Jakarta EKOIN.CO – Indonesian Audit Watch (IAW) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengambil tindakan terhadap dugaan penguasaan ilegal atas 1.190 hektare aset negara yang dibeli dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada era Presiden Soekarno. Aset tersebut diketahui telah berpindah tangan ke pihak swasta tanpa prosedur hukum yang sah.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
IAW menyampaikan bahwa lahan strategis itu awalnya dibeli melalui Bank Sukapura, sebagaimana tercatat dalam Arsip Bank Indonesia No. 77/AB/1962, dan ditetapkan sebagai Hak Penguasaan Negara (HPN) berdasarkan Keputusan Presiden No. 318/1962. Namun, hasil overlay peta digital menunjukkan adanya perubahan signifikan kepemilikan tanpa dokumen resmi.
Audit digital menggunakan teknologi AI Forensik dan GPS menunjukkan bahwa lebih dari 82 persen lahan tersebut kini telah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama swasta. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris IAW, Iskandar Sitorus, pada Sabtu, 19 Juli 2025.
Pengalihan Aset Tak Sesuai Hukum
Iskandar menegaskan bahwa pengalihan hak kepemilikan tersebut bertentangan dengan Pasal 45 dan 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU Pokok Agraria juga mengatur secara jelas bahwa lahan milik negara tidak bisa dialihkan sembarangan.
Hasil penelusuran IAW menunjukkan hanya sekitar 18 persen dari total 1.190 hektare lahan yang masih tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN), sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan BPK No. 08/LHP/XXII/11/2022. Sisanya telah berubah menjadi lebih dari 1.240 sertifikat HGB di kawasan strategis seperti SCBD, GBK, Kemayoran, dan Halim.
Dampak dari penguasaan ilegal ini juga menimbulkan kerugian negara. Berdasarkan simulasi sewa lahan oleh DJKN, negara kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp217 triliun setiap tahun karena tidak menerima pemasukan resmi dari aset tersebut.
Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan kode TR-PU/33/VI/2025 turut mencantumkan dugaan adanya “fee gelap” sebesar 5–10% dalam transaksi lahan eks APBN. Praktik pencucian uang juga ditemukan melalui properti mewah serta perusahaan afiliasi luar negeri.
Manipulasi Emiten dan Laporan Keuangan
Lebih jauh, IAW menemukan sejumlah perusahaan publik telah mencatat lahan eks APBN sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Menurut Iskandar, hal ini menyebabkan lonjakan nilai saham secara tidak wajar dan mencerminkan lemahnya pengawasan Bursa Efek Indonesia (BEI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebanyak 12 emiten properti menggunakan lahan eks APBN sebagai aset utama. Dari jumlah tersebut, 3 perusahaan telah diidentifikasi PPATK terindikasi terlibat pencucian uang. Hingga kini, belum ada tindakan tegas berupa sanksi atau suspensi dari otoritas terkait.
Iskandar menegaskan bahwa dasar hukum untuk menindak para pelaku sebenarnya sudah tersedia. Ia merujuk pada Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, serta UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Putusan Mahkamah Agung No. 1788K/Pdt/1998 disebut memperkuat bahwa pengalihan aset negara tanpa dasar hukum yang sah dapat dibatalkan melalui jalur hukum. Iskandar juga menyebutkan bahwa nota dinas palsu ditemukan pada pelepasan aset Kemayoran yang kini dikuasai swasta.
Untuk menindaklanjuti temuan tersebut, IAW mengajukan empat langkah konkret kepada Presiden Prabowo. Pertama, menerbitkan Keppres Audit Nasional Aset Sejarah untuk melakukan audit forensik berbasis teknologi blockchain dan pelibatan lembaga pengawasan seperti KPK, PPATK, BPK, BPKP, dan BIN.
Langkah kedua adalah pembentukan Satuan Tugas Nasional Pemulihan Aset Sejarah (SATGAS SANPAS) dengan kewenangan membekukan HGB ilegal, menindak pengembang, dan mengembalikan aset ke kas negara. Ketiga, penguatan regulasi pasar modal, termasuk POJK baru soal keterbukaan asal-usul aset.
Langkah keempat adalah tindakan hukum terpadu melalui KPK dan Kejaksaan Agung. IAW mendorong proses pengadilan untuk membatalkan sertifikat fiktif, menyita aset, dan menghukum pelaku, baik korporasi maupun birokrat yang terlibat.
Iskandar mengingatkan kembali pernyataan Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet pada 6 Mei 2025 yang menyatakan bahwa tidak boleh ada kompromi terhadap pencuri aset negara. Menurutnya, penyelesaian kasus ini akan menjadi tolok ukur komitmen Prabowo terhadap penegakan hukum.
“Presiden Prabowo, Anda pernah menyatakan di sidang Kabinet 6 Mei 2025 bahwa ‘tak boleh ada kompromi bagi pencuri aset negara.’ Kini ada kesempatan besar bagi Anda untuk mencetak sejarah,” ungkap Iskandar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya melaporkan kekayaan negara per Juni 2025 sebesar Rp13.692 triliun. Namun IAW menilai masih terdapat potensi kekayaan yang belum tercatat, termasuk lahan peninggalan Bung Karno, yang menurut estimasi mereka nilainya bisa mencapai Rp17.450 triliun.
Iskandar menutup pernyataannya dengan penegasan bahwa jika pemerintah membiarkan kasus ini berlarut, maka sikap diam tersebut akan dicatat publik sebagai bentuk pembiaran terhadap penjarahan kekayaan negara. Ia meminta tindakan segera dari otoritas tertinggi di negeri ini.
IAW berharap langkah ini bukan hanya menyelamatkan aset, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan negara. Transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum menjadi kunci untuk mengakhiri praktik penyimpangan atas aset bersejarah ini.
Kasus ini mencerminkan urgensi koordinasi antarlembaga negara dalam menjaga kekayaan nasional. Diperlukan regulasi yang tidak hanya kuat, tetapi juga dijalankan dengan konsistensi dan ketegasan agar tidak memberi ruang bagi oknum yang menyalahgunakan kekuasaan.
Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil dan media menjadi penting dalam mengawasi jalannya proses hukum dan audit. Pemerintah diminta membuka akses informasi agar masyarakat turut serta mengawal pemulihan aset yang seharusnya menjadi milik publik.
Sistem pelaporan dan pencatatan aset negara perlu diperkuat dengan teknologi berbasis blockchain agar data tidak bisa dimanipulasi. Reformasi kelembagaan di bidang agraria, pasar modal, dan audit internal juga menjadi kebutuhan mendesak.
Sebagai Presiden Prabowo diharapkan segera menindaklanjuti laporan IAW dengan kebijakan tegas dan konkret. Tanpa keberanian politik, kasus seperti ini akan terus berulang di masa mendatang dan melemahkan pondasi ekonomi nasional.
IAW menyarankan pembentukan lembaga khusus permanen yang bertugas mengidentifikasi dan merebut kembali aset negara yang berpindah tangan secara ilegal. Ini penting untuk mencegah kebocoran serupa di berbagai sektor lainnya.
Diperlukan audit menyeluruh lintas instansi yang saling terintegrasi, termasuk pembaruan sistem pengawasan aset negara agar tidak terjadi tumpang tindih dan pembiaran oleh lembaga terkait. Hasil audit harus dipublikasikan agar masyarakat mengetahui ke mana uang negara digunakan.
Pemerintah juga didorong untuk menertibkan pasar modal dengan kebijakan yang mewajibkan keterbukaan asal-usul aset. Jika perlu, lakukan suspensi dan restatement terhadap laporan keuangan perusahaan yang terbukti mencantumkan aset negara secara ilegal.
Pemulihan aset bersejarah bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang menjaga kehormatan negara. Presiden Prabowo kini dihadapkan pada ujian nyata: akankah ia membiarkan warisan Bung Karno dirampas atau bertindak untuk memulihkannya demi generasi mendatang? (*)