London, EKOIN.CO – Identitas lebih dari 100 personel intelijen dan militer Inggris, termasuk agen MI6 dan anggota pasukan khusus, terbongkar dalam insiden kebocoran data rahasia besar yang selama ini ditutupi pemerintah. Kebocoran tersebut terkait dengan dokumen Kementerian Pertahanan Inggris yang mencantumkan informasi pribadi ribuan warga Afghanistan yang pernah bekerja sama dengan Inggris selama konflik di Afghanistan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kebocoran besar ini pertama kali terjadi pada Februari 2022, ketika spreadsheet berisi data sekitar 19.000 warga Afghanistan secara tidak sengaja dikirim ke alamat email yang salah. Warga Afghanistan ini sebelumnya bekerja sebagai penerjemah atau staf pendukung selama kehadiran militer Inggris di bawah koalisi pimpinan Amerika Serikat di Afghanistan.
Pihak Kementerian Pertahanan Inggris tidak segera mengungkapkan insiden tersebut ke publik. Bahkan, menurut laporan BBC yang diterbitkan Minggu (20/7/2025), sebagian korban tidak diberitahu bahwa informasi mereka telah bocor, padahal mereka berada dalam risiko tinggi terhadap tindakan pembalasan dari kelompok Taliban.
Superinjunction Dicabut, Informasi Terbuka ke Publik
Pengadilan Inggris menetapkan perintah superinjunction untuk mencegah publikasi kasus ini selama bertahun-tahun. Namun, pada Selasa (15/7/2025), Hakim Pengadilan Tinggi memutuskan mencabut perintah tersebut, memungkinkan media Inggris mempublikasikan fakta kebocoran yang selama ini ditutupi.
Beberapa hari setelahnya, media Inggris seperti BBC dan The Times mengungkapkan bahwa data yang bocor mencantumkan nama lebih dari 100 individu yang memiliki keterkaitan langsung dengan lembaga intelijen MI6 dan unit pasukan khusus Inggris.
Laporan itu juga menyoroti bahwa sebagian data rahasia tersebut sempat diunggah ke Facebook oleh seseorang yang berada di Afghanistan pada tahun 2023. Individu tersebut mengancam akan menyebarkan seluruh data secara terbuka, memicu respons cepat dari pemerintah Inggris untuk memberlakukan pembungkaman hukum serta mengatur relokasi darurat bagi mereka yang terdampak.
Kritik Terhadap Penanganan Pemerintah
Banyak pihak mempertanyakan keputusan pemerintah Inggris untuk tidak menginformasikan korban mengenai insiden ini secara langsung. BBC menyatakan bahwa sejumlah warga Afghanistan yang terancam nyawanya tidak diberi tahu tentang kebocoran tersebut, padahal mereka telah mengajukan permohonan suaka karena ketakutan terhadap pembalasan.
Kementerian Pertahanan Inggris belum memberikan pernyataan resmi yang merinci jumlah pasti personel militer dan intelijen yang datanya turut bocor. Namun, juru bicara kementerian menyebut bahwa langkah-langkah mitigasi segera diambil begitu kebocoran terdeteksi, termasuk meluncurkan skema relokasi rahasia.
Dokumen yang dikirim secara keliru itu memuat nama, alamat, dan rincian kontak pribadi mereka yang terlibat dalam kerja sama dengan militer Inggris. Dalam konteks Afghanistan yang masih dikuasai oleh Taliban, data tersebut sangat sensitif dan berisiko tinggi bagi keselamatan para mantan pekerja dan keluarga mereka.
Insiden ini menambah daftar panjang kebocoran data sensitif oleh institusi pemerintah Inggris dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa kalangan menilai bahwa sistem pengamanan siber dan prosedur penanganan informasi rahasia di Inggris perlu direformasi secara menyeluruh.
Masalah tersebut juga memunculkan kekhawatiran mengenai integritas operasional dinas rahasia Inggris di luar negeri. Nama-nama yang bocor diduga mencakup agen yang masih aktif, yang bisa menimbulkan ancaman langsung terhadap operasi intelijen dan keamanan nasional Inggris.
Sejauh ini, belum diketahui apakah data yang bocor telah jatuh ke tangan pihak musuh atau digunakan untuk aktivitas berbahaya. Namun, otoritas Inggris diyakini tengah menyelidiki kemungkinan tersebut dan bekerja sama dengan mitra internasional untuk meminimalkan dampaknya.
Pemerintah Inggris juga dikabarkan telah mempercepat proses relokasi dan perlindungan bagi warga Afghanistan yang terdampak. Langkah-langkah tambahan sedang dipersiapkan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem komunikasi internal kementerian.
Beberapa organisasi HAM menuntut transparansi lebih lanjut terkait insiden ini, serta meminta pemerintah Inggris untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan semua individu yang datanya telah bocor, termasuk keluarga mereka.
Meski sudah bertahun-tahun berlalu sejak data pertama kali bocor, baru sekarang publik mengetahui skala dan dampaknya yang sesungguhnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai perlindungan informasi sensitif dan akuntabilitas pemerintah terhadap kesalahan fatal tersebut.
Pengungkapan ini juga menjadi peringatan serius bagi lembaga pemerintah lainnya di seluruh dunia yang mengelola data pribadi dalam jumlah besar, terutama yang berkaitan dengan keamanan nasional dan nyawa manusia.
Salah satu hal paling mencolok dari laporan ini adalah bahwa tidak ada penjelasan resmi mengapa pemerintah Inggris memilih menyembunyikan kebocoran selama ini, bahkan dari mereka yang terancam. BBC menyebut ini sebagai bentuk pengabaian serius terhadap keselamatan para mitra lokal Inggris di medan konflik.
Seiring dengan mencuatnya kasus ini ke permukaan, tekanan terhadap Kementerian Pertahanan dan kantor Perdana Menteri semakin meningkat. Parlemen Inggris kemungkinan akan menggelar penyelidikan khusus untuk mengaudit prosedur keamanan data di lembaga pertahanan.
Saat ini, tidak ada laporan tentang tuntutan pidana atau penyelidikan internal yang ditujukan kepada staf atau pejabat yang bertanggung jawab atas kesalahan kirim data tersebut. Publik pun mempertanyakan apakah ada sanksi atau akuntabilitas yang akan ditegakkan terhadap para pelaku kelalaian ini.
Dengan terbukanya perintah superinjunction, masyarakat internasional kini bisa menyoroti bagaimana Inggris menangani isu-isu keamanan nasional yang bersinggungan dengan hak asasi manusia dan perlindungan terhadap sekutunya di lapangan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap informan dan mitra lokal di zona konflik harus menjadi prioritas utama, terutama ketika mereka telah mempertaruhkan hidup mereka untuk mendukung operasi militer negara lain.
Di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks, insiden kebocoran seperti ini bisa berdampak jauh melebihi batas wilayah. Kepercayaan terhadap lembaga intelijen dan struktur pertahanan menjadi taruhan besar jika tidak ditangani dengan penuh tanggung jawab.
dari kasus ini menunjukkan bahwa keamanan data, terutama yang menyangkut keselamatan individu, tidak boleh diabaikan dalam bentuk apa pun. Pemerintah Inggris perlu belajar dari kesalahan ini dan memastikan bahwa tidak ada lagi insiden serupa di masa depan.
Penanganan kasus ini menunjukkan perlunya revisi menyeluruh terhadap sistem keamanan informasi dan protokol komunikasi internal di lembaga pemerintah. Mekanisme pertanggungjawaban juga perlu ditegakkan agar kejadian semacam ini tidak berulang.
Penting pula bagi negara-negara lain yang terlibat dalam operasi militer luar negeri untuk memperkuat perlindungan terhadap mitra lokal mereka. Kebocoran semacam ini bukan hanya mencederai integritas, tetapi juga mempertaruhkan nyawa orang-orang yang sudah berjasa.
Keterbukaan informasi dalam konteks insiden seperti ini sangat dibutuhkan agar publik dapat menilai kebijakan pemerintah secara obyektif. Menutupi informasi terlalu lama justru memperbesar dampak dan hilangnya kepercayaan publik.
Akhirnya, upaya untuk melindungi mereka yang terdampak harus menjadi prioritas utama. Negara memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjaga keamanan setiap individu yang telah mendukungnya, apa pun risikonya. (*)