Jakarta EKOIN.CO – Sebuah laporan dari Grayzone yang dipublikasikan dalam dokumen berjudul Do Not Panic! mengungkap bahwa sejumlah aplikasi populer di smartphone ternyata dikembangkan oleh mantan anggota intelijen dan militer Israel. Para pengembang tersebut sebagian besar berasal dari Unit 8200, unit siber elit Israel, yang dikenal luas memiliki keterlibatan dalam operasi siber global.
Aplikasi-aplikasi ini telah tersebar luas di seluruh dunia, diunduh miliaran kali, dan menghasilkan pendapatan besar. Sebagian besar pengguna disebut tidak menyadari bahwa aplikasi-aplikasi tersebut berasal dari pengembang yang memiliki hubungan dengan institusi militer Israel.
Menurut laporan tersebut, jenis aplikasi yang dikembangkan mencakup editor foto, video, permainan kasual, bahkan aplikasi transportasi dan nutrisi. Laporan ini menyebut bahwa struktur kepemilikan aplikasi-aplikasi tersebut cenderung tidak transparan dan identitas pendiri tidak diketahui secara luas.
Keberadaan aplikasi-aplikasi ini di Play Store dan App Store memicu kekhawatiran baru mengenai isu privasi data dan potensi pengumpulan informasi pengguna tanpa disadari. Aktivitas seperti ini pernah disorot secara global saat terjadi skandal Pegasus, yakni perangkat lunak mata-mata buatan Israel yang menyusup ke akun WhatsApp milik jurnalis internasional.
Eks Unit 8200 di Balik Aplikasi Editor Populer
Salah satu pengembang yang disorot adalah ZipoApps, perusahaan yang membuat beragam aplikasi penyuntingan foto dan video. Beberapa produk mereka yang populer antara lain Collage Maker Photo Editor dan Instasquare Photo Editor: Neon, yang masing-masing diunduh puluhan juta kali.
CEO ZipoApps, Gal Avidor, dalam sebuah wawancara pada tahun 2022 mengonfirmasi bahwa para pendiri ZipoApps adalah mantan anggota Unit 8200. Hal ini menegaskan keterkaitan antara pengembang aplikasi dengan militer Israel.
Selain ZipoApps, aplikasi penyuntingan berbasis AI bernama Bazaart juga menjadi sorotan. Aplikasi ini didirikan oleh Dror Yaffe dan Stas Goferman, yang merupakan eks personel Angkatan Pertahanan Israel (IDF).
Aplikasi populer lainnya seperti Facetune besutan Lightricks juga berada di bawah kendali mantan personel Unit 8200. Salah satu pendiri Lightricks, Yaron Inger, bahkan menghabiskan lima tahun masa dinasnya di unit elite tersebut.
Game Populer dan Koneksi Militer Israel
Selain aplikasi penyuntingan, laporan Grayzone juga mengungkap keterlibatan eks anggota intelijen Israel dalam pengembangan sejumlah game mobile populer. Salah satunya adalah Supersonic by Unity, perusahaan penerbit game asal Israel.
Supersonic telah merilis beberapa game kasual terlaris di dunia seperti Build a Queen, Going Balls, dan Bridge Race. Perusahaan ini juga mempublikasikan game lain seperti Trash Tycoon, Tall Man Run, dan Hide ‘N Seek.
Pendiri Supersonic, Nadav Ashkenazy, diketahui pernah menjabat sebagai kepala operasi angkatan udara Israel setelah tujuh setengah tahun mengabdi di IDF.
Perusahaan lain seperti Playtika dan Crazy Labs juga tercantum dalam laporan. Playtika dikenal sebagai pengembang game kasino dan judi, sementara Crazy Labs memproduksi game kasual seperti Jumanji: Epic Run dan Dessert DIY.
Beberapa aplikasi tambahan seperti Moovit (navigasi transportasi), Gett (layanan taksi online), Call App (screening panggilan), dan Fooducate (aplikasi nutrisi) juga masuk dalam daftar aplikasi yang dikembangkan oleh eks militer Israel.
Aplikasi-aplikasi tersebut, menurut laporan Grayzone, berkaitan langsung dengan individu yang pernah bergabung dengan Unit 8200, dan kontribusinya terhadap pendapatan Israel dipandang turut mendukung operasi militer mereka.
Laporan ini menyoroti potensi risiko data pengguna yang dikumpulkan melalui aplikasi-aplikasi tersebut. Apalagi, banyak dari aplikasi ini memiliki izin akses yang luas terhadap perangkat pengguna.
Dalam konteks konflik Israel-Palestina yang terus memanas, laporan ini menyerukan aksi boikot terhadap produk-produk digital Israel sebagai bentuk penolakan terhadap tindakan militer yang sedang berlangsung.
Penggunaan aplikasi yang secara tidak langsung menopang pendanaan militer Israel dinilai perlu menjadi perhatian publik. Terutama karena banyak aplikasi tersebut digunakan tanpa pemahaman asal-usulnya oleh masyarakat luas.
Berbagai lembaga hak asasi manusia sebelumnya telah menyoroti keterlibatan teknologi dan produk digital Israel dalam praktik pengawasan dan pelanggaran hak sipil, terutama terhadap warga Palestina.
Laporan ini menambah daftar panjang kekhawatiran akan bagaimana teknologi digunakan sebagai alat pengawasan massal, terutama oleh negara-negara dengan rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagian besar pengguna aplikasi global, termasuk di Indonesia, disarankan untuk lebih cermat dalam memilih aplikasi, mengingat potensi penyalahgunaan data oleh pihak-pihak yang memiliki afiliasi militer.
Penting bagi pengguna untuk mengetahui latar belakang pengembang aplikasi yang mereka unduh, terutama jika aplikasi tersebut meminta akses luas terhadap perangkat atau informasi pribadi.
Kampanye kesadaran digital perlu diperkuat agar masyarakat memahami pentingnya perlindungan privasi, termasuk melalui edukasi terhadap aplikasi-aplikasi yang digunakan sehari-hari.
pengguna diharapkan mulai meninjau kembali aplikasi yang telah terpasang di perangkat masing-masing, serta mempertimbangkan untuk menghapus aplikasi dengan asal-usul tidak jelas. Pemilihan aplikasi dari pengembang independen yang transparan dan dapat dipercaya bisa menjadi langkah awal menjaga data pribadi.
Selain itu, peran pemerintah dan lembaga perlindungan data pribadi perlu diperkuat dalam mengawasi aplikasi yang masuk ke pasar nasional agar tidak membahayakan keamanan pengguna.
laporan ini menunjukkan perlunya kewaspadaan digital dalam era keterbukaan informasi saat ini. Ketidaktahuan pengguna bisa berakibat pada ketergantungan terhadap produk-produk yang mendukung sistem militer represif.
Oleh karena itu, transparansi dan edukasi publik menjadi komponen utama dalam menghadapi ancaman digital semacam ini. Kesadaran kolektif dapat mendorong perubahan nyata dalam cara masyarakat memilih dan menggunakan teknologi.
Boikot produk digital yang terafiliasi dengan pelanggaran HAM dapat menjadi bentuk dukungan terhadap kemanusiaan. Ini merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat untuk menciptakan ekosistem digital yang etis dan aman.
Menjaga data pribadi bukan sekadar pilihan teknis, tetapi keputusan moral yang berdampak luas bagi perlindungan hak dan kebebasan individu. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v