Jakarta EKOIN.CO – Perbedaan tajam dalam besaran pajak kendaraan antara Indonesia dan Malaysia menjadi sorotan utama dalam Dialog Industri Otomotif Nasional di ajang GIIAS 2025 pada Kamis, 31 Juli 2025. Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengungkapkan bahwa pajak tahunan mobil di Indonesia mencapai angka jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga, sehingga berpengaruh pada lesunya penjualan mobil dalam negeri.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam pernyataannya, Kukuh menjelaskan bahwa kendaraan sejuta umat seperti Toyota Avanza, yang dirakit di Indonesia, dikenai pajak tahunan sekitar Rp 5 juta. Sedangkan di Malaysia, pajak untuk kendaraan yang sama hanya sebesar Rp 500 ribu. Perbedaan ini, menurut Kukuh, menunjukkan beban pajak kendaraan di Indonesia tergolong sangat tinggi.
“Saya diundang dalam seminar di Vietnam beberapa tahun lalu, ada delegasi AS yang bilang pajak mobil tertinggi ada di Indonesia. Belakangan kita bedah, masyarakat mau membeli kendaraan tapi harganya masih mahal,” kata Kukuh. Hal tersebut disampaikannya dalam sesi diskusi di pameran otomotif GIIAS 2025.
Mobil Masih Dikenai Pajak Barang Mewah
Salah satu faktor utama penyebab tingginya pajak kendaraan di Indonesia adalah karena mobil masih masuk kategori barang mewah. Hal ini menyebabkan kendaraan terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang turut melambungkan harga jual mobil di pasar domestik.
“Begitu besar pajaknya, makanya stagnan, ini yang harus kita lihat sekarang,” ujar Kukuh menambahkan. Ia juga menyoroti dampak dari kondisi ini terhadap industri otomotif nasional, termasuk rantai pasokan mulai dari tier 1 hingga tier 3 yang ikut terdampak karena melemahnya daya beli masyarakat.
Kukuh menyebut bahwa penjualan mobil di Indonesia tahun lalu hanya mencapai 865 ribu unit, sebuah penurunan signifikan yang dikhawatirkan berkelanjutan. Ia mempertanyakan keberlanjutan produksi apabila tren penurunan ini tidak segera ditangani.
“Masyarakat ingin kendaraan dengan harga terjangkau. Kalau harga terus naik tapi pendapatan masyarakat hanya naik sedikit, gap-nya makin besar,” ucap Kukuh menyoroti ketimpangan antara kenaikan harga mobil dan pertumbuhan pendapatan masyarakat.
Penjualan Mobil Asean Menurun, Malaysia Naik
Kukuh menjelaskan, meskipun Indonesia masih memimpin pasar otomotif di ASEAN, pangsa pasarnya mengalami penurunan drastis. Biasanya Indonesia menguasai lebih dari 30% pasar ASEAN, namun kini turun menjadi 25%. Sementara itu, Malaysia justru mengalami peningkatan penjualan, melampaui Thailand yang sebelumnya berada di peringkat dua.
“Thailand drop banyak ke posisi tiga dengan penjualan hanya 500 ribu unit. Lembaga global kini mulai menyoroti kondisi pasar otomotif Indonesia dan Thailand karena sama-sama mengalami penurunan,” jelas Kukuh.
Penurunan penjualan ini, menurut Kukuh, tidak hanya berdampak pada sektor industri besar, tetapi juga memengaruhi para pemasok dan pekerja di industri pendukung otomotif, sehingga berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Selain itu, Kukuh menggarisbawahi bahwa saat harga mobil terus naik, kemampuan masyarakat untuk membeli kendaraan malah semakin melemah. Ia menyebut bahwa ada sekitar 10-15 juta orang dari kalangan menengah yang mengalami kenaikan pendapatan hanya sebesar 3%, sedangkan harga mobil naik hingga 7,5%.
“Ini harus diantisipasi. Bukan untuk memulai perang harga, tetapi untuk bersaing sehat. Siapa yang bisa memberikan fitur bagus dengan harga masuk akal, dia yang akan bertahan,” pungkas Kukuh.
Dalam konteks ini, Kukuh menekankan pentingnya reformasi kebijakan pajak kendaraan agar lebih kompetitif, terutama jika Indonesia ingin mempertahankan posisi dominan di pasar otomotif Asia Tenggara.
Ia juga mengusulkan perlunya evaluasi mendalam terkait kebijakan perpajakan mobil agar lebih berpihak pada konsumen serta industri dalam negeri. Menurutnya, insentif pajak bisa menjadi solusi strategis guna mendorong kembali pertumbuhan penjualan.
Selain mendorong penurunan PPnBM, Kukuh menilai insentif untuk kendaraan hemat energi dan ramah lingkungan juga perlu diperluas. Hal ini diyakini akan memberi dampak positif dalam jangka panjang bagi industri otomotif nasional.
Dengan membandingkan kebijakan Malaysia yang lebih ringan dalam pajak kendaraan, Kukuh menilai Indonesia harus segera melakukan penyesuaian agar tidak kehilangan daya saing regional.
Ia berharap pemerintah dapat memperhatikan masukan industri serta menyusun kebijakan perpajakan otomotif yang lebih rasional dan mendukung pertumbuhan sektor ini secara berkelanjutan.
Sebagai perbedaan besar dalam pajak kendaraan antara Indonesia dan Malaysia menjadi penghambat utama pertumbuhan penjualan mobil di dalam negeri. Hal ini terbukti dari stagnasi pasar otomotif nasional yang ditandai dengan penurunan penjualan dan berkurangnya pangsa pasar regional.
Ketimpangan harga yang terjadi akibat beban pajak tinggi mengakibatkan masyarakat menengah sulit menjangkau kendaraan yang diinginkan, meskipun permintaan sebenarnya masih tinggi. Kondisi ini juga memicu kekhawatiran terhadap keberlanjutan industri otomotif dalam negeri.
Dampak dari lemahnya daya beli masyarakat tidak hanya berimbas pada pabrikan besar, tetapi juga menekan pemasok dan sektor pendukung lainnya yang rentan terhadap gejolak pasar. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pajak kendaraan.
Solusi kebijakan pajak yang lebih adil dan kompetitif diperlukan untuk mendorong pertumbuhan penjualan dan mempertahankan daya saing Indonesia di kancah regional. Kebijakan ini juga harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi industri otomotif nasional di masa mendatang. (*)