Jakarta, EKOIN.CO – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merampungkan penataan Kawasan Benteng Pendem Ambarawa Tahap I yang berada di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Penataan ini berfokus pada pelestarian dan pengembangan kawasan bersejarah.
Benteng Pendem Ambarawa, atau Fort Willem I, merupakan peninggalan kolonial Belanda yang dulunya berfungsi sebagai pusat pertahanan dan barak militer. Proyek revitalisasi ini dilakukan demi menjaga nilai sejarah serta meningkatkan potensi wisata edukatif di wilayah tersebut.
Penetapan kawasan ini sebagai Situs Cagar Budaya dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Semarang Nomor 432/0112/2021. Upaya penataan diharapkan sejalan dengan fungsi Ambarawa sebagai kota tujuan wisata sejarah dan budaya.
Lingkup penataan tahap pertama mencakup perlindungan bangunan, pengembangan struktur, serta penataan lansekap kawasan benteng. Proyek ini dilaksanakan di atas area seluas 27.286,38 meter persegi, dengan bangunan utama mencapai 10.392,42 meter persegi.
Pekerjaan ini telah dilaksanakan sejak Desember 2023 oleh PT Waskita Karya selaku kontraktor pelaksana, dengan nilai anggaran mencapai Rp156,8 miliar. Ruang lingkup tambahan mencakup penataan area parkir dan jalan akses kawasan.
Pelestarian Sejarah dan Arsitektur Eropa
Fort Willem I berada di Desa Lodoyong, Kecamatan Ambarawa. Bangunan benteng ini merupakan yang terbesar di Pulau Jawa dan memiliki gaya arsitektur Eropa klasik, menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
Sebelum dilakukan penataan, kondisi bangunan sangat memprihatinkan. Beberapa bagian bangunan utama mengalami kerusakan serius, dengan dinding kusam dan elemen arsitektur yang hilang akibat minimnya perawatan bertahun-tahun.
Revitalisasi dilakukan oleh Balai Penataan Bangunan, Prasarana dan Kawasan Jawa Tengah di bawah Kementerian PUPR. Penataan mengedepankan prinsip pelestarian bangunan cagar budaya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Menteri PUPR Dody Hanggodo menyampaikan harapannya terkait pemanfaatan kawasan ini pasca-penataan. “Setelah dilakukan penataan, diharapkan kawasan Benteng Pendem Ambarawa dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan atau edukasi tentang bangunan cagar budaya sekaligus sebagai destinasi wisata bagi masyarakat,” ujarnya.
Pemerintah daerah dan pusat mengupayakan agar kawasan ini tidak hanya menjadi situs sejarah, tetapi juga pusat kegiatan wisata dan edukasi yang berkelanjutan, menarik minat pengunjung dari berbagai kalangan.
Dampak Sosial dan Ekonomi Lokal
Dengan kembalinya fungsi kawasan sebagai objek wisata, pelaku usaha lokal diharapkan dapat mengambil peran dalam mengembangkan potensi ekonomi di sekitarnya. UMKM, pemandu wisata, hingga pelaku seni budaya menjadi bagian dari rantai nilai ini.
Kepala Balai Penataan Bangunan, Prasarana dan Kawasan Jawa Tengah, Kuswara, menyampaikan optimisme atas manfaat penataan ini terhadap daya tarik wisata di Semarang. “Bangunan ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung karena selain bangunannya yang megah dan bagus juga banyak memiliki spot foto yang sangat menarik,” kata Kuswara.
Benteng ini kini dapat dinikmati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara sebagai kawasan terbuka dengan pengalaman sejarah yang hidup. Penataan lansekap juga mendukung kenyamanan pengunjung selama berwisata.
Dengan dibukanya akses jalan dan lahan parkir yang representatif, kawasan ini telah siap menyambut pengunjung dalam skala besar. Langkah ini diperkirakan turut mendongkrak tingkat kunjungan wisata ke wilayah Kabupaten Semarang.
Proyek ini mencerminkan kolaborasi lintas lembaga dalam menjaga dan menghidupkan kembali situs sejarah nasional yang nyaris terlupakan. Peran serta masyarakat sekitar juga dinilai krusial dalam menjaga keberlanjutan kawasan pasca-penataan.
Penataan Kawasan Benteng Pendem Ambarawa Tahap I menjadi bukti nyata bahwa pelestarian sejarah dan pembangunan ekonomi dapat berjalan beriringan. Kementerian PUPR telah melaksanakan program ini dengan prinsip kehati-hatian, menempatkan nilai sejarah sebagai landasan utama. Pemerintah sebaiknya terus melanjutkan tahap berikutnya dengan pendekatan partisipatif dan berbasis komunitas.
Upaya ini patut diapresiasi, namun tidak boleh berhenti pada revitalisasi fisik semata. Perlu ditambahkan unsur naratif yang kuat agar generasi muda memahami konteks sejarah benteng ini. Kolaborasi dengan pelajar, sejarawan, dan penggerak komunitas lokal bisa menjadi langkah berikutnya untuk menambah nilai edukatif kawasan.
Dengan dukungan pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia pendidikan, Benteng Fort Willem I dapat menjadi ikon baru wisata sejarah nasional. Keberadaannya bukan hanya simbol masa lalu, tetapi juga peluang masa depan bagi pengembangan budaya dan pariwisata berkelanjutan di Jawa Tengah.(*)