Stockholm EKOIN.CO – Swedia secara resmi menyerukan penangguhan perjanjian perdagangan Uni Eropa dengan Israel pada Kamis, 31 Juli 2025. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson, yang menilai Israel gagal memenuhi komitmen dalam mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza selama konflik berkepanjangan dengan Hamas.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kristersson menyampaikan seruannya melalui media sosial X, sebagaimana dikutip dari AFP, bahwa Swedia mendesak Uni Eropa untuk segera membekukan bagian perdagangan dari perjanjian asosiasi dengan Israel. “Situasi di Gaza benar-benar mengerikan,” ujarnya, menambahkan bahwa negaranya menginginkan pengiriman bantuan dilakukan tanpa hambatan.
Langkah Swedia ini mengikuti keputusan serupa yang diambil Belanda dua hari sebelumnya. Menteri Luar Negeri Belanda Caspar Veldkamp menegaskan bahwa negaranya juga mendorong penangguhan elemen perdagangan dari Perjanjian Asosiasi Uni Eropa-Israel jika Israel tetap tidak memenuhi kewajiban kemanusiaannya.
Perjanjian Uni Eropa-Israel dalam Sorotan
Perjanjian asosiasi antara Uni Eropa dan Israel merupakan kerangka kerja utama untuk hubungan perdagangan dan politik kedua pihak. Uni Eropa tercatat sebagai mitra dagang terbesar Israel, dengan porsi hampir sepertiga dari total perdagangan global Israel, menurut data resmi Uni Eropa.
Namun, dalam laporan yang disusun Uni Eropa dan disampaikan kepada 27 negara anggota pada akhir Juni 2025, disebutkan adanya kemungkinan pelanggaran oleh Israel terhadap kewajiban hak asasi manusia yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Laporan itu menambah tekanan terhadap kebijakan Uni Eropa terhadap Israel di tengah perang yang terus berlangsung di Gaza.
Sebagian negara Uni Eropa kini menilai bahwa kelanjutan hubungan perdagangan tanpa evaluasi berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar HAM yang dijunjung blok tersebut. Hal ini memicu munculnya perpecahan sikap di internal Uni Eropa mengenai bagaimana merespons konflik Gaza.
Perpecahan Sikap Negara-Negara Uni Eropa
Konflik bersenjata antara Israel dan Hamas di Gaza telah menciptakan polarisasi tajam di antara anggota Uni Eropa. Beberapa negara, seperti Jerman, mempertahankan posisi mendukung Israel dengan menekankan hak negara itu untuk membela diri dalam batas hukum internasional.
Sebaliknya, negara-negara lain seperti Spanyol, mengecam tindakan militer Israel yang dianggap melanggar hukum internasional dan menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar. Pemerintah Spanyol bahkan menyebut tindakan Israel sebagai genosida terhadap warga Palestina.
Tindakan Swedia dan Belanda menambah tekanan terhadap Uni Eropa untuk mengambil sikap kolektif. Desakan agar perdagangan dihentikan muncul dari kalangan masyarakat sipil dan kelompok hak asasi manusia yang menilai perlu adanya tindakan nyata.
Menurut laporan AFP, Swedia menginginkan agar perjanjian dagang dibekukan sampai ada bukti bahwa Israel membuka akses penuh bagi bantuan kemanusiaan ke Gaza. “Israel harus memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza tanpa hambatan,” tegas Kristersson.
Belanda, melalui pernyataan Caspar Veldkamp, menyatakan bahwa sikap negaranya berdasarkan kewajiban hukum dan moral terhadap penduduk sipil yang menjadi korban konflik. “Kami tidak bisa berdiam diri jika kewajiban kemanusiaan diabaikan,” katanya.
Sampai saat ini, Uni Eropa belum mengambil keputusan kolektif terkait permintaan pembekuan perjanjian dagang. Proses tersebut membutuhkan konsensus dari semua negara anggota untuk diberlakukan.
Para pengamat menilai, langkah Swedia dan Belanda dapat menjadi preseden bagi negara-negara lain untuk mengikuti langkah serupa. Namun, dinamika politik internal Uni Eropa membuat kebijakan bersama sulit dicapai dalam waktu singkat.
Kondisi kemanusiaan di Gaza yang dilaporkan memburuk turut meningkatkan tekanan terhadap Israel. Beberapa lembaga internasional, termasuk PBB, menyerukan akses penuh untuk pengiriman bantuan darurat.
Sementara itu, pemerintah Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait tuntutan Swedia dan Belanda. Respons dari Israel diperkirakan akan menentukan arah pembicaraan lebih lanjut di tingkat Uni Eropa.
Di tengah konflik tersebut, tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap Israel terus meningkat. Uni Eropa disebut-sebut sedang mengkaji ulang seluruh hubungan bilateral, termasuk kerja sama strategis.
Langkah Swedia dan Belanda menjadi cermin ketegangan antara prinsip ekonomi dan nilai-nilai hak asasi manusia di tingkat internasional. Uni Eropa kini dihadapkan pada dilema antara stabilitas hubungan dagang dan tanggung jawab kemanusiaan global.
Pertemuan mendatang para menteri luar negeri Uni Eropa diperkirakan akan membahas topik ini secara lebih mendalam. Keputusan apakah akan ada tindakan kolektif atau tetap memberikan kebebasan kepada negara anggota akan menjadi sorotan.
Keputusan Swedia dan Belanda menandai peningkatan tekanan terhadap Israel di tengah eskalasi konflik yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Langkah ini juga menjadi ujian bagi kesatuan politik Uni Eropa.
Meskipun belum semua negara menyatakan dukungan, kemungkinan bertambahnya negara yang mendorong penangguhan perdagangan semakin besar jika situasi kemanusiaan di Gaza terus memburuk tanpa adanya perbaikan signifikan.
dari peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan sikap di Eropa terhadap kebijakan Israel. Negara-negara yang sebelumnya bersikap netral atau mendukung, kini mulai mempertimbangkan sanksi ekonomi sebagai bentuk tekanan politik.
Jika Uni Eropa mengambil langkah kolektif, maka hubungan ekonomi dengan Israel akan terganggu secara signifikan. Implikasinya bisa dirasakan baik di sektor perdagangan maupun kerja sama strategis lain.
Sebaliknya, jika Uni Eropa gagal mengambil sikap bersama, maka perpecahan internal dapat memperlemah posisi politiknya dalam isu-isu global, terutama yang berkaitan dengan HAM dan konflik bersenjata.
Langkah Swedia dan Belanda mencerminkan keinginan sebagian negara untuk memprioritaskan kemanusiaan di atas kepentingan ekonomi. Ini akan menjadi perdebatan utama di masa mendatang dalam kebijakan luar negeri Uni Eropa.
Keberhasilan tuntutan Swedia dan Belanda akan bergantung pada tekanan publik dan dukungan negara anggota lain. Hasil akhirnya akan menentukan arah kebijakan Eropa terhadap konflik Gaza dan hubungan dengan Israel di masa depan. (*)