Bangkok, 10 Juni 2025 – Para akademisi dan praktisi hukum dari Indonesia menyoroti urgensi digitalisasi sistem peradilan pidana nasional dalam forum ALSA Criminal Law Conference 2025, yang berlangsung di Bangkok, Thailand, pada 9–10 Juni 2025. Konferensi ini menjadi titik temu strategis bagi negara-negara Asia Pasifik untuk menyatukan visi dalam menghadapi tantangan hukum di era digital.
Indonesia Harus Segera Berbenah
Dalam presentasinya, sejumlah perwakilan dari universitas hukum ternama di Indonesia menyampaikan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan beberapa negara tetangga dalam aspek teknologi hukum. Digitalisasi dinilai menjadi kunci untuk mengurangi beban kerja aparat penegak hukum, mempercepat proses hukum, serta meningkatkan akuntabilitas.
“Negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan sudah menerapkan digital case filing, online court hearings, dan bahkan AI-based predictive policing. Indonesia belum menyentuh ini secara sistematis,” ujar Dr. Elang S. Harahap, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, di sela konferensi.
Tiga Pilar Digitalisasi yang Disorot Pelaporan FIR (First Information Report) Online
- Sidang Digital dan e-Court
Meski Mahkamah Agung RI telah memperkenalkan e-Court dan e-Litigation, sistem ini dinilai belum merata dan masih mengalami banyak kendala teknis di daerah. Konferensi mendorong agar digitalisasi tak hanya terjadi di pengadilan perdata, tetapi juga dalam peradilan pidana secara komprehensif. - Predictive Policing Berbasis AI dan Big Data
Negara seperti Tiongkok dan Amerika Serikat sudah menggunakan sistem predictive policing untuk menganalisis data kejahatan dan memprediksi potensi tindak pidana. Indonesia dinilai perlu mulai mengembangkan algoritma dan data center untuk menunjang sistem keamanan berbasis analisis prediktif.
Tantangan dan Rekomendasi
Meskipun berbagai teknologi tersedia, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan struktural:
- Kurangnya SDM IT di lembaga hukum
- Keterbatasan infrastruktur digital di luar Jawa
- Belum adanya regulasi menyeluruh terkait forensik digital dan bukti elektronik pidana
Karena itu, peserta konferensi dari Indonesia menyarankan:
- Penyusunan Rencana Induk Digitalisasi Peradilan Pidana Nasional 2025–2035
- Penguatan kerja sama dengan negara maju dalam transfer teknologi hukum
- Penambahan anggaran teknologi informasi untuk kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
Respons Internasional dan Dukungan Regional
Delegasi dari Jepang, Singapura, dan Malaysia turut memberikan tanggapan positif. Mereka membuka peluang kerja sama pelatihan virtual serta pertukaran data hukum digital, khususnya dalam kasus lintas negara seperti cybercrime dan transnational organized crime.
“Kami siap mendukung Indonesia dalam membangun platform interoperabilitas antar aparat penegak hukum di kawasan ASEAN,” ujar Prof. Tan Wei Han, pakar cyber law dari National University of Singapore.
Momentum yang Harus Ditangkap
Reformasi digital dalam hukum pidana bukan hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan paradigma hukum. Konferensi ALSA Criminal Law 2025 menjadi pengingat bahwa sistem peradilan Indonesia harus adaptif terhadap era digital, dan pemerintah perlu bergerak cepat menyusun kerangka regulasi dan teknis yang memadai. (*)
Berlangganan gratis WANEWS EKOIN lewat saluran WhatsUp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v