Jakarta, EKOIN.CO – Kebijakan pemerintahan Donald Trump untuk meningkatkan fasilitas manufaktur di Amerika Serikat (AS) nampaknya mulai membuahkan hasil. Apple telah mengumumkan penambahan investasi signifikan dari US$500 miliar menjadi US$600 miliar selama empat tahun mendatang di AS. Meskipun demikian, CEO Apple, Tim Cook, belum secara gamblang menyatakan bahwa investasi baru tersebut secara spesifik untuk membangun pabrik iPhone. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait masa depan harga perangkat ikonik tersebut.
Sejatinya, wacana pembangunan pabrik iPhone di AS sudah lama menjadi sorotan, bahkan sejak era kepemimpinan Barrack Obama. Namun, selama ini, Apple masih mengandalkan rantai pasokan di Tiongkok. Belakangan ini, Apple mulai melakukan diversifikasi produksi iPhone ke negara lain, seperti India, seiring dengan ancaman tarif tinggi yang dilayangkan oleh Trump. Langkah ini, bagaimanapun, belum sepenuhnya memuaskan presiden.
Trump menegaskan kembali keinginannya agar iPhone diproduksi di AS, bukan di Tiongkok atau India. Bahkan, ia mengancam akan menerapkan tarif tambahan sebesar 25% untuk iPhone yang dijual di AS, tetapi diproduksi di negara lain. Hubungan antara Trump dan Tim Cook pun dapat digambarkan sebagai pasang surut sejak Trump dilantik untuk masa jabatan keduanya pada Januari 2025.
Pertanyaan besar pun muncul: apa dampaknya jika iPhone benar-benar diproduksi di AS?
Menurut Profesor Emeritus Duke University, Gary Gereffi, pendekatan yang paling realistis adalah dengan merekonstruksi rantai pasokan, di mana Apple bisa mengalihkan manufaktur komponen utama ke Amerika Utara. Namun, tantangan lain muncul dari segi tenaga kerja. Profesor bisnis Universitas Johns Hopkins, Tinglong Dai, dikutip dari Wall Street Journal, berpendapat, “Kita mengalami kekurangan tenaga kerja yang sangat parah. Dan telah kehilangan seni manufaktur skala besar.” Sebagai perbandingan, pabrikan perakit iPhone di Tiongkok, Foxconn, memperkerjakan 300.000 pekerja, sedangkan perekrutan tenaga kerja di AS akan menjadi salah satu masalah terbesar.
Selain masalah tenaga kerja, biaya produksi juga menjadi persoalan. Analis Bank of America Securities, Wamsi Mohan, mengatakan bahwa iPhone 16 Pro yang saat ini dijual seharga US$1.199 bisa mengalami kenaikan harga hingga 25%, menjadi sekitar US$1.500, hanya karena biaya tenaga kerja yang lebih mahal di AS. Perkiraan yang lebih ekstrem disampaikan oleh analis Wedbush, Dan Ives, seperti dikutip dari CNBC International. Ia memperkirakan harga iPhone buatan pabrik AS bisa mencapai US$3.500. Ives mengestimasi Apple harus mengeluarkan US$30 miliar selama tiga tahun ke depan hanya untuk memindahkan 10% dari rantai pasokannya ke AS.
Dai juga menambahkan, “AS memiliki kapasitas memproduksi komponen smartphone di sejumlah area, namun bukan yang terbaik.” Ini mengindikasikan bahwa kualitas produk bisa saja menurun, setidaknya pada awal pabrikan AS beroperasi. Perlu diingat bahwa Apple merancang produknya di California, tetapi proses produksi dan perakitan mengandalkan manufaktur kontrak seperti Foxconn. Jika Apple berhasil membujuk mitra-mitra manufaktur untuk memproduksi iPhone di AS, proses pembangunan fasilitas dan pemasangan alat akan memakan waktu bertahun-tahun. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa kebijakan perdagangan tidak akan berubah di masa mendatang. Sampai saat ini, detail perinci terkait investasi Apple masih belum jelas, apakah akan benar-benar digunakan untuk produksi iPhone atau hal lainnya.