Lamongan EKOIN.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa lima kepala desa dan seorang pihak swasta pada Rabu, 23 Juli 2025, guna mendalami kasus dugaan korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pemeriksaan berlangsung di Kantor Kepolisian Resor Lamongan sebagai bagian dari penyidikan lanjutan yang telah menjerat sejumlah pihak sejak 2022.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Lima kepala desa yang dipanggil untuk diperiksa yakni Mulyono, Kepala Desa Menongo; Moh Lasmiran, Kepala Desa Sukolilo; Setiawan Hariyadi, Kepala Desa Banjargandang; H. Sulkan, Kepala Desa Gedangan; dan Moh. Yusuf, Kepala Desa Daliwangun. Selain mereka, seorang pihak swasta bernama Suyitno juga ikut diperiksa sebagai saksi.
Menurut juru bicara KPK, Budi Prasetyo, pemeriksaan ini merupakan bagian dari upaya penegakan hukum untuk mengungkap lebih dalam keterlibatan berbagai pihak dalam kasus korupsi dana hibah. “Pemeriksaan dilakukan di Kantor Kepolisian Resor Lamongan,” ujar Budi.
Kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan terhadap eks Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak, yang dilakukan KPK pada 14 Desember 2022. Operasi ini menguak aliran dana suap yang melibatkan pejabat legislatif dan eksekutif.
Pada 26 September 2023, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Surabaya menjatuhkan vonis 9 tahun penjara kepada Sahat. Ia juga dikenai denda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar.
KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru pada 5 Juli 2024. Dalam surat tersebut, sebanyak 21 orang ditetapkan sebagai tersangka baru yang terlibat dalam perkara dana hibah ini.
Dari 21 tersangka tersebut, empat orang diduga sebagai penerima suap. Tiga di antaranya merupakan penyelenggara negara, termasuk Anwar Sadad, serta satu orang staf dari lingkungan penyelenggara negara.
Sementara itu, 17 tersangka lainnya merupakan pemberi suap. Dari jumlah itu, 15 berasal dari kalangan swasta, sedangkan dua sisanya merupakan pejabat negara yang diduga terlibat dalam pemberian uang secara tidak sah.
Penetapan tersangka tersebut didasarkan pada pengembangan fakta hukum dalam persidangan kasus Sahat, serta penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan sejak akhir 2023 hingga pertengahan 2024.
KPK terus mengembangkan dugaan alur distribusi dana hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang diduga dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Hibah tersebut semestinya diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat melalui program pembangunan desa.
Berdasarkan informasi awal, dana hibah itu dialokasikan melalui jalur anggota legislatif yang memiliki pengaruh terhadap pengesahan anggaran di provinsi. Mekanisme ini kemudian diduga dimanipulasi untuk keuntungan pihak tertentu.
Para kepala desa yang diperiksa diduga mengetahui, atau terlibat secara aktif, dalam proses permintaan ataupun penyaluran dana hibah yang tidak sesuai prosedur. Namun demikian, status mereka masih sebagai saksi dalam proses hukum yang sedang berjalan.
KPK mengindikasikan adanya pola sistematis dalam kasus ini, yang melibatkan jaringan antara pihak swasta dan pejabat publik, mulai dari proses pengajuan hingga realisasi dana hibah.
Proses pemeriksaan saksi akan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan. KPK juga berencana memanggil pejabat lainnya yang diduga mengetahui rangkaian peristiwa dalam kasus ini.
Selain itu, KPK membuka peluang untuk mendalami lebih lanjut peran institusi pemerintah daerah, termasuk dalam pengawasan dan audit penggunaan dana hibah.
Lembaga antirasuah ini menyatakan akan terus transparan dalam proses penegakan hukum dan meminta masyarakat untuk ikut serta memberikan informasi jika memiliki bukti yang relevan.
Penegakan hukum atas kasus korupsi dana hibah ini dinilai penting untuk memastikan dana negara benar-benar digunakan sesuai peruntukannya, terutama dalam pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat desa.
Perkembangan Penanganan Kasus Sahat Tua Simanjuntak
Vonis terhadap Sahat Tua Simanjuntak menjadi dasar pengembangan penyidikan oleh KPK. Kasus ini menyingkap bagaimana pengaruh politik digunakan untuk mengatur dana hibah secara tidak sah.
KPK menelusuri alur distribusi dana yang mengalir melalui oknum legislatif untuk mengamankan proyek-proyek tertentu di tingkat desa. Penyidikan mendalam dilakukan terhadap para pemohon dan penerima dana.
Selain hukuman pidana, Sahat juga dikenai kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara, yang mencerminkan besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat praktik suap tersebut.
Kasus ini menyita perhatian publik karena melibatkan pejabat penting di Jawa Timur. Hal ini menjadi momentum pembenahan tata kelola dana hibah di tingkat daerah.
KPK terus menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran anggaran publik agar tidak lagi disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tindak Lanjut KPK dan Potensi Tersangka Baru
KPK tidak menutup kemungkinan adanya penambahan tersangka baru dalam proses penyidikan lanjutan. Lembaga ini menggarisbawahi bahwa pengumpulan alat bukti masih berlangsung.
Pihak swasta dan aparat desa yang diperiksa saat ini masih berstatus sebagai saksi. Namun, jika ditemukan cukup bukti, status mereka bisa saja berubah menjadi tersangka.
Penyidikan ini juga menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level atas, tetapi merambah hingga ke tingkat desa melalui mekanisme dana hibah yang tidak terkontrol.
KPK akan menggandeng aparat penegak hukum daerah untuk mempercepat proses pemeriksaan serta melibatkan auditor independen guna menelusuri jejak dana.
Dengan sinergi lembaga dan partisipasi masyarakat, KPK berharap dapat mengurai praktik korupsi yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan di daerah.
Kasus dugaan korupsi dana hibah Pemprov Jawa Timur memberikan pelajaran penting tentang perlunya pengawasan ketat terhadap anggaran daerah. Keterlibatan para kepala desa dan pihak swasta mencerminkan adanya celah sistem yang perlu diperbaiki secara menyeluruh. KPK diharapkan mampu membawa kasus ini hingga ke akarnya dan tidak hanya berhenti pada pihak-pihak kecil.
Penanganan kasus ini juga memperlihatkan bagaimana korupsi dapat melibatkan jaringan yang luas, dari politisi hingga aparat desa. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak cukup hanya dengan penindakan, tetapi harus disertai reformasi sistem dan kebijakan pengawasan anggaran.
Perlu ada komitmen politik dari pemerintah daerah dan pusat untuk membenahi mekanisme dana hibah, mulai dari pengajuan hingga realisasi. Tanpa perubahan struktural, potensi penyalahgunaan akan tetap terbuka lebar.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan dana publik, termasuk program hibah. Keterbukaan informasi dan pelibatan warga bisa menjadi pengawas alami terhadap potensi penyimpangan anggaran.
KPK harus menjadikan kasus ini sebagai momentum pembelajaran agar praktik korupsi tidak berulang. Langkah-langkah pencegahan, edukasi, dan perbaikan sistem menjadi penting seiring dengan proses hukum yang sedang berjalan. (*)