Tel Aviv, EKOIN.CO – Serangan rudal yang kembali dilancarkan kelompok Ansarallah (Houthi) dari Yaman mengacaukan operasional penerbangan dan pelabuhan utama di Israel. Rabu malam, 16 Juli 2025, militer Israel melaporkan bahwa sistem pertahanan udaranya harus dikerahkan untuk mencegat rudal yang ditembakkan ke arah Bandara Internasional Ben Gurion. Dampak dari serangan ini menyebabkan Bandara Ben Gurion menghentikan sementara lalu lintas udara, sebagaimana diberitakan Channel 12 Israel.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan tiga operasi pesawat tak berawak yang menargetkan Bandara Lod, wilayah Negev, dan pelabuhan Umm al-Rashrash atau Eilat. Serangan ini dilakukan sebagai bentuk pembalasan atas agresi berulang Israel terhadap wilayah Yaman, khususnya pelabuhan Hodeidah di bagian barat negara tersebut.
Bandara Ben Gurion Lumpuh Sementara
Serangan Houthi kali ini menimbulkan dampak signifikan terhadap Bandara Internasional Ben Gurion, yang merupakan bandara utama dan tersibuk di Israel. Terletak antara Tel Aviv dan Lod, bandara ini melayani lebih dari 21 juta penumpang pada tahun 2023. Akibat serangan rudal, aktivitas lepas landas dan pendaratan dihentikan sementara, menimbulkan kepanikan dan gangguan penerbangan skala besar.
Sejumlah laporan dari media Israel menyebutkan bahwa sirene peringatan serangan udara berbunyi di wilayah Laut Mati, sesaat setelah peluncuran rudal terdeteksi. Komando Front Dalam Negeri Israel juga mengeluarkan pengumuman waspada kepada masyarakat atas potensi ancaman lanjutan dari Yaman.
Meskipun militer Israel mengklaim rudal berhasil dicegat, gangguan besar tetap terjadi. Aktivitas harian terganggu, penerbangan terhenti, dan sistem keamanan bandara ditingkatkan. Channel 12 melaporkan bahwa keputusan penangguhan operasi bandara dibuat setelah ancaman dari Houthi tidak dapat diabaikan.
Kelompok Houthi sebelumnya telah mengklaim sejumlah serangan ke wilayah Israel, termasuk ancaman menciptakan zona larangan terbang di atas Bandara Ben Gurion dan blokade laut di pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Eilat dan Haifa.
Pelabuhan Eilat Terpaksa Ditutup
Tak hanya menyerang lewat udara, efek ekonomi juga dirasakan akibat aktivitas kelompok Houthi di Laut Merah. Salah satu dampak paling besar terlihat dari keputusan penutupan Pelabuhan Eilat. Pelabuhan ini merupakan aset penting meskipun volumenya tidak sebesar pelabuhan lain di Laut Mediterania.
Menurut laporan Channel 12 Israel, Pelabuhan Eilat akan berhenti beroperasi mulai Minggu depan. Penutupan tersebut terjadi karena penyitaan semua rekening pelabuhan oleh pemerintah kota Eilat akibat utang yang belum dibayar, mencapai sekitar 10 juta shekel atau sekitar 3 juta dolar AS.
Penurunan pendapatan pelabuhan disebabkan oleh penurunan kedatangan kapal akibat aktivitas Houthi yang semakin agresif di Laut Merah. Banyak kapal yang seharusnya menuju Eilat kini dialihkan ke pelabuhan Ashdod dan Haifa. Hal ini memperparah kondisi keuangan pelabuhan.
Kapal-kapal yang biasa membawa mobil impor kini tak lagi bisa berlabuh di Eilat. Sebelumnya, pelabuhan ini menangani setengah dari total impor kendaraan ke Israel. Selain itu, pelabuhan juga berperan penting dalam ekspor pupuk dan mineral.
Sejak pecahnya perang antara Israel dan Gaza pada 7 Oktober 2023, eskalasi kekerasan di wilayah tersebut telah meluas. Kelompok Houthi menyatakan serangan mereka sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza, yang menjadi sasaran agresi militer Israel secara terus-menerus.
Menurut data yang dikutip dari laporan internasional, lebih dari 198.000 warga Palestina telah tewas atau terluka sejak awal perang, termasuk puluhan ribu anak-anak dan perempuan. Ribuan orang lainnya dilaporkan hilang, dan krisis kelaparan menyebabkan kematian tambahan di kalangan warga sipil.
Dalam konteks ini, kelompok Houthi mengklaim serangan sebagai bentuk tekanan terhadap Israel untuk menghentikan operasi militernya di Gaza. Mereka menegaskan akan terus melancarkan serangan jika Israel tidak mengubah pendekatannya terhadap warga Palestina.
Meskipun sistem pertahanan udara Israel aktif, ketidakpastian dan ketegangan tetap menyelimuti wilayah udara negara tersebut. Keamanan bandara dan pelabuhan terus diperketat, sementara otoritas berusaha mengatasi kekacauan logistik yang ditimbulkan.
Media setempat juga mencatat bahwa krisis ekonomi akibat gangguan rantai pasokan kini mulai terasa. Pelaku usaha yang bergantung pada ekspor-impor melalui pelabuhan dan bandara utama terpaksa menyesuaikan operasionalnya.
Pemerintah kota Eilat menyebutkan bahwa penutupan pelabuhan bukan hanya persoalan utang, tetapi juga menyangkut keamanan dan stabilitas ekonomi. Jika kondisi terus memburuk, potensi kehilangan pekerjaan dan gangguan distribusi barang semakin besar.
Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa ketegangan regional tidak hanya berdampak pada aspek militer dan politik, namun juga merambat ke ranah ekonomi dan sosial di dalam negeri Israel.
Militer Israel hingga kini belum mengumumkan tindakan balasan langsung terhadap Yaman, namun peningkatan pengamanan dan pengawasan udara dipastikan terus berlangsung dalam beberapa hari ke depan.
Pemerintah pusat Israel mengadakan rapat darurat untuk mengevaluasi dampak menyeluruh dari serangan ini dan membahas langkah-langkah pengamanan infrastruktur penting nasional.
Di sisi lain, kelompok Houthi menyatakan tidak akan berhenti sebelum Israel menghentikan agresi di Gaza dan mengakhiri blokade yang diberlakukan terhadap rakyat Palestina.
Serangan yang terus berulang ini menciptakan tekanan ganda bagi Israel: ancaman militer dari luar dan ketegangan internal yang semakin membesar akibat krisis logistik dan ekonomi.
Seiring waktu, keberlanjutan operasi militer dan sanksi ekonomi terhadap Houthi juga menjadi perdebatan di komunitas internasional, mengingat efek domino yang timbul terhadap wilayah lain di Timur Tengah.
Situasi ini menambah kompleksitas konflik Israel-Yaman yang saling berkelindan dengan konflik yang lebih luas di kawasan, terutama terkait perjuangan Palestina.
Situasi saat ini menunjukkan bahwa konflik di Timur Tengah terus berkembang dengan pola ancaman baru yang bersifat multidimensi. Serangan Houthi tidak hanya berdampak militer, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi bagi Israel melalui penutupan bandara dan pelabuhan.
Ketegangan di wilayah ini memerlukan perhatian internasional untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Perlindungan terhadap infrastruktur sipil dan jalur perdagangan menjadi aspek penting yang harus dijaga oleh semua pihak yang terlibat.
Kehadiran kelompok bersenjata non-negara seperti Houthi dalam konflik ini menunjukkan perlunya pendekatan diplomatik yang melibatkan banyak aktor, termasuk negara-negara tetangga dan badan internasional.
Pihak berwenang di Israel diharapkan dapat segera menemukan solusi yang mengembalikan stabilitas logistik dan ekonomi domestik. Pemulihan operasional bandara dan pelabuhan menjadi prioritas yang tak bisa ditunda.
Akhirnya, penyelesaian konflik secara damai tetap menjadi jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaan warga sipil, baik di Yaman, Palestina, maupun Israel. Dialog dan gencatan senjata harus terus diupayakan demi masa depan yang lebih aman di kawasan tersebut. (*)