Beijing EKOIN.CO – Produksi jet tempur siluman generasi kelima J-20 oleh China dilaporkan meningkat secara signifikan hingga mencapai 120 unit per tahun. Informasi ini mencuat seiring meningkatnya perhatian Amerika Serikat terhadap perkembangan teknologi pertahanan Negeri Tirai Bambu tersebut. Berdasarkan laporan dari South China Morning Post, peningkatan ini membuat Washington mulai meninjau ulang strategi produksi pesawat tempur mereka, khususnya F-35 Lightning II.
Lonjakan produksi J-20 dinilai menjadi bukti kekuatan manufaktur militer China yang terus berkembang pesat. Sejumlah analis militer menyatakan bahwa pencapaian tersebut menandai kemajuan signifikan dalam kapabilitas industri pertahanan China. Menurut laporan tersebut, produksi massal ini menjadi ancaman tersendiri bagi dominasi udara Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik.
Laporan itu menyebutkan, China telah membangun sistem produksi yang efisien dan terintegrasi, memungkinkan produksi J-20 dilakukan dengan kecepatan yang konsisten dan berkualitas tinggi. Seorang analis militer yang tidak disebutkan namanya menuturkan kepada South China Morning Post bahwa China telah memproduksi lebih dari 250 unit J-20 hingga saat ini, dengan sebagian besar diproduksi dalam dua tahun terakhir.
Di sisi lain, Amerika Serikat dinilai belum dapat menandingi kecepatan produksi ini. Produksi jet tempur F-35 oleh Lockheed Martin berada pada kisaran 140 unit per tahun, namun menghadapi kendala logistik dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses produksi J-20 di China.
AS Tinjau Ulang Strategi Pertahanan Udara
Peningkatan produksi J-20 menjadi perhatian serius di Pentagon. Kementerian Pertahanan Amerika Serikat dilaporkan mulai melakukan evaluasi mendalam terkait perkembangan ini, termasuk kemungkinan percepatan produksi dan modernisasi armada udara mereka. Analis pertahanan Amerika menyatakan bahwa angka produksi J-20 tersebut “mengkhawatirkan,” khususnya dalam konteks kesiapan tempur dan distribusi kekuatan udara di Indo-Pasifik.
J-20, yang dikembangkan oleh Chengdu Aerospace Corporation, memiliki teknologi siluman canggih dan radar aktif, menjadikannya sebagai pesawat tempur yang sulit terdeteksi oleh sistem radar konvensional. Peningkatan kuantitas ini diiringi oleh peningkatan kualitas, termasuk integrasi teknologi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan mesin buatan lokal yang mulai menggantikan mesin impor.
Dalam pernyataan tertulis, juru bicara Kementerian Pertahanan China menyebut bahwa peningkatan produksi ini “merupakan bagian dari strategi pertahanan nasional dan penguatan kedaulatan udara.” Ia menambahkan bahwa pengembangan industri militer tidak bertujuan agresif, melainkan untuk menjaga kepentingan nasional.
Laporan South China Morning Post juga menggarisbawahi bahwa peningkatan ini didorong oleh efisiensi manufaktur, di mana proses produksi J-20 kini hanya memakan waktu beberapa bulan dari perakitan hingga pengujian. Hal ini kontras dengan proses produksi F-35 yang membutuhkan waktu lebih lama karena kompleksitas rantai pasok global.
Imbas Terhadap Keseimbangan Kekuatan Regional
Para pengamat geopolitik menilai produksi masif J-20 ini dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di Asia Timur dan sekitarnya. Dengan jumlah pesawat tempur yang terus bertambah, China diyakini memiliki daya gertak yang lebih besar di kawasan Laut China Selatan dan sekitar Taiwan. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya disebut harus merespons perkembangan ini secara strategis.
“Peningkatan produksi ini menunjukkan bahwa China serius membangun kapabilitas militer udara untuk jangka panjang,” ujar seorang analis pertahanan dari AS, dikutip dari South China Morning Post. Ia menambahkan bahwa perluasan armada J-20 memungkinkan China untuk memperluas jangkauan udara mereka secara signifikan.
Selain itu, keberhasilan China dalam memproduksi mesin jet domestik untuk J-20 menandakan pengurangan ketergantungan terhadap teknologi asing, yang selama ini menjadi tantangan utama dalam sektor pertahanan mereka. Hal ini memperkuat kemandirian militer China di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara China dan Amerika Serikat memang mengalami ketegangan, terutama di bidang teknologi dan militer. Laporan ini menambah daftar panjang kekhawatiran Washington terhadap ekspansi militer Beijing. Pemerintah AS, dalam sejumlah pernyataan, menegaskan komitmen mereka untuk mempertahankan superioritas udara dan memperkuat aliansi pertahanan di Asia.
Sementara itu, pihak militer China tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai target produksi J-20 dalam lima tahun mendatang. Namun sejumlah analis memperkirakan bahwa produksi tahunan bisa terus meningkat seiring investasi pemerintah dalam pengembangan fasilitas manufaktur pertahanan.
China diketahui telah melakukan beberapa uji coba J-20 di berbagai wilayah, termasuk patroli udara di sekitar perbatasan dan wilayah maritim yang disengketakan. Kegiatan ini menunjukkan bahwa pesawat tersebut telah masuk tahap operasional penuh dan siap digunakan dalam skala besar.
Sebagai respons, Amerika Serikat dilaporkan mempercepat pengiriman F-35 ke pangkalan militer di kawasan Asia-Pasifik. Sejumlah pakar menyebut bahwa perlombaan kekuatan udara ini akan terus berlangsung dan mempengaruhi kebijakan luar negeri kedua negara.
Perkembangan terbaru ini menandai babak baru dalam rivalitas pertahanan antara China dan Amerika Serikat, khususnya dalam bidang penguasaan udara. Kedua negara diprediksi akan terus bersaing dalam inovasi teknologi militer dan strategi penyebaran kekuatan.
Jika tren ini berlanjut, keseimbangan militer global dapat mengalami perubahan signifikan dalam dekade mendatang. Negara-negara lain pun mulai mencermati dengan serius dinamika ini, terutama negara-negara yang memiliki kepentingan di wilayah Asia-Pasifik.
Dari perspektif strategis, peningkatan produksi J-20 oleh China merupakan sinyal kuat atas ambisi mereka untuk memperkuat posisi di kancah militer global. Pemerintah China sendiri menyatakan bahwa semua tindakan mereka bersifat defensif dan sah secara hukum internasional.
dari perkembangan ini menunjukkan bahwa kecepatan produksi dan inovasi teknologi pertahanan kini menjadi faktor penting dalam perebutan dominasi global. Kesiapan dan respons negara-negara lain, termasuk sekutu Amerika Serikat, akan menjadi penentu arah geopolitik ke depan.
Sebagai diperlukan peningkatan transparansi dan diplomasi untuk menghindari salah persepsi antar negara, khususnya di tengah meningkatnya tensi militer. Forum-forum internasional perlu mendorong dialog terbuka dan pengendalian senjata demi stabilitas kawasan.
Peningkatan produksi pesawat tempur harus dibarengi dengan upaya menjaga keamanan dan perdamaian global. Tanpa keseimbangan ini, kompetisi teknologi militer dapat berubah menjadi konflik bersenjata yang merugikan banyak pihak.
Penting juga bagi negara lain untuk menjaga kedaulatan dan keamanan nasional, namun dengan tetap mematuhi prinsip hukum internasional. Kolaborasi regional bisa menjadi alternatif dalam membangun keseimbangan kekuatan.
Upaya modernisasi militer seperti yang dilakukan China menunjukkan pentingnya penguasaan teknologi dalam pertahanan. Namun, seiring dengan itu, dunia internasional harus waspada terhadap potensi eskalasi ketegangan militer di kawasan strategis.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v