Jakarta, EKOIN.CO – Sungai-sungai di kota besar di Indonesia terus mengalami pencemaran serius yang memprihatinkan. Data menunjukkan lebih dari 60 % titik uji di 90 lokasi sungai Jakarta tercemar berat pada tahun 2017, naik dibandingkan tahun sebelumnya.
Sampah dan Limbah Rumah Tangga Menjadi Biang Keladi
Lebih dari 80 % pencemaran di sungai Jakarta berasal dari limbah rumah tangga, termasuk tinja, deterjen, sisa minyak, dan sampah plastik, sedangkan sisanya hanya sekitar 20 % berasal dari aktivitas industri.
Limbah Abu Abu, Hitam, dan Beracun
Air kali seperti Ciliwung dan Krukut sering berwarna cokelat kehitaman, diakibatkan aliran deterjen dan tinja yang tidak disaring. Warga menyebut “WC terapung” semakin banyak dan limbah tersebut mencampur sampah di permukaan air.
Infrastruktur Sanitasi yang Merosot
Sanitasi di permukiman kumuh masih menjadi masalah utama. Banyak warga membuang tinja langsung ke sungai atau saluran tanpa septic tank memadai. Data tahun 1957 hingga 2013 menunjukkan kondisi ini masih berulang, bahkan di kawasan lama seperti Tanah Tinggi.
Pengelolaan Sampah yang Lemah
Setiap hari Jakarta menghasilkan sekitar 12 000 ton sampah, dengan 20 % tidak tertangani dan berpotensi masuk ke saluran air. Rumah tangga menyumbang hampir 68 % sampah tersebut.
Minimnya Sanksi dan Kesadaran Hukum
Pengelolaan limbah di industri juga tergolong lemah. Banyak usaha pengolahan ikan, pabrik kecil, hingga hotel tidak memiliki IPAL, sehingga membuang limbah langsung ke saluran sungai tanpa pengolahan.
Sungai Semakin Sempit dan Tersumbat
Bangunan liar di bantaran sungai serta tumpukan sampah membuat aliran air terhambat, menyebabkan sungai sempit dan rawan banjir, seperti di Krukut yang lebarnya pernah 25 m, kini tinggal 1,5 m di beberapa titik.
Banjir Semakin Sering dan Parah
Sistem drainase yang buruk memperparah banjir. Saluran yang mampet oleh sampah dan bangunan liar memperlambat aliran air saat hujan besar. Wakil Gubernur pernah menegaskan banjir salah satunya disebabkan sampah di Ciliwung.
Kekalahan Ekosistem Sungai
Historisnya sungai seperti Ciliwung adalah sumber kehidupan dan habitat ekosistem. Kini ikan pun sulit ditemukan. Upaya restorasi sudah dimulai sejak 2012, namun kontaminasi masih tinggi.
Upaya dan Normalisasi Terbatas
Pemerintah melakukan normalisasi sungai: pelebaran, pengerukan, dan penggusuran bangunan liar, serta melibatkan TNI/Polri dan masyarakat. Namun, keterbatasan ruang dan penegakan hukum membuat progres pelan.
Kesadaran Masyarakat dan Pemerintah
Redditor menyoroti peran masyarakat yang masih membuang limbah ke sungai, juga kegagalan pemerintah dalam edukasi dan pengawasan. “Sekolah tinggi tapi perilaku jorok” tulisan mereka menunjukkan tantangan besar dalam membentuk budaya bersih.
Kesimpulan dan Saran:
Masalah pencemaran sungai kota sangat kompleks, melibatkan sistem sanitasi yang tidak tertangani, infrastruktur buruk, rendahnya kesadaran, serta lemah penegakan regulasi.
Pertama, diperlukan peningkatan fasilitas sanitasi di kawasan padat, termasuk sistem septic tank terpadu dan pengolahan limbah domestik.
Kedua, pemerintah harus menegakkan sanksi tegas bagi pelaku pembuangan limbah sembarangan, termasuk industri dan permukiman.
Ketiga, edukasi massal tentang kebersihan sungai dan budaya membuang sampah pada tempatnya perlu dilakukan sejak dini, melalui program di sekolah dan komunitas.
Keempat, normalisasi sungai harus diiringi penataan ruang bantaran: relokasi warga bila perlu, dan penanaman vegetasi untuk restorasi ekosistem.
Kelima, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat penting untuk menciptakan sungai bersih dan ramah lingkungan.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v