Negara itu aktif menjalin kemitraan strategis dengan China, Rusia, dan beberapa negara anggota BRICS.
Kanaani mengatakan Iran tetap mendukung diplomasi multilateral, tetapi dengan negara-negara yang memegang teguh prinsip kejujuran dan kesetaraan dalam negosiasi.
“Kami akan terus menjalin dialog dengan pihak yang tidak mempolitisasi proses diplomatik.”
Kesepakatan Nuklir Jadi Titik Kritis
Sejak keluarnya AS dari JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), Iran menilai kesepakatan itu kehilangan makna. Meskipun beberapa negara Eropa berusaha mempertahankannya, Iran merasa tidak ada komitmen nyata untuk melindungi kepentingannya.
AS, menurut Iran, telah gagal menjamin kepatuhan terhadap JCPOA dan bahkan memperketat sanksi saat proses negosiasi berjalan. Ini menjadi alasan utama mengapa Iran enggan kembali ke jalur perundingan lama.
“Kami tidak bisa mempercayai negara yang merusak kesepakatan yang telah ditandatangani sendiri,” ujar Kanaani.
Penolakan Iran atas negosiasi baru dengan AS memunculkan kekhawatiran di kalangan pengamat internasional mengenai stabilitas kawasan Timur Tengah. Negara-negara seperti Rusia dan China menyatakan memahami posisi Iran dan mendukung pendekatan non-intervensif.
Sementara itu, Uni Eropa menyerukan kepada kedua belah pihak untuk kembali menempuh jalur diplomatik guna meredam potensi eskalasi di kawasan Teluk.
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah AS belum memberikan tanggapan resmi atas pernyataan terbaru dari Iran. Namun, pejabat senior Departemen Luar Negeri AS sebelumnya menyatakan bahwa “pintu diplomasi masih terbuka”, seraya menyayangkan keputusan Iran yang dinilai menjauh dari proses perdamaian.
Pernyataan tersebut dinilai oleh Iran sebagai upaya pencitraan belaka tanpa perubahan kebijakan nyata.
Iran menganggap perundingan baru tidak relevan selama AS tetap mempertahankan sanksi dan sikap kerasnya. Pemerintah Iran tidak bersedia melanjutkan dialog yang dianggap tidak memberi manfaat strategis atau ekonomi bagi rakyatnya.
Menurut Kanaani, dialog seharusnya menghasilkan solusi, bukan sekadar janji kosong yang kemudian dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak.
Ketegangan Masih Berlanjut
Situasi antara Teheran dan Washington masih dalam kondisi tegang. Di tengah upaya negara lain mencari jalur diplomatik, Iran terus memperkuat kemampuan pertahanannya sebagai bentuk antisipasi terhadap kemungkinan agresi.
Iran menekankan bahwa kebijakan luar negerinya tidak ditentukan oleh tekanan atau ancaman, melainkan oleh prinsip-prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional.
Mengingat dinamika hubungan antara Iran dan AS yang terus memanas, penting bagi kedua pihak untuk meninjau ulang pendekatan diplomatik yang mereka tempuh. Menjaga stabilitas kawasan memerlukan komitmen jangka panjang, bukan hanya manuver taktis. Terbukanya dialog yang setara dan jujur bisa menjadi kunci untuk membangun kembali kepercayaan yang telah rusak.
Negara-negara lain yang memiliki pengaruh besar di kawasan sebaiknya mendorong pendekatan kolaboratif, bukan hanya mengejar kepentingan strategis masing-masing. Dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas, proses diplomasi akan lebih membumi dan berkelanjutan.
Masyarakat internasional juga harus lebih tegas menolak bentuk-bentuk sanksi sepihak yang dapat memperburuk penderitaan rakyat sipil. Diplomasi tidak boleh digunakan sebagai alat tekanan ekonomi, melainkan sebagai jembatan menuju penyelesaian konflik.
Dalam jangka panjang, kepercayaan hanya bisa dibangun melalui konsistensi tindakan, bukan retorika. Jika kejujuran dan saling menghormati menjadi dasar, maka diplomasi sejati dapat kembali menjadi kekuatan penyeimbang di panggung global.
Peran media dalam menyampaikan informasi yang berimbang juga sangat krusial. Informasi yang akurat dan tidak memihak akan membantu masyarakat dunia memahami akar persoalan dan mendorong solusi damai atas konflik antarnegara.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v